Setelah satu hari satu malam berada dalam sel, polisi akhirnya membebaskan Kirana dan Kinasih, tapi dengan syarat harus menandatangani surat perjanjian kalau mereka tidak akan membuat masalah lagi.
Mereka dengan terpaksa menandatangani surat itu dari pada harus terus menginap dalam sel. Kirana baru sampai ke rumahnya saat ada sms masuk ke nomornya, pihak kampus menyuruh Kirana untuk datang. __ Saat Kirana datang ke ruangan rektor, tanpa basa-basi rektor kampus yang bernama Pak Jacky itu langsung menyodorkan sebuah kertas ke hadapan Kirana. Dia mengambil kertas itu dan membaca isinya, kesimpulannya adalah itu surat pernyataan kalau beasiswa Kirana dicabut dan dia dikeluarkan dari kampus. Tangan yang memegang kertas langsung gemetar setelah selesai membaca surat itu. Kirana menatap sang rektor dengan ekspresi tak percaya. “Maaf, kami harus melakukan hal itu pada anda, ini sudah merupakan keputusan semua pihak.” Hanya itu yang dikatakan Pak Jacky. Tanpa memberi keterangan yang lain. Dengan tubuh lemas dan kaki yang seolah tak menapak, Kirana melangkah menyusuri koridor. Tatapannya kosong, dia hampir menabrak orang yang tiba-tiba saja menghalangi jalannya. Kirana mendongkak, tatapannya menajam, rahangnya mengeras saat tahu siapa orang yang ada di hadapannya. “Mahesa.” Kirana menggeram. Mahesa malah menyeringai menyebalkan, membuat Kirana muak. Mahesa bersedekap, menatap Kirana remeh, “Itulah akibatnya kamu macam-macam dengan seorang Mahesa Affandra, kamu sendiri yang rugi.” Napas Kirana mulai memburu, wajahnya memerah, “Dasar laki-laki ba**ngan!” Kirana mengangkat tangannya ingin melayangkan satu puk*lan pada wajah menj**ijan itu, tapi sayang, Mahesa dengan sigap mencekal tangan Kirana di udara. Mahesa melotot, “Tanganmu ini ringan sekali, sedikit-sedikit main tampar saja, apa kamu belum kapok, hm, apa kamu ingin aku me****kosamu lagi. Mahesa mendekatkan wajahnya, membuat Kirana mundur, dia menghempaskan tangan Mahesa. Terus terang dia masih trauma, kejadian mengerikan itu kembali terbayang. Kirana buru-buru melangkah pergi meninggalkan Mahesa. Mahesa mendengkus, memandangi punggung yang semakin menjauh itu. __ “Ibu!” Kirana terkejut saat pulang ke rumah mendapati Kinasih yang tergeletak di lantai dapur tak sadarkan diri. Dia buru-buru menghampiri. “Ibu! Ibu!” Kirana berteriak berharap mendapat respon, tapi nihil. __ Kirana tidak bisa duduk, dia mondar-mandir di depan pintu IGD. Ekspresi wajahnya kusut, dia terus-terusan menggosok kedua telapak tangannya. “Kiran!” Kirana mendongkak ke arah asal suara, Arumi dan Dipta melangkah cepat menuju ke arahnya. Arumi langsung merangkul Kirana dan berbisik, ,”Sabar ya, Kiran. Ibumu pasti akan baik-baik saja. Kirana hanya bisa terdiam, dia hanya bisa memeluk sahabatnya erat sebagai sandaran. Saat ini dia takut dan bingung. Semua emosi bercampur membuat kepalanya pening. Dipta menatap temannya iba, dia menepuk-nepuk bahu Kirana lembut untuk menenangkannya. Tak lama seorang Dokter keluar memanggil, “Keluarga Bu Kinasih!” Kirana bergegas menghampiri. Menatap Dokter penuh harap. Dokter menghela nafas panjang, “Maaf, saya turut menyesal, Ibu anda tidak bisa diselamatkan. Pasien mengalami serangan jantung.” Sekujur tubuh Kirana mendadak terasa dingin, lututnya melemas. Dia limbung, tapi untunglah Dipta dan Arumi menopangnya, sehingga Kirana tidak ambruk. Ibunya, keluarga satu-satunya,penopang