Sepulangnya dari pasar, Bu Lastri pun segera memasak melihat matahari yang mulai meninggi.
Syifa dan Sela dengan sigap membantu, mengingat yang lainnya masih tertidur pulas. Kebetulan selama dua minggu ke depan, Sela dan adiknya mendapat libur panjang setelah kelulusan keduanya.
“Taruh di sini saja, Nak. Biar Ibu yang tumis,” kata Bu Lastri saat Syifa selesai memotong kangkung.
“Iya, Bu.” Syifa meletakkan baskom kecil itu di atas meja dan berpindah untuk membantu Sela yang sedang memotong buncis.
Pagi itu, Bu Lastri menyibukkan diri untuk menyelesaikan masakannya sebelum pergi melayat. Sela mengambil alih untuk menyajikan makanan di meja, sementara Syifa memanggil yang lainnya untuk bangun dan sarapan.
Azriel dan Glen yang tidak butuh waktu lama untuk berganti pakaian lantas memasuki dapur. Mereka duduk di alas karpet dan menatap makanan yang tersaji. Syifa, Sela, dan Adel sudah mulai menyendok singkong ke dalam piring.
“Nih, ambil,” kata Syifa, menyodorkan masing-masing sepiring pada Azriel dan Glen.
“Bu Lastri di mana?” tanya Azriel. Sejak bangun tadi, ia tidak melihat keberadaan Bu Lastri di rumah itu.
“Ibu tadi buru-buru pergi melayat, Kak. Ada salah seorang warga yang meninggal pagi ini,” sahut Sela.
“Meninggal? Siapa?” Rania yang baru datang bersama Salsa ikut bertanya penasaran. Mereka menempatkan diri di samping Glen.
“Namanya Pak Parmin.” Bukan Sela yang menjawab, melainkan Syifa. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik rendah, “Kalian tahu nggak? Pas aku ke pasar sama Bu Lastri, ada ibu-ibu, namanya Bu Laila, dia bilang saudaranya mendadak meninggal pagi ini, dan sakitnya mirip sama almarhum Faiz.”
Azriel yang hendak makan sontak menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu?”
“Ya itu, Pak Parmin sempat demam, terus kejang-kejang dan mulutnya penuh busa,” jelas Syifa.
Mereka semua terdiam di tempat, merasa tercengang dengan penjelasan Syifa. Pikiran buruk mulai memenuhi pikiran mereka, merasa bahwa dua kejadian yang persis sama itu rasanya begitu janggal untuk diterima.
“Hm, kayaknya ada yang nggak beres di desa ini deh,” ucap Rania. Ia mengaduk-aduk singkongnya dan tampak berpikir keras. Kemudian teringat dengan kejadian kemarin, Rania tidak bisa menahan suaranya untuk meledak. “OH ASTAGA! Kakek itu! Kemarin aku tuh ketemu—”
“Sshh, kecilin suara kamu.” Azriel memberi peringatan dengan cepat.
Rania cengengesan dan sontak menutup mulutnya dengan tangan. Suatu kebiasaan yang sering ia lakukan. “Maaf,” gumamnya. “Jadi, kemarin aku tuh ketemu sama kakek misterius yang bantu kita di hutan itu. Ingat kan, yang aku bilang kakek itu tiba-tiba menghilang pas mobil kita udah lewat?”
Mereka semua mengangguk, kecuali Adel dan Sela yang menyimak percakapan dalam diam.
Rania menjetikkan jarinya. “Nah, masa aku liat kakek itu berdiri nggak jauh dari balai desa? Aneh banget 'kan? Logikanya ya, seharusnya kakek itu nggak bisa barengan sama kita atau sampai lebih cepat di balai desa kalau cuman jalan kaki, sementara kita pakai mobil. Tapi—”
“Aku pun bawa mobil cepet-cepet karena nggak mau kita kemalemam,” timpa Azriel tiba-tiba memotong pembicaraan Rania.
“Tuh, kan. Memang ada yang aneh.” Rania mengangguk dengan wajah dipenuhi tanda tanya.
