Share

Stalker

Hari Senin, pukul 8 pagi.

Luna sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Ia lalu bercermin, pakaian yang ia kenakan hari ini adalah atasan blouse putih dengan lengan rample lalu rok panjang hitam. Ia memang termasuk tipe perempuan yang tidak suka mengenakan pakaian yang terlalu heboh. Rambutnya ia kuncir ke belakang, memperlihatkan leher jenjang miliknya. Saat sedang bercermin, Fika datang menghampirinya. Fika sendiri mengenakan atasan kemeja berwarna pastel dengan motif bunga kecil, bawahnya ia pakai celana jeans, tak lupa ia mengenakan ikat pinggang berwarna emas miliknya.

“Lo kuliah jam berapa, Luna?” tanya Fika seraya menguncir rambutnya juga.

“Gue jam 11,”  jawab Luna.

“Gue ada kelas jam 10 nih,” jelas Fika.

“Ya udah gapapa kok, nanti gue bisa tunggu di kantin aja,” ucap Luna.

“Kita bareng aja, gue juga udah rapi nih,” lanjut Luna.

Fika melirik ke arah Luna, ia pun tersenyum tipis melihat Luna yang tampak sudah lebih cerah raut wajahnya dibandingkan kemarin lusa. Saat itu Luna terus menerus menangis dan histeris, sampai Rafka pun masuk ke dalam kamar Luna dan membantu menenangkan Luna.

Fika mengakui bahwa cobaan hidup Luna memang berat. Terlebih papinya yang terus menerus membentak dan memukul Luna. Jujur hati Fika sangat teriris setiap kali mendengar Luna bercerita tentang kelakukan papinya itu. Tapi ia tidak bisa masuk lebih dalam, ia hanya terus mencoba menjadi pendengar yang baik bagi sahabatnya itu.

Pada saat di Bandung pun, Luna masih terlihat raut wajah sedihnya. Walau ia mencoba untuk tersenyum tiap kali Sayla dan Joe ajak bicara.

“Fika? Ngelamun?”

“Eh iya? Udah siap, Lun?” Fika pun tersentak kaget karena ucapan Luna membuyarkan lamunannya. Luna pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Udah kok,” jawab Luna.

“Oke,sekarang aja kita jalannya ya?”

“Siap, Bu Bos,” tukas Luna sambil merangkul pundah Fika, “Makasih ya, Fika, selama ini lo emang sahabat terbaik gue,” sambung Luna. Fika pun tersenyum mendengar ucapan sahabatnya itu.

“Itu lah gunanya sahabat, dan makasih juga karena lo udah jadi sahabat terbaik gue.”

“Ih, pagi-pagi udah mellow aja ya,” ujar Luna.

“Hehehe, kan lo yang mulai,” kekeh Fika kemudian.

Mereka pun lalu turun ke bawah, lalu mereka menuju ke ruang makan. Di ruang makan mereka melihat Rafka sudah berada di meja makan. Karena Joe dan Sayla masih berada di Bandung, jadi hanya Rafka saja di sana.

“Pagi, Ka,” sapa Fika.

“Pagi,” sapa Rafka.

“Selama pagi, Ka,” sapa Luna. Rafka menatap Luna. Luna merasa salah tingkah karena ditatap begitu oleh Rafka, “Kenapa, Ka? Aneh ya baju gue?” tanya Luna kemudian. Rafka pun menghembuskan napas lalu menggeleng.

“Enggak kok,” jawabnya singkat.

“Jalan sekarang gimana, Ka?” tanya Fika.

“Lo ada kelas jam berapa?”

“Jam 10.”

“Masih ada waktu, sarapan dulu,” tutur Rafka.

Luna melihat hidangan yang ada di atas meja. Terdapat waffle – makanan kesukaannya. Terlebih di atas waffle  itu ada madunya, itu kesukaan Luna.

“Wei, Lun? Bengong aja?” tanya Fika, membuyarkan lamunan Luna.

“Eh? Gapapa kok.”

“Ayo sarapan! Kesukaan lo nih!” celetuk Fika.

“Hehehe lo kok tahu sih?” kekeh Luna. Ia tak heran Fika tahu kesukaannya, karena memang mereka sudah hampir 4 tahun bersahabat.

“Ya tahu lah. Apa sih yang gak gue tahu dari lo?” ujar Fika. Ia pun menaruh waffle itu di atas piring Luna. Luna tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

“Makasih ya, Fika.”

“Masama, santai aja, kayak sama siapa aja lo,” ujar Fika, “Udah abisin itu, kalo abis nanti minta Kaka untuk buat lagi,” lanjut Fika dengan santainya.

“Apa lo bilang?” tanya Rafka.

“Lo yang buatin lagi kalo kurang.”

“Ck,” Rafka hanya berdecak mendengar jawaban kembarannya itu. Fika hanya terkekeh melihat Rafka yang mukanya sudah ketat.

“Santai aja, Bro. Bercanda elah.”

