Nina terkejut, tetapi tubuhnya seakan terpaku di sana. Sentuhan itu lebih kuat dari sengatan listrik yang pernah menyentrumnya waktu praktik di laboratorium elektrik dulu. Bibir Nick yang sedingin es justru meleburkan rasa beku di hatinya. Nina sempat memejamkan mata sesaat. Aroma feromon menguar seiring suasana, cahaya dan waktu yang tepat. Kedua insan ini cukup terhanyut dalam aroma memabukkan sebelum ingatannya kembali ketika nada dering ponselnya berbunyi. Lekas Nina melepaskan diri. Peristiwa barusan membuat kakinya lemah, hampir saja ia luruh ke lantai kalau saja tidak ada dinding di bagian belakangnya.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponsel di tas tangannya. Panggilan dari Mama. Nina berupaya mengatur napas sebelum menggeser layar ponselnya. Nick sudah meninggalkannya dan lebih dulu masuk. Pria itu juga gugup, beberapa kali ia menarik napas demi mengisi tangki oksigen di paru-parunya.
Nina berhasil menguasai kegugupannya.
"Ha?" tanya Nina dengan strategi memasang tampang bodoh. "Luka, hm, something like that? Not really sure, saye cume dengar awak tu sebut hal tu waktu tido. Mase tu saye nak salin baju," jelas Nick. "Ehm, masak sih? Salah dengar kali. Mungkin maksud gue takut luka kali. Ya, kali aja gue mimpi ngiris bawang." Meski gugup, Nina berhasil mencari alasan bagus untuk menutupi kegelisahannya. Nina lega, setidaknya Nick tahu nama itu bukan dari riwayat panggilan di ponselnya atau melihat langsung. Jadi Nina masih bisa mengalihkan kecurigaan ke hal lain. Dan sepertinya usaha Nina berhasil, Nick manggut-manggut tanda paham. Nina menghela napas lega. "Awak nak breakfast ape? Tak de apepun kat sini," tanya Nick sambil membuka laci-laci di dapurnya. "Nah, itu ada mie instan. Lo gak suka?" Nina mendapati penampakan mie instan saat Nick membuka laci di atas kepalanya.
Nina merasakan jantungnya berdebar. Tetapi jantung Nick dua kali terasa lebih cepat ketika tangan Nina menyentuh bagian dada Nick, tempat beradanya benda yang merupakan tanda kehidupan itu. Wajah Nick semakin dekat dengan wajahnya. Entah siapa yang memulai, kini jarak itu terpangkas habis. Entah sejak kapan pula suhu air yang memancar dari shower itu berubah dingin. Nina merasakan bibirnya mulai menggigil. Namun, setelah bibir Nick menempel, kehangatan milik pria itu seakan mengalir di seluruh aliran darahnya. Kehangatan yang menciptakan gejolak aneh di perutnya. Jiwanya ingin berontak, tetapi tubuhnya merespon berbeda. Kini ia semakin larut dalam ciuman yang terasa semakin intim itu. Keadaan makin tak terkendali sampai air berhenti mengucur. Mesin otomatis itu tiba-tiba mati. Nina baru sadar, ia sudah terlalu jauh. Apa ini saatnya? batinnya. Sejujurnya ia belum siap m
Suasana jam makan siang membuat jalanan ibu kota kembali macet. Panas matahari tak kalah terik, membakar setiap yang berjalan tanpa perisai. Nick menatap enggan rumah makan padang yang cukup terkenal di dekat kantor mereka. Beberapa orang terlihat mengantre hingga ke pintu depan. Nick sudah membayangkan betapa sesak dan panasnya suasana di dalam. "Tak ade tempat yang lebih sejuk and tak crowded ke?" tanyanya pada Nina. Nina yang duduk di sampingnya langsung mengingat salah satu tempat yang pernah didatanginya. Sejujurnya bahkan tak pernah lekang dari ingatannya. Tempat itu cukup sejuk, makanannya juga lumayan enak, dan lokasinya pun sebenarnya tidak terlalu jauh dari kantor mereka. Namun, Nina ragu, ia enggan bertemu Luka di sana. Hm, entar ketemu gak ya? Ah, keknya gak mungkin deh. Sebanyak tempat di kota ini, masak sih dia cuma ke sana? Bodo' ah, yang penting ngadem.... "A
