LOGIN“Mereka benar-benar baj**gan!” Dipta mengumpat, wajahnya merah padam, “Mentang-mentang mereka anak orang kaya, mereka bisa bertindak seenaknya.
Dipta dan Arumi saat ini sedang berada di rumah Kirana ingin melihat keadaan temannya itu. Tapi mereka malah dikejutkan dengan kabar kalau kasus Kirana ditutup. Dipta benar-benar murka dan tak habis pikir. “Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan, Kiran?” Itu Arumi yang bertanya, tangannya tak henti-henti mengelus bahu Kirana. “Pokoknya aku akan menuntut keadilan! Aku tidak ingin diam begitu saja, para ba**ngan itu harus dihukum atas perbuatan mereka!” Kirana berkata tegas, tatapannya tajam. “Aku akan selalu mendukungmu, ya walaupun bantuanku hanya sebatas sebagai saksi,” ucap Dipta. “Aku juga,” timpal Arumi. “Tapi apakah kita bisa melawan mereka.” Kinasih datang dari dalam dapur, di tangannya membawa nampan berisi minuman. Dia meletakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk di sofa. “Kita bisa meminta bantuan teman Mahasiswa untuk berorasi,” ucap Dipta, ada senyum menenangkan di bibirnya. Arumi langsung mengangguk setuju, Kirana dan sang Ibu saling bertukar pandang, ada secercah harapan di sorot mata masing-masing. “Kiran!” Arumi memanggil dengan hati-hati, “Apa kamu sudah bertemu dengan Hani? Sudah sejak lama aku tidak melihatnya, semenjak kejadian itu …” Kirana menggeleng, sejak kejadian itu dia belum bertemu Hani, hatinya kembali berdenyut, dia tahu kalau Hani ikut andil atas apa yang menimpanya. Hani tidak pernah menunjukkan batang hidungnya setelah tragedi malam itu. “Seharusnya dia datang dan melihat keadaanmu, serta menjelaskan kenapa dia tega menjebakmu.” Dipta berujar dengan nada kesal. Arumi mengangguk, “Kalau saja malam itu Hani tidak membohongi Kiran untuk datang ke gudang, mungkin …” “Sudah lah, kita jangan ngomongin Hani lagi.” Kirana menghela napas, hatinya bertambah sakit kalau ingat perbuatan teman baiknya itu. Andai mereka bertemu kembali, satu hal yang ingin ditanyakan Kiran, kenapa … kenapa dia tega melakukan hal itu pada sahabatnya sendiri. __ Hani yang mereka bicarakan tengah meringkuk di sudut ranjang di kamar kosnya, dia memeluk lututnya sendiri, matanya sembab, hidungnya memerah. Di dalam kepalanya terus terbayang sosok Kirana yang terkapar di dalam gudang dengan keadaan yang mengenaskan, dalam hati dia menyesal, dia terus merapalkan beribu kata maaf. Hani memang bodoh, mau-maunya diperalat oleh Mahesa. 'Maafkan aku Kiran' Hani bergumam lirih, ini semua salahnya, sejak awal memang salahnya, seharusnya Hani tidak termakan rayuan Mahesa, sudah tahu pria itu bre**sek Hani masih saja mau menjadi pacarnya, hanya karena dia tampan, kaya dan pandai menggombal. Bahkan Kirana sudah menasehatinya berkali-kali, tapi dia bebal tak mendengarkan. Kalau sudah begini, Hani sendiri yang rugi. Lalu apa yang harus dia lakukan. Tidak ada cara lain, dia tidak sanggup menanggung malu seumur hidupnya, dia tidak sanggup menghadapi amarah dan rasa kecewa orang tuanya. Hani mengalihkan pandangannya ke arah meja nakas, tepatnya pada botol kecil yang terletak di sana. Dia bergeser, lalu meraih botol kecil itu, membuka tutupnya, kemudian mengeluarkan semua pil yang ada di dalamnya dan memasukkan semua pil itu ke dalam mulutnya. Dengan tangan gemetar, Hani meraih gelas yang berisi air lalu menegaknya. Semuanya telah berakhir. __ Malam ini sama seperti malam sebelumnya, sejak tragedi yang menimpanya Kirana tidak