LOGINKirana melirik uang itu sekilas, lalu menatap Gauri tajam, “Saya tidak butuh uang anda, Nyonya, ambil kembali, dan saya tidak akan menyerah, saya akan tetap menuntut keadilan, saya ingin anak anda dan teman-temannya dihukum!”
Rahang Gauri mengeras, tidak menyangka gadis miskin ini keras kepala. “Gadis Bodoh.” Suara Gauri teredam, dia menahan kekesalannya, “Saya datang jauh-jauh kesini dengan itikad baik dan menyelesaikan masalah dengan damai, percuma kamu bersikeras membuat tuntutan, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, lagipula tidak ada seorang pengacara pun yang akan membantu kalian.” Tangan Kirana yang terkulai mengepal sampai kulitnya memutih. “Anda sebaiknya pergi dari sini!” hardik Kirana penuh amarah. Gauri mendesah lalu memutar bola matanya, “Sudah miskin, belagu lagi.” Dia memberi isyarat pada pengawalnya untuk mengambil kembali koper yang terletak di meja. Sebelum melenggang pergi, Gauri memberi tatapan meremehkan pada ibu dan anak itu. Dia mencibir, “Terserah, kalau kalian tidak mau menerima uang ini, saya ambil kembali, saya tidak peduli kalian mau berbuat apa, yang jelas kalian sendiri yang akan rugi.” Dengan kata terakhir itu, Gauri pun melangkah pergi. Gauri masuk ke dalam mobil mewahnya, duduk dengan anggun di kursi penumpang. Sungguh orang-orang yang merepotkan, sudah miskin tidak tahu diuntung lagi. Gauri mencibir dalam hati lalu mendengkus. Menuntut keadilan apa? Mereka pikir di dunia ini ada yang namanya keadilan. Keadilan hanya ada bagi mereka yang berduit. Mobil melaju meninggalkan pemukiman sempit itu, bahkan sopir harus hati-hati mengendarai mobilnya agar tidak tergores tembok. Gauri ingin cepat-cepat meninggalkan pemukiman kumuh ini, ini semua karena putranya yang nakal itu, dia harus rela datang ke tempat seperti ini. Mahesa! Kamu selalu saja berbuat masalah. __ Sepeninggal orang-orang itu, tubuh Kirana merosot, napasnya memburu menahan luapan emosi. Kinasih langsung merangkulnya, “Kita ini begitu rendah di mata orang-orang kaya itu, kita layaknya semut kecil yang menggerayang di kaki mereka. Merasa terganggu, mereka tinggal menghempas kita dengan satu kibasan, betapa tidak ada artinya kehidupan orang kecil seperti kita, bahkan untuk mendapatkan keadilan pun begitu sulit.” Air mata Kinasih semakin berderai. Apa yang dikatakan ibunya memang benar, mereka hanyalah orang miskin biasa, tanpa uang tanpa kekuasaan atau jabatan. Akan sulit melawan orang-orang yang memiliki segalanya, lalu apakah Kirana harus menyerah karena hal itu. __ Pagi itu, saat Dipta datang ke rumah Kirana dia membawa dua kabar buruk. Pertama, Dipta mengatakan kalau teman-teman kampus tidak ada yang mau ikut-ikutan berorasi. “Mereka mengatakan ingin lulus kuliah dan hidup dengan tenang, mereka tidak ingin di DO, dan rektor juga tidak memberi ijin untuk berorasi.” Dipta menjelaskan. Kirana menunduk, merapatkan bibirnya, dia dapat mengerti ketakutan para mahasiswa itu, mereka tidak mau bermasalah atau berurusan dengan keluarga Mahesa dan geng-nya. Mereka lebih cari aman daripada ribet. “Kiran.” Panggilan Dipta membuat Kirana mendongkak dan menatap ke arahnya. “Tadi aku mendapat kabar kalau Hani meninggal.” Kirana terkejut mendengar berita itu, dia langsung terbayang wajah Hani yang lugu, senyumnya yang polos dan Hani yang penakut. Hani adalah teman baiknya, tapi, terus terang Kirana merasa kecewa padanya, biar bagaimanapun Hani ikut andil atas kejadian yang menimpa Kirana. Dia ingin bertanya kenapa Hani begitu tega padanya, tapi sekarang temannya itu sudah pergi untuk selamanya, pergi secara mendadak. “Saat ini Arumi pergi ke rumah orangtua Hani untuk melayat, rencananya hari ini aku juga akan ke sana.” Ada jeda sejenak sebelum Dipta melanjutkan dengan hati-hati, “Apa kamu mau sekalian ikut?” Kirana menggeleng, untuk saat ini dia tidak ada tenaga untuk menghadapi dunia luar. Dipta tidak bertanya lagi, dia mengerti. “Maaf, Kiran, ternyata aku teman yang tidak berguna.” Tiba-tiba Dipta berkata seperti itu, wajahnya penuh penyesalan. Kirana memandang sahabatnya dengan tatapan lembut, “Jangan berkata seperti itu, aku tahu kamu sudah berusaha.” Dipta tersenyum kaku. Andai saja dia seperti si Mahesa yang memiliki orangtua sangat kaya, Dipta pasti bisa membantu Kirana dan menyewa pengacara terbaik. Namun, keluarga Dipta hanya seorang pengusaha roti sederhana, sangat jauh dibandingkan dengan keluarga Mahesa. __ “Jadi tidak ada seorang pun yang bisa membantu kita saat ini?” Kinasih menghentikan kegiatannya yang sedang memetik kangkung, tatapannya menerawang, matanya mulai berkaca-kaca. Kirana hanya bisa memberi anggukkan sebagai respon. Kinasih menghela napas panjang, dia menyentuh tangan putrinya, “Orang kecil seperti kita memang sulit mendapatkan keadilan, maaf, Kiran, sebagai orangtua ibu memang tidak berguna.” Kinasih terisak, lagi-lagi dia menangis. Kirana menggeleng, kali ini dia yang menggenggam tangan sang ibu, “Tidak, Bu, jangan bicara seperti itu, hati Kiran sakit mendengar Ibu bicara begitu, percayalah, Bu, Tuhan tidak akan tinggal diam mereka pasti akan mendapatkan balasannya.” Ibu dan anak itu kembali berpelukan, saling menguatkan. __ Karena tidak ada yang membantu, bukan berarti Kirana akan diam saja. Kirana nekad untuk melakukan orasi di depan kampus walau harus sendirian, sebenarnya tidak sendiri, ada sang ibu yang ikut bersamanya, walau sudah dilarang, Kinasih bersikukuh ingin ikut. Kirana dan Kinasih membawa kertas karton besar dengan tulisan ‘Aku ingin keadilan ditegakkan dan Mahesa, Arga dan Nicholas harus dihukum.’ Ibu dan anak itu berdiri di depan halaman kampus, mengangkat poster sederhana itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba Arumi dan Dipta bergabung, mereka juga membawa poster sederhana buatan tangan dengan tulisan ‘penjarakan Mahesa, Arga dan Nicholas, mereka kriminal harus diadili dan keadilan untuk Kirana' Walau cuaca sedang panas terik, tidak menyurutkan semangat keempat orang itu demi mendapat keadilan, mereka tetap teguh berdiri dengan tangan diangkat tinggi. Lalu, apakah para Mahasiswa lain mulai bersimpatik? Tidak, mereka tidak peduli, benar-benar tidak ada yang peduli. Sebagian hanya melirik sekilas lalu melanjutkan kegiatan mereka, ada juga yang hanya sekedar menonton. Tak berapa lama beberapa polisi datang menghampiri Kirana dan yang lainnya, menggiring mereka ke mobil patroli. “Pak! Kami bukan pelaku kriminal! Kami hanya ingin menuntut keadilan!” Dipta berusaha berontak, tapi para polisi itu tidak peduli. Untuk Kirana dan Ibunya, juga Arumi, mereka memilih pasrah saja. __ Setelah setengah hari di kurung dalam sel, salah seorang polisi datang membuka pintu besi dan berkata, “Yang namanya Arumi dan Dipta, kalian keluarlah!” Arumi dan Dipta bangkit, melangkah