“Ya ya ya.”

“Fika, lo sendiri gak sarapan?” tanya Luna.

“Gue ‘kan gak biasa sarapan, Lun,” jawab Fika. Memang sih Luna tahu kalau Fika itu tidak biasa sarapan. Dia biasanya brunch jam 10 pagi atau jam 11.

“Makan dulu atau gak jadi jalan?” ancam Rafka. Fika hanya menghela napasnya lalu memutar bola matanya malas.

“Iya deh iya,” tukas Fika seraya mengambil waffle dan menaruh di atas piringnya sendiri.

Mereka pun akhirnya sarapan bersama.

***************

Mereka sudah selesai sarapan, lalu mereka bertiga pun menuju ke mobil Rafka. Mobil Rafka termasuk mobil yang mahal. Mobil dengan merk dengan lambang kuda itu pun meluncur menembus jalanan Jakarta yang sudah padat.

“Lo ada kelas jam berapa, Ka?” tanya Fika ke Rafka. Rafka menyetir di depan, sedangkan Fika berada di sampingnya. Luna duduk sendiri di belakang. Ia tengah asik memandang kendaraan di Ibukota yang sudah mulai padat merayap.

“Jam 11,” jawab Rafka singkat.

“Hmm, berarti cuma gue yang jam 10 ya. Luna juga jam 11.”

“Selesai jam berapa?”

“Gue jam tiga sore,” jawab Fika, “Lun, lo selesai kelas jam berapa?” sambung Fika bertanya ke Luna. Luna pun menoleh.

“Gue agak sore, jam 5 sore baru selesai kelas,” jawab Luna seraya melirik ke arah Fika yang sedang menoleh ke arahnya.

Full mata kuliah hari ini?” tanya Fika lagi.

“Iya.”

“Kalo lo jam berapa, Ka?” tanya Fika ke Rafka.

“Gue jam 2 juga udah kelar,” jawab Rafka seraya terus memandang ke depan. Ia merasa sedikit kesal karena Jakarta pagi ini sangat macet.

“Kalian gak usah nunggu gue. Gue nanti bisa balik sendiri kok. Kasihan kalian kelamaan kalo nunggu gue,” tukas Luna. Ia merasa tak enak jika Fika dan Rafka harus menunggunya.

“Mana bisa gitu, pergi bareng ya pulang juga bareng,” ucap Fika.

“Tapi…” ucapan Luna terhenti. Ia melirik ke arah Rafka yang sedang menyetir. Rafka hanya menatap sekilas melalui kaca spion.

“Kita tungguin kok. Ya, Ka?” potong Fika.

“Hmm,” gumam Rafka singkat.

“Gak kelamaan nungguinnya?” tanya Luna memastikan. Jujur dia gak enak kalau sampe mereka nunggu Luna. Luna ‘kan hanya menumpang.

“Santai aja kali, Lun. Kayak sama siapa aja lo ah!”

“Makasih ya kalau begitu, maaf kalau merepotkan,” kata Luna tulus. Karena memang hatinya masih merasa tak enak jika Rafka dan Luna harus menunggu selama 3 jam untuk dirinya aja.

“Gak ada yang ngerepotin tahu, Lun! Jadi santai aja ya?” tukas Fika. Luna pun tersenyum mendengar ucapan Fika itu.

Perjalanan padat merayap mengharuskan mereka baru sampai 1 jam kemudian. Rafka segera memarkirkan mobilnya, tak lama kemudian Fika pun bersiap turun dari mobil. Karena memang sudah jam setengah 10, ia takut terlambat masuk kelas.

“Gue ke kelas dulu ya, udah jam setengah 10,” ujar Fika sedikit terburu-buru. Ia langsung mengambil tas nya, kemudian ia turun dari mobil.

Luna pun melirik sekilas ke arah Rafka. Jujur ia masih belum terlalu nyaman di samping kembaran Fika itu. Rafka itu termasuk anak yang pendiam, tidak banyak omong, dan cenderung cuek. Luna pun segera membuka pintu mobil, hal ini diikuti oleh Rafka.

“Gue ke kantin dulu ya, Ka. Makasih atas tumpangannya,” ucap Luna.

“Hmm,” gumam Rafka.

“Bye.” Luna pun tersenyum dan melambaikan tangannya ke Rafka. Rafka hanya menatapnya, tak lama Luna pun memunggungi Rafka dan bergegas ke kantin. Rafka hanya menatap punggung Luna, ia pun tersenyum tipis.

****

Saat berada di kantin, Luna pun duduk di bangku yang ada di pojok kantin. Tak lama kemudian ada notif DM IG di ponselnya. Luna pun segera membukanya.

Bryan        : Morning, Luna.

Bryan        : Gue tahu kalo lo lagi di kantin.

Luna tersentak kaget, ia pun hanya membaca DM-nya itu.

Bryan        : Lo lagi minum jus tomat.

Bryan        : 😊

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status