dan penyemangat hidupnya telah pergi untuk selamanya. Sekarang apa yang harus Kirana lakukan tanpa dia. Dada Kirana terasa sesak, sakit sekali. Air mata luruh setitik demi setitik. __ “Untuk kali ini masalah sudah terselesaikan, ingat. Kalian jangan membuat ulah lagi.” Gauri menatap tajam pada tiga pemuda yang duduk di seberangnya. Mahesa, Arga dan Nicholas hanya diam sambil menunduk. “Hampir saja reputasi keluarga kita tercoreng karena ulah kalian! Dari dulu selalu seperti ini, kapan kalian berubahnya.” Gauri masih asyik ngomel-ngomel. “Tuh, dengerin apa yang dikatakan Tante Gauri, jangan hanya manggut-manggut melulu.” Nita, Ibu dari Arga ikut nimbrung untuk memberi nasihat pada para pemuda bebal ini. Lastri, Ibunya Nicholas hanya mendesah lelah sambil geleng-geleng, “Ada-ada saja tingkah kalian ini.” Gumamnya pelan. Para golongan orang kaya ini tengah berada di ruang VIP di restoran mewah. Mereka sengaja mengajak putra masing-masing ke sini bukan hanya untuk diberi makan saja, tapi juga untuk diomeli. “Kami tidak akan mengulanginya, kami janji,” ucap Mahesa “Dulu kamu juga bilangnya seperti itu.” Gauri mencebik, masih kesal dengan Mahesa. “Kalian dengar, kalian itu harus bisa jaga sikap, kalian juga harus bisa menjaga nama baik keluarga.” Kali ini Lastri yang ceramah. Tiga pemuda itu tak merespon apa-apa hanya diam menunduk, seperti anak yang patuh, padahal di hati mereka menganggap nasihat orang tua itu seperti kicauan burung. __ Sudah lima puluh hari sejak kepergian ibu tercinta, Kirana menjalani hari-harinya seperti robot tanpa emosi. Hatinya hampa, tatapannya kosong, tak ada lagi cahaya semangat yang biasa terlihat dari mata itu. Dipta dan Arumi selalu berkunjung menemui Kirana, sekedar ingin tahu keadaan sahabat mereka. Arumi merasa prihatin melihat keadaan Kirana yang semakin hari semakin layu. Tak ada semangat hidup, tubuhnya semakin kurus. Tak jauh beda dengan Arumi, Dipta juga merasakan hal yang sama, dia ikut merasakan sakit melihat wanita yang diam-diam dicintainya begitu rapuh. Dengan pelan Dipta menyentuh bahu Kirana, “Kiran, kamu harus kuat, kamu jangan terpuruk terus seperti ini.” Arumi mengangguk, mengelus kepala Kirana, “Aku yakin kamu pasti bisa menghadapi semua ini, aku tahu kamu itu bukan wanita yang lemah.” Kirana memandangi kedua temannya, tatapannya sayu, binar-binar kehidupan yang selama ini mereka lihat di mata itu kini meredup. Hati mereka sakit melihat temannya dalam keadaan seperti ini. Apakah dia bisa menghadapi semua ini? Entahlah Kirana sendiri tidak tahu, yang jelas saat ini Kirana merasa lelah. “Terimakasih, kalian selalu berada di sisiku saat aku terpuruk, maaf merepotkan.” “Hei, jangan berkata begitu kita ini ‘kan teman, sudah sepatutnya saling mendukung di kala susah.” Arumi merangkul temannya dan menyandarkan kepalanya di bahu Kirana. Kirana tersenyum kecil, dia pun menempelkan kepalanya pada Arumi. Dipta tersenyum kecil melihat dua gadis yang saling berpelukkan itu. __ Kirana ingin menyerah, tapi dia ingat perkataan teman-temannya kalau dia harus kuat tidak boleh kalah. Karena itu dia harus menata kembali hidupnya. Kirana berpikir dia tidak bisa tinggal diam di rumah terus, dia juga butuh uang untuk kehidupan sehari-hari, dulu sewaktu kuliah, Kirana pernah bekerja paruh waktu sebagai waitress di sebuah restoran. Karena kejadian itu, Kirana berhenti bekerja, mungkin dia