perlahan menuju pintu sel, sebelum mereka keluar, Arumi juga Dipta memandang Kirana dan Kinasih dengan khawatir. Kirana memberi isyarat pada dua temannya kalau dia akan baik-baik saja. Orangtua Arumi langsung merangkul nya saat melihat dia keluar dari sel. “Kenapa membuat masalah.” Ibu Arumi berbisik ke telinga anaknya. “Arumi tidak buat masalah, Arumi ingin membantu teman.” Dia membela diri, yang langsung mendapat pelototan dari sang Ibu. Hal yang sama di alami oleh Dipta. “Kamu jangan ikut campur urusan orang lain, daripada kamu mendapat masalah lebih baik diam.” Marina, Ibu Dipta menasehati. “Ibu, Dipta ingin membantu teman.” “Sudah! Benar yang dikatakan Ibumu jangan ikut campur.” Purwa sang ayah ikut memberi nasehat. Dipta mendesah, kenapa kedua orangtuanya ini tidak mengerti.Bab 21__“Cepat cari! Aku tidak mau tahu, pokoknya kalian harus menemukan kalung itu!”Sekar berteriak pada para pelayan wanita yang berjejer di hadapannya.“Baik, Nyonya.” Para pelayan itu menjawab serentak, mereka mulai menelusuri setiap sudut ruangan, bahkan sebagian berjongkok untuk memeriksa kolong tempat tidur.Pagi-pagi, Sekar sudah heboh karena tiba-tiba kalung berlian miliknya hilang. Dia memanggil seluruh pelayan di mansion ini untuk membantu mencarinya.Beberapa pelayan ada yang mencari ke kamar mandi. “Kenapa bisa hilang, apa Nyonya lupa menaruhnya, mungkin?” Lala bergumam, kedua bola matanya lincah mengamati setiap sudut. Siapa tahu kalung berlian itu jatuh di kamar mandi ini.“Entahlah.” Tina menimpali, “Selama ini Nyonya tidak pernah kehilangan benda berharga miliknya, ini baru pertama kalinya.”Lala mengangguk setuju.Mereka berdua celingukan sambil menelusuri setiap sudut kamar mandi.Sekar memperhatikan dengan matanya yang memicing pada Kirana yang sedang membuka-
Bab 20__“Dari mana kamu? Kenapa lama sekali?”Wira menatap Kirana penuh penasaran, tumben pelayannya ini lambat saat mengantarkan minuman untuknya.“Maaf, Tuan.” Kirana menyodorkan gelas jus ke mulut Wira, “Saya keasyikan ngobrol dengan teman-teman di dapur, jadi lupa waktu.”Tentu saja Kirana berbohong, dia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah kaca pada Tuannya ini. Walau sebenarnya Kirana ingin sekali mengadu tentang Sekar dan Ravi, tapi Wira tidak akan percaya begitu saja.“Tuan Wira, ayo kita lanjutkan sesi berikutnya.”Ravi datang dari arah luar, seperti biasa, langkahnya selalu penuh semangat. Di belakangnya ada Malvin mengikuti.Dia tersenyum nakal pada Kirana, yang tentu saja tidak ditanggapi olehnya. Wira pun mulai bersiap untuk melakukan terapi sesi berikutnya.Kirana undur diri, akan menunggu di luar ruangan.Ternyata Ravi juga keluar mengikuti Kirana, dia menarik tubuh Kirana ke sudut ruangan tersembunyi, menekannya ke tembok.“Aku hanya ingin kembali mengingatk
Bab 19__Jemari Sekar bergerak lembut menelusuri setiap inci body mobil berwarna merah, ini adalah mobil barunya. Pemberian dari sang suami.Wajahnya terus mengukir senyum cerah, kedua matanya berbinar. Dalam hati bergumam, mobil yang cantik dan mewah, harganya pasti sangat mahal.Ah, Sekar sama sekali tidak peduli mau berapapun harganya, toh, duit suaminya sangat banyak, hartanya tidak akan berkurang hanya karena membeli mobil cantik ini. “Bagaimana? Apa kamu suka?” Wira yang sedari tadi berada di belakang Sekar bertanya.Sekar menatap ke arah sang suami, senyumnya masih tersemat.“Mobil yang cantik, mana mungkin aku tidak menyukainya, aku sangat menyukainya.” Dia memeluk Wira, “Terimakasih, Sayang.” Kemudian mencium pipinya.“Aku senang kalau kamu menyukainya.” Wira menimpali dan ikut tersenyum.__“Nyonya Sekar benar-benar wanita yang sangat beruntung.” Susy bertopang dagu sambil mengaduk kopi moka buatannya sendiri, “Dia dicintai begitu dalam oleh Tuan Wira.” Kemudian menyerup