bisa tidur dengan nyenyak, setiap dia menutup mata, kejadian mengerikan itu akan langsung terbayang. Sekujur tubuhnya meremang, setiap pori-pori kulit bergidik, sentuhan menjijikan itu membuat Kirana ingin terus menggaruk kulitnya, berharap bisa menghilangkan sensasi tak nyaman di sekujur tubuhnya. “Kamu tidak bisa tidur lagi, Kiran?” Kinasih yang tidur di samping Kirana ikut terbangun. Dia duduk lalu mendekat pada Kirana, merangkul bahunya dan mengelus-elus rambutnya. Dada Kinasih sesak melihat keadaan Kirana, gadis yang dulunya ceria sekarang menjadi seperti ini. Bola mata Kirana bergerak liar, dia memeluk tubuhnya sendiri, bahunya bergetar. “Kamu harus kuat, Nak.” Kinasih memeluknya sambil berderai air mata. “Tentu saja Kirana akan kuat, Bu, Kirana harus kuat. Kirana ingin melihat mereka yang berbuat jahat mendapatkan hukuman.” Ibu dan anak itu saling berpelukan, saling menghangatkan hati yang terasa dingin. Suara gedoran pintu mengagetkan dua wanita beda usia itu, mereka saling berpandangan. “Siapa malam-malam begini datang bertamu?” Raut wajah Kinasih nampak cemas. Kirana menggeleng, “Biarkan saja, Bu. Jangan ditanggapi, takut orang yang berniat jahat,” usul Kirana. Kinasih mengangguk setuju. Tapi gedoran itu tak berhenti, malah semakin keras dengan tempo cepat. Karena rasa jengkel dan penasaran, Kirana dan Kinasih memutuskan untuk melihat siapa orang yang datang ke rumah mereka di kala hari sudah larut. Kinasih mengintip melalui kaca jendela, di teras berdiri empat orang pria bertubuh tinggi tegap dengan setelan jas. Diantara mereka ada seorang wanita yang tidak diketahui usianya, mungkin sepantaran Kinasih. Wanita itu berpenampilan glamour namun elegan, wajahnya yang ber-make-up tebal cukup cantik. “Siapa, Bu?” Kirana ikut mengintip, wajahnya mengkerut, dia tak mengenal orang-orang ini. “Siapa mereka?” Kinasih malah balik bertanya. Kirana menggeleng menanggapi pertanyaan ibunya. Mau tak mau Kinasih membuka pintu. “Maaf, kalian siapa dan ada perlu apa datang ke sini?” Kinasih bertanya dengan nada sopan, matanya menelisik orang-orang yang berdiri di teras rumahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh wanita glamour itu, dia memperhatikan penampilan Kinasih dan Kirana, wajahnya sedikit mengernyit, ada tatapan merendahkan dari matanya. “Apa bisa kita bicara di dalam saja?” Perkataan wanita itu menyadarkan Kinasih dari bengongnya, “Ah, iya, iya, silahkan masuk.” Kinasih bergeser agar wanita itu bisa lewat. Kinasih dan Kirana kembali saling beradu pandang. Wanita itu memiliki aura kharismatik yang kuat, sehingga membuat ibu dan anak itu menjadi segan, sehingga mereka lupa berkata-kata, bahkan sekedar menyuruh wanita itu untuk duduk. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang luasnya tidak seberapa, alis mengernyit, ekspresinya seolah-olah memandang setumpuk rongsokan kotor. Dia kembali memfokuskan pandangannya pada Kirana dan Kinasih. “Saya adalah ibu-nya Mahesa, nama saya Gauri.” Mendengar perkataan Gauri, membuat tubuh Kirana berdesir, tangannya yang gemetar meremas rok yang dipakainya erat. Gauri memberi isyarat dengan matanya pada pria tinggi berjas yang berdiri di sampingnya. Pria itu mengangguk, lalu maju selangkah mengangkat koper yang sedari tadi dijinjingnya, menaruhnya di atas meja lalu membuka tutup koper itu, memperlihatkan uang merah gepokan yang berjejer rapi entah berapa jumlahnya. Kirana dan Kinasih terpana melihat isi dalam koper