Nina tak berani menatap Nick. Ia tahu Nick meliriknya beberapa kali. Entah kenapa Nina merasa tatapan Nick kali ini tidak bersahabat. Aura dingin nan menyeramkan mengacaukan atmosfer. Perasaan gelisah ternyata terus menyelimuti Nina. Bahkan saat pulang kantor Nick menyuruhnya untuk pulang duluan. Nina tak berani bertanya. Ia lekas meninggalkan gedung dan memesan ojek online. Di rumah ia bertemu Bia. Kakaknya itu sedang menyuapi anaknya di taman belakang. Nina mendekat, berharap bisa curhat. "Ngapain lo monyong gitu? Gak salah lo gue panggil lele. Mirip banget dah, kurang kumisnya aja, hahaha," gelak Bia. "Ish, paan sih. Empati dikit kek, tanyain kenapa cemberut adikku sayang, gitu kek," rajuk Nina. "Hilih, najis. Ck, yaudah, laki lo mana? Kok lu pulang sendiri? Gara-gara itu lo cemberut? Berantem ya?" tanya Bia. "Ntu dia." N
Nina masih akan marah ketika merasakan tarikan tangan Nick yang memangkas jarak di antara mereka. Lalu saat bibir mereka menyatu, ia sebenarnya masih ingin mengulang pidatonya yang tanpa sensor itu. Namun, ciuman itu begitu lembut dan memabukkan. Nina dapat mencecap rasa mint yang manis dari mulut pria itu. Ketika Nina ingin menarik diri, Nick malah memperdalam ciumannya. Ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya, Nina tak berkutik. Tubuhnya seakan melemah dan terbuai. Ia bahkan tak sadar, kapan Nick berhasil membopongnya hingga ke kamar. Dengan lembut Nick membelai rambutnya-yang entah kapan tanpa penutup dan terurai. Ia masih tak bisa mengerti kenapa tak ada perlawanan saat Nick menyentuhnya kemudian membawa mereka pada percintaan yang sesungguhnya. Ciuman menjadi hal yang candu, setiap sentuhan menjadi racun yang memabukkan. Nina enggan menolak, malah tubuhnya dengan primitif meminta dan mendamba. Nick menciptakan alunan nada baru untuk Nina, seperti
Benar saja, papa dan mama Nina sudah nongol di pintu depan. Membawa barang-barang Nina dan tidak lupa membawa sarapan."Pasti kamu belum masak kan, Nin?" sindir Mama saat mereka berdua menuju dapur.Mampus gue, untung Nick gak denger. Mak gue kadang mulutnya udah kayak mertua di sinetron yah, sindirannya setajam silet. Batin Nina.Nina hanya cengengesan mendengar kata mamanya. Nina segera membuatkan teh untuk sarapan bersama. Lalu membantu mama menyiapkan sarapan berupa lontong medan.Dih, kirain masak. Taunya beli juga, batinnya lagi."Sebenarnya tadi mama udah masak, cuma ingat bawain kamu sarapan baru di jalan tadi." Mama seakan bisa membaca cemooh Nina meski hanya dalam hati, Nina jadi malu. Mata Nina tak lepas dari Nick yang berada di sampingnya. Pria itu terlihat gusar, ia hanya mengaduk-aduk sarapannya. "Makanlah, gak enak sama mama yang udah capek-capek bawain," bisiknya. Padahal sebenarnya karena ia khawatir Nick masuk angin jika gak sarapan. Namun, hal itu cukup berhasil.
Nina dan beberapa orang yang ada di ruangan itu serempak memandangi pria jangkung yang baru saja tiba. Wajah pria berwajah tirus itu terlihat tak kalah sedih. Isak tangisnya terdengar. "Arthur?" mommy Nick tampak terkejut. Setelahnya, wajah lembut itu kembali melunak, matanya kembali basah. Ia menjangkau wajah pemuda itu perlahan, lalu menerimanya ke dalam pelukan. Keduanya menangis sesegukan. Nina memperhatikan meski dalam hati bertanya-tanya, siapa gerangan pria itu. Ia melirik Nick, suaminya itu hanya mematung dan mengabaikan drama yang terjadi. Hey, ini siapa? Kok cuek gitu? batin Nina. Ia berharap Nick menjelaskan padanya. Namun, percuma, suaminya itu bahkan buang muka. "How is he?" tanya pria yang bernama Arthur itu. "Jom, kite tengok," ajak mommy Nick. M
Nina merasakan sosok di hadapannya begitu dekat. Ia bahkan dapat merasakan hembusan napas pria itu di wajahnya. Awalnya Nina berpikir kalau itu Nick, ternyata dugaannya salah. Sewaktu membuka mata wajah Arthur begitu dekat. Nina kaget, ia sampai berdiri secara spontan. Hingga kepalanya membentur wajah Arthur dengan cukup keras. "Ouch!" pekik pria itu menahan sakit di bagian bawah dagunya. "Ups, sorry. Gue kaget tadi soalnya." Mampus, bahasa asli gue keluar. Die ngerti kagak ye? batin Nina. "It's oke. Gue juga kaget," jawab Arthur santai, meski sesekali masih meringis kesakitan. Eh, dia bisa bahasa gue? "Eh, lo bisa ...." "Sst, ini antara kita aja. Gue pernah stay di Indo. But no body knows. So, antara kita aja, ya," bisiknya pelan.