Bab 18__Sekar melangkah dengan anggun menghampiri Ravi, sang Dokter pun berdiri merentangkan tangan untuk menyambut sang kekasih. Sekar langsung menghambur ke pelukan Ravi.Mereka pun saling menempelkan bibir.“Iya, Sayang, aku sudah sampai dengan selamat satu jam lalu.” Sekar berucap pada suaminya melalui telepon.“Saat sampai ke hotel aku langsung ketiduran karena lelah, makanya aku baru nelpon.”Di sampingnya, Ravi menciumi bahu Sekar yang telanjang. “Iya, Sayang, aku akan hati-hati dan jaga kesehatan, Mas nggak perlu khawatir, ya sudah telponnya aku tutup dulu, ya, dah, muach.”Pembicaraan pun berakhir, Sekar meletakkan handphone-nya di meja nakas.Dia tersenyum senang pada Ravi yang mulai menindih tubuhnya. Sekar terkikik dan merangkul leher pria tampan itu.__“Bagaimana kalau kita pergi ke Pekan Raya Mandira,” ucap Wira secara tiba-tiba.Membuat Kirana yang sedang membacakan narasi novel untuknya sontak berhenti. Dia menatap sang Tuan.“Ke pekan Raya Mandira?”“Hu’um.” Wra
Bab 17__“Tuan, Dokter Ravi sudah datang.”Suara Edy menghentikan aksi tatap-menatap antara Kirana dan Wira.“Iya, Pak.” Wira mengangguk.Kirana dengan sigap mendorong kursi roda Wira menuju ruangan terapi.“Selamat pagi Tuan Wira.” Ravi menyapa dengan senyum cerahnya, lalu pandangannya beralih pada Kirana, dia memberi senyum nakal pada Kirana.Kirana hanya menanggapi dengan senyum singkat.Malvin, sang perawat membantu Wira untuk turun dari kursi rodanya, berpindah tempat ke meja tarik/ traction table.Dia membenahi posisi tidur Wira agar nyaman, Ravi juga ikut membantu.Kirana undur diri dia akan menunggu di luar. __ Setelah dua jam, Kirana kembali ke ruang terapi sambil membawa minuman segar untuk Wira. Dia kira terapinya sudah selesai dan sedang beristirahat, ternyata Wira sedang berjuang keras melangkahkan kakinya dengan bantuan palang paralel.Di kanan-kirinya ada Ravi dan Malvin yang menopang agar tubuh Wira tidak oleng. Pelipisnya sudah penuh keringat, karena tangan
Bab 16__Kirana mundur dua langkah, kebingungan. Baru dua hari berada di mansion ini dia harus melihat hal yang membuatnya syok dan tak percaya.Di tempat ini dia hanya ingin bekerja dengan tenang, tanpa terlibat masalah apapun. Kirana berpikir sebaiknya dia menyingkir, berpura-pura tidak melihat kejadian antara Nyonya Sekar dan Dokter Ravi.Dia tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga majikannya. Dia hanya seorang pelayan disini, maka harus bersikap layaknya srorang pelayan.Menutup mata dan telinga mengenai yang terjadi di mansion ini.Kirana berbalik, melangkah cepat kembali ke lift.__“Mari bersulang untuk kesuksesan pembangunan PJG.” Adiwangsa, rekan bisnis Wira, mengangkat gelas anggurnya tinggi, “Bahkan sekarang sudah mencapai tahap operasional.” Clarissa, salah satu investor, tertawa lembut, ikut mengangkat gelasnya.“Mari bersulang untuk kesuksesan PJG,” ucapnya.Wira mengangguk, lalu mengangkat gelas anggurnya dengan tangan kiri yang sedikit gemetar.Mereka kemudia