bisa mencoba melamar lagi ke sana siapa tahu ada lowongan. __ “Maaf, Kiran untuk saat ini belum ada lowongan, malahan sekarang penuh oleh siswa yang PKL.” Kirana menghela nafas, sudah dia duga. Kirana tersenyum pada wanita yang menjabat sebagai manajer itu, yang bersikap selalu ramah padanya. “Terimakasih Bu Intan, maaf mengganggu waktunya.” Kirana berdiri dan menyalami wanita bernama Intan itu. Intan tersenyum,“Sama-sama, Kiran, tidak mengganggu, kok.” Terik matahari langsung menerpa wajah Kirana saat dia baru keluar dari gedung restoran. Cuaca hari ini cukup panas dan cerah. Lagi-lagi Kirana mendesah, tenggorokannya terasa kering. Dia melangkah untuk mencari penjual air mineral. Tiba-tiba perutnya terasa bergolak, kepalanya pusing, dunia terasa berputar lalu pandangannya menggelap.__Saat Kirana membuka matanya, yang pertama dia lihat adalah ruangan putih. Rupanya dia ada di klinik dan terbaring di brankar.“Kirana, gimana keadaan kamu sekarang?” Dipta menghampiri saat melihat Kirana sudah sadar, ekspresinya khawatir.“Sedikit pusing.” Kirana menjawab dengan suara lemah.Jari-jari Dipta mulai bergerak untuk memijat pelan bagian dahi kirana.Seorang Dokter perempuan bersama Suster datang keruangan sambil membawa hasil pemeriksaan.Dokter wanita itu mengambil kertas laporan yang disodorkan Suster. “Nona Kirana, dari hasil pemeriksaan medis, ternyata anda sedang mengandung dengan usia janin lima minggu.”Bagai disambar petir, suara Dokter wanita terasa menggelegar di telinganya. Kata-kata Dokter terus berulang-ulang di kepalanya.Kirana hanya bisa tercenung, Dipta juga hanya bisa terdiam, mencerna kata-kata sang Dokter.Dipta melirik ke arah Kirana dengan tatapan iba.“D_Dokter, mungkin anda salah mendiagnosis.” Kirana berusaha bicara walau lidahnya kelu.“Sama
Setelah satu hari satu malam berada dalam sel, polisi akhirnya membebaskan Kirana dan Kinasih, tapi dengan syarat harus menandatangani surat perjanjian kalau mereka tidak akan membuat masalah lagi.Mereka dengan terpaksa menandatangani surat itu dari pada harus terus menginap dalam sel.Kirana baru sampai ke rumahnya saat ada sms masuk ke nomornya, pihak kampus menyuruh Kirana untuk datang.__Saat Kirana datang ke ruangan rektor, tanpa basa-basi rektor kampus yang bernama Pak Jacky itu langsung menyodorkan sebuah kertas ke hadapan Kirana.Dia mengambil kertas itu dan membaca isinya, kesimpulannya adalah itu surat pernyataan kalau beasiswa Kirana dicabut dan dia dikeluarkan dari kampus. Tangan yang memegang kertas langsung gemetar setelah selesai membaca surat itu. Kirana menatap sang rektor dengan ekspresi tak percaya.“Maaf, kami harus melakukan hal itu pada anda, ini sudah merupakan keputusan semua pihak.” Hanya itu yang dikatakan Pak Jacky. Tanpa memberi keterangan yang lain
Kirana melirik uang itu sekilas, lalu menatap Gauri tajam, “Saya tidak butuh uang anda, Nyonya, ambil kembali, dan saya tidak akan menyerah, saya akan tetap menuntut keadilan, saya ingin anak anda dan teman-temannya dihukum!”Rahang Gauri mengeras, tidak menyangka gadis miskin ini keras kepala.“Gadis Bodoh.” Suara Gauri teredam, dia menahan kekesalannya, “Saya datang jauh-jauh kesini dengan itikad baik dan menyelesaikan masalah dengan damai, percuma kamu bersikeras membuat tuntutan, kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, lagipula tidak ada seorang pengacara pun yang akan membantu kalian.”Tangan Kirana yang terkulai mengepal sampai kulitnya memutih.“Anda sebaiknya pergi dari sini!” hardik Kirana penuh amarah.Gauri mendesah lalu memutar bola matanya, “Sudah miskin, belagu lagi.” Dia memberi isyarat pada pengawalnya untuk mengambil kembali koper yang terletak di meja.Sebelum melenggang pergi, Gauri memberi tatapan meremehkan pada ibu dan anak itu.Dia mencibir, “Terserah, kalau kal