Ucapan Rania sukses membuat mereka semua merenungkan apa yang terjadi. Kematian Faiz sendiri sudah terbilang janggal berdasarkan cerita Bu Lastri, dan kemudian hari ini kejadian yang sama terjadi kembali pada salah satu warga desa. Lalu kakek tua misterius itu ....
Semuanya terasa tidak beres. Seperti kepingan puzzle yang menghilang, desa ini seolah menyimpan banyak rahasia gelap yang dikubur rapat-rapat.
“Aku pikir Rania benar,” kata Azriel. Ia bukan orang yang gegabah dan selalu berpikir tenang, tetapi dari apa yang terjadi, ia sangat setuju dengan keanehan di desa ini.
Sela mendadak berdehem dan seluruh perhatian seketika tertuju padanya. “Sebenarnya ... kejadian Kak Faiz bukan yang pertama.”
“Hah, beneran?” Salsa yang mulai ketakutan tanpa sadar menyahut.
Sela mengangguk pelan. “Akhir-akhir ini aku sebenarnya udah ngerasa kalau desa ini nggak aman. Dan dulu sebelum kejadian kak Faiz, ada kejadian yang sama. Kira-kira satu bulan yang lalu, tapi bukan warga sini.”
“Siapa?” tanya Syifa.
“Mereka rombongan salah satu partai sama timnya, Kak. Kejadiannya itu mereka habis kampanye di sini dan tiba-tiba besok paginya udah ditemukan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan.”
Salsa bergidik ngeri dan tak lagi melanjutkan sarapannya saat Sela melanjutkan ceritanya, “Sebenarnya para warga sudah curiga ada yang melakukan pesugihan di desa ini, dan katanya orang-orang yang meninggal itu korbannya.”
“Ihh, ngeriii.” Salsa meringis dan spontan melompat ke arah Rania, hampir saja membuat gadis itu oleng ke lantai. Salsa memang tidak pernah tahan dengan hal-hal yang berbau mistis, apalagi mengingat posisi di mana mereka berada sekarang. “Kok jadi seseram itu sih? Apalagi kita baru sampai di sini.”
Glen menghela napas melihat tingkah Salsa dan mengisyaratkan Sela untuk kembali bercerita.
“Setelah kejadian kak Faiz, Ibu selalu berpesan untuk tetap di rumah kalau waktu Magrib udah tiba, takutnya kami jadi sasaran ... tumbal berikutnya ....” suara Sela hampir menghilang di akhir karena perasaan ngeri yang kini menggerogotinya.
Hal itu ikut dirasakan oleh Azriel, Glen, Syifa, Rania, dan Salsa. Padahal, mereka berniat ke Desa Pulo Majeti untuk mengucap belasungkawa, tetapi kemudian berakhir dengan segala hal aneh yang terungkap sedikit demi sedikit.
Salsa telah meringkuk di samping Rania dengan wajah cemberut. Meskipun pagi itu langit cerah, tetapi cerita Sela berhasil membawa awan mendung di atas kepala mereka.
“Tapi dipikir-pikir, belum tentu itu semua pesugihan,” kata Glen setelah beberapa saat. Glen tidak pernah percaya dengan tahayul, jadi ia tidak bisa seratus persen yakin dengan semua asumsi itu. “Mungkin ada penjelasan masuk akal atau apa gitu? Cuma jangan terlalu cepat ambil kesimpulan. Tapi kalau pun benar itu pesugihan, bukannya warga harus ambil tindakan dan cari dalangnya?”
Mereka semua mengangguk setuju. Jika dibiarkan, maka korban akan semakin berjatuhan.
Mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan sambil merenungkan cerita Sela tentang kejadian di desa itu. Saat piring hendak dibereskan, Azriel pun angkat bicara.
“Kalau hal ini terus berlanjut, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari pelakunya, jangan sampai ada korban lagi seperti Faiz.”
***
Warga Desa Pulo Majeti terlihat mengerumuni rumah keluarga almarhum Pak Parmin. Sebagian besar pria tengah sibuk memotong bambu yang akan dijadikan keranda.
Sela menuntun jalan menuju rumah almarhum, sementara Syifa dan Glen sibuk memperhatikan sekitar. Sela sengaja mengajak keduanya ke sana untuk mengamati apa yang terjadi, atau mungkin menemukan sesuatu yang mencurigakan terkait prasangka mereka.