itu. “Ambillah uang itu, anggap saja sebagai uang kompensasi,” ucap Gauri sambil melangkah mendekat ke arah ibu dan anak itu. Suaranya stabil dan tutur katanya teratur, “Lupakan kejadian yang lalu, jangan memperpanjang lagi dan koar-koar ingin meminta keadilan. Sebagian uang itu berasal dari keluarga Arga dan Nicholas, kami masih memiliki hati sehingga mau menyisihkan sedikit dari uang kami untuk mengganti kerugian yang dialami oleh kamu.” Tatapan Gauri tidak berubah, tetap merendahkan. Gauri membuang napas, melirik sekilas pada uang di atas meja lalu memandang Kirana, “Pakailah uang itu sesuka kalian, tapi harus diingat, jangan membuat masalah lagi dan mengganggu kenyamanan keluarga kami.” Hati Kirana terasa panas dengan setiap tingkah dan ucapan dari Gauri. Sedangkan Kinasih hanya bisa terdiam dengan ekspresi muram. Mengganggu kenyamanan keluarga mereka katanya? Kirana mendengkus, apa memang seperti ini sikap setiap orang kaya.Bab 21__“Cepat cari! Aku tidak mau tahu, pokoknya kalian harus menemukan kalung itu!”Sekar berteriak pada para pelayan wanita yang berjejer di hadapannya.“Baik, Nyonya.” Para pelayan itu menjawab serentak, mereka mulai menelusuri setiap sudut ruangan, bahkan sebagian berjongkok untuk memeriksa kolong tempat tidur.Pagi-pagi, Sekar sudah heboh karena tiba-tiba kalung berlian miliknya hilang. Dia memanggil seluruh pelayan di mansion ini untuk membantu mencarinya.Beberapa pelayan ada yang mencari ke kamar mandi. “Kenapa bisa hilang, apa Nyonya lupa menaruhnya, mungkin?” Lala bergumam, kedua bola matanya lincah mengamati setiap sudut. Siapa tahu kalung berlian itu jatuh di kamar mandi ini.“Entahlah.” Tina menimpali, “Selama ini Nyonya tidak pernah kehilangan benda berharga miliknya, ini baru pertama kalinya.”Lala mengangguk setuju.Mereka berdua celingukan sambil menelusuri setiap sudut kamar mandi.Sekar memperhatikan dengan matanya yang memicing pada Kirana yang sedang membuka-
Bab 20__“Dari mana kamu? Kenapa lama sekali?”Wira menatap Kirana penuh penasaran, tumben pelayannya ini lambat saat mengantarkan minuman untuknya.“Maaf, Tuan.” Kirana menyodorkan gelas jus ke mulut Wira, “Saya keasyikan ngobrol dengan teman-teman di dapur, jadi lupa waktu.”Tentu saja Kirana berbohong, dia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah kaca pada Tuannya ini. Walau sebenarnya Kirana ingin sekali mengadu tentang Sekar dan Ravi, tapi Wira tidak akan percaya begitu saja.“Tuan Wira, ayo kita lanjutkan sesi berikutnya.”Ravi datang dari arah luar, seperti biasa, langkahnya selalu penuh semangat. Di belakangnya ada Malvin mengikuti.Dia tersenyum nakal pada Kirana, yang tentu saja tidak ditanggapi olehnya. Wira pun mulai bersiap untuk melakukan terapi sesi berikutnya.Kirana undur diri, akan menunggu di luar ruangan.Ternyata Ravi juga keluar mengikuti Kirana, dia menarik tubuh Kirana ke sudut ruangan tersembunyi, menekannya ke tembok.“Aku hanya ingin kembali mengingatk
Bab 19__Jemari Sekar bergerak lembut menelusuri setiap inci body mobil berwarna merah, ini adalah mobil barunya. Pemberian dari sang suami.Wajahnya terus mengukir senyum cerah, kedua matanya berbinar. Dalam hati bergumam, mobil yang cantik dan mewah, harganya pasti sangat mahal.Ah, Sekar sama sekali tidak peduli mau berapapun harganya, toh, duit suaminya sangat banyak, hartanya tidak akan berkurang hanya karena membeli mobil cantik ini. “Bagaimana? Apa kamu suka?” Wira yang sedari tadi berada di belakang Sekar bertanya.Sekar menatap ke arah sang suami, senyumnya masih tersemat.“Mobil yang cantik, mana mungkin aku tidak menyukainya, aku sangat menyukainya.” Dia memeluk Wira, “Terimakasih, Sayang.” Kemudian mencium pipinya.“Aku senang kalau kamu menyukainya.” Wira menimpali dan ikut tersenyum.__“Nyonya Sekar benar-benar wanita yang sangat beruntung.” Susy bertopang dagu sambil mengaduk kopi moka buatannya sendiri, “Dia dicintai begitu dalam oleh Tuan Wira.” Kemudian menyerup
Bab 18__Sekar melangkah dengan anggun menghampiri Ravi, sang Dokter pun berdiri merentangkan tangan untuk menyambut sang kekasih. Sekar langsung menghambur ke pelukan Ravi.Mereka pun saling menempelkan bibir.“Iya, Sayang, aku sudah sampai dengan selamat satu jam lalu.” Sekar berucap pada suaminya melalui telepon.“Saat sampai ke hotel aku langsung ketiduran karena lelah, makanya aku baru nelpon.”Di sampingnya, Ravi menciumi bahu Sekar yang telanjang. “Iya, Sayang, aku akan hati-hati dan jaga kesehatan, Mas nggak perlu khawatir, ya sudah telponnya aku tutup dulu, ya, dah, muach.”Pembicaraan pun berakhir, Sekar meletakkan handphone-nya di meja nakas.Dia tersenyum senang pada Ravi yang mulai menindih tubuhnya. Sekar terkikik dan merangkul leher pria tampan itu.__“Bagaimana kalau kita pergi ke Pekan Raya Mandira,” ucap Wira secara tiba-tiba.Membuat Kirana yang sedang membacakan narasi novel untuknya sontak berhenti. Dia menatap sang Tuan.“Ke pekan Raya Mandira?”“Hu’um.” Wra
Bab 17__“Tuan, Dokter Ravi sudah datang.”Suara Edy menghentikan aksi tatap-menatap antara Kirana dan Wira.“Iya, Pak.” Wira mengangguk.Kirana dengan sigap mendorong kursi roda Wira menuju ruangan terapi.“Selamat pagi Tuan Wira.” Ravi menyapa dengan senyum cerahnya, lalu pandangannya beralih pada Kirana, dia memberi senyum nakal pada Kirana.Kirana hanya menanggapi dengan senyum singkat.Malvin, sang perawat membantu Wira untuk turun dari kursi rodanya, berpindah tempat ke meja tarik/ traction table.Dia membenahi posisi tidur Wira agar nyaman, Ravi juga ikut membantu.Kirana undur diri dia akan menunggu di luar. __ Setelah dua jam, Kirana kembali ke ruang terapi sambil membawa minuman segar untuk Wira. Dia kira terapinya sudah selesai dan sedang beristirahat, ternyata Wira sedang berjuang keras melangkahkan kakinya dengan bantuan palang paralel.Di kanan-kirinya ada Ravi dan Malvin yang menopang agar tubuh Wira tidak oleng. Pelipisnya sudah penuh keringat, karena tangan
Bab 16__Kirana mundur dua langkah, kebingungan. Baru dua hari berada di mansion ini dia harus melihat hal yang membuatnya syok dan tak percaya.Di tempat ini dia hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa terlibat masalah apapun. Kirana berpikir sebaiknya dia menyingkir, berpura-pura tidak melihat kejadian antara Nyonya Sekar dan Dokter Ravi.Dia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga majikannya. Dia hanya seorang pelayan disini, maka harus bersikap layaknya srorang pelayan.Menutup mata dan telinga mengenai yang terjadi di mansion ini.Kirana berbalik, melangkah cepat kembali ke lift.__“Mari bersulang untuk kesuksesan pembangunan PJG.” Adiwangsa, rekan bisnis Wira, mengangkat gelas anggurnya tinggi, “Bahkan sekarang sudah mencapai tahap operasional.” Clarissa, salah satu investor, tertawa lembut, ikut mengangkat gelasnya.“Mari bersulang untuk kesuksesan PJG,” ucapnya.Wira mengangguk, lalu mengangkat gelas anggurnya dengan tangan kiri yang sedikit gemetar.Mereka kemudia