“Mereka benar-benar baj**gan!” Dipta mengumpat, wajahnya merah padam, “Mentang-mentang mereka anak orang kaya, mereka bisa bertindak seenaknya.Dipta dan Arumi saat ini sedang berada di rumah Kirana ingin melihat keadaan temannya itu. Tapi mereka malah dikejutkan dengan kabar kalau kasus Kirana ditutup.Dipta benar-benar murka dan tak habis pikir.“Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan, Kiran?” Itu Arumi yang bertanya, tangannya tak henti-henti mengelus bahu Kirana.“Pokoknya aku akan menuntut keadilan! Aku tidak ingin diam begitu saja, para ba**ngan itu harus dihukum atas perbuatan mereka!” Kirana berkata tegas, tatapannya tajam.“Aku akan selalu mendukungmu, ya walaupun bantuanku hanya sebatas sebagai saksi,” ucap Dipta.“Aku juga,” timpal Arumi.“Tapi apakah kita bisa melawan mereka.” Kinasih datang dari dalam dapur, di tangannya membawa nampan berisi minuman. Dia meletakkan nampan di atas meja lalu ikut duduk di sofa.“Kita bisa meminta bantuan teman Mahasiswa untuk berorasi,”
Arumi menatap Kirana dengan prihatin, dia ikut merasakan sakit atas penderitaan teman baiknya.“Syukurlah kamu sudah bangun Kiran.” Dipta muncul dari balik gorden bersama dengan dua orang polisi yang berdiri di belakangnya.Kirana menatap kedua petugas polisi itu.“Kami datang ke sini karena menerima laporan telah terjadi tindak kriminal kekerasan dan pel**ehan,” ucap salah seorang petugas.“Dipta yang pergi ke kantor polisi dan melapor.” Arumi berujar di telinga Kirana, dia terus-menerus mengelus rambut sang sahabat.“Kami datang kesini untuk meminta keterangan lebih lanjut.” Sang polisi kembali berujar, “Tapi jika Nona belum siap untuk memberikan keterangan, pihak kami akan menunggu sampai anda siap.”“Saya siap.” Kirana berujar dengan nada paraunya, walaupun demikian ada ketegasan dalam nadanya.Dengan sinyal dari ucapan Kirana, maka kedua polisi itu mulai mengajukan beberapa pertanyaan.Walau dengan rasa sakit yang teramat sangat, Kirana berusaha kuat meski harus mengingat kemba
DWT 2Setelah Hani pergi, Mahesa menemui dua temannya yang berada di belakang tembok gudang, mereka sedang merokok.“Kamu yakin dia bakalan datang?” tanya Nicholas, asap putih mengepul dari mulutnya.“Tenang saja, dia pasti datang.” Mahesa bersender di tembok.Nicholas dan Arga saling menatap lalu menyeringai, “Malam ini kita akan bersenang-senang,” ucap Arga sambil terkekeh.__Kirana langsung memarkirkan sepedanya sembarangan saat dia sampai di depan gudang kampus.Dia heran, kemana satpam kampus yang berjaga malam, kenapa mereka tidak ada, Kirana langsung berjalan ke arah pintu gudang.Katanya terkunci dari luar, tapi ternyata tidak ada kunci yang tergantung, alis Kirana mengernyit heran. Dia mendorong pintu lalu masuk.Karena tempat ini adalah gudang yang terbengkalai, saat Kirana masuk dia disambut dengan bau apek, keadaan ruangan gelap.Kirana mengeluarkan HP-nya dan menyalakan senter untuk penerangan.Tiba-tiba terdengar suara pintu ditutup.Kirana berbalik memandang ke arah