Syifa dan Glen sangat pandai bersosialisasi, jadi mereka yang dipilih untuk pergi. Sementara yang lainnya tetap tinggal di rumah untuk membereskan dan mengatur barang-barang mereka yang belum sempat ditata.
“Di sini Kak,” panggil Sela saat menemukan posisi ibunya yang duduk tidak jauh dari teras rumah.
Glen dan Syifa akhirnya duduk di kursi plastik yang berada di sebelah Bu Lastri. Di sampingnya, duduk Bu Laila dengan matanya yang masih sembab sehabis menangis. Bu Laila tampak memperhatikan kedatangan dua anak Jakarta dengan pakaian kasualnya itu, begitu pun dengan beberapa warga desa yang terlihat penasaran.
“Eh, Bu Lastri, siapa dua orang yang datang sama Sela itu?” Bu Laila mencolek pelan lengan Bu Lastri, tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
“Oh, mereka Glen dan Syifa, teman dekat almarhum Faiz, Bu. Mereka datang dari Jakarta dan akan nginap selama beberapa hari di rumah saya,” jawab Bu Lastri seraya melirik Glen dan Syifa yang otomatis tersenyum.
Bu Laila manggut-manggut dan mereka saling menyapa dengan sopan. Tanpa malu, Bu Laila berlama-lama menatap wajah Syifa dan Glen. Kemudian, senyum Bu Laila merekah.
“Kalian berdua cantik dan ganteng ya,” ucapnya. Lalu tatapannya terpaku pada Glen. “Kebetulan Ibu punya anak gadis, masih muda dan cantik. Nak Glen mau tidak jadi menantu, Ibu?”
Mata Glen melebar, sementara Syifa hampir tidak bisa menahan tawanya. Dengan kikuk Glen tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Makasih atas tawaran Ibu, tapi saya udah punya pacar,” ucapnya sambil tersenyum canggung.
Senyum Bu Laila seketika memudar. “Ah, sayang sekali, ya. Padahal anak Ibu pasti bakalan suka sama kamu.”
Glen lagi-lagi hanya bisa tersenyum canggung, merasa tidak nyaman dengan obrolan itu. Untungnya, Bu Lastri yang mengerti dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
Ketika mereka mulai larut dalam obrolan lain, tiba-tiba saja seseorang datang mengalihkan perhatian para pelayat yang ada di sana.
Suasana yang tenang langsung berubah dan beberapa orang terlihat berdiri untuk menyapa wanita yang baru datang itu.
“Bu Kades, silakan duduk, Bu.”
“Bu Kades?” gumam Syifa, saling melirik dengan Glen yang mengernyit.
Mereka ikut berdiri dan melihat wanita berusia sekitar 48 tahun. Dia memakai pakaian glamor berwarna hitam dengan motif garis putih yang mahal. Perhiasan emas yang menghiasi leher, pergelangan tangan, dan juga jemarinya terlihat berkilau di bawah cahaya matahari. Wanita itu tampak sangat menonjol di tengah warga yang hanya memakai pakaian biasa.
Semua orang menyambutnya dengan hormat dan dengan cepat mempersilakannya untuk duduk. Dari pembicaraan para warga, Glen dan Syifa akhirnya tahu bahwa dia adalah Bu Linda—istri sang kepala desa.
Glen dan Syifa mengerutkan kening heran dan saling pandang satu sama lain. Tatapan mereka menyuarakan pikiran yang sama melihat penampilan Bu Kades.
Bagaimana bisa seorang Bu Kades bisa sekaya itu di tengah desa terpencil ini?
Bersambung ....
“PAK, BANGUN!! BANGUN, PAK!! JANGAN TINGGALIN IBU SENDIRIAN!! PAKKKKKK! SIAPA NANTI YANG NGASIH SAYA UANG, PAKKK! BANGUNN!”Bu Linda terus berteriak histeris melihat Pak Suro yang tidak lagi bergerak di tempat. Tetapi, bukannya mendekat, Bu Linda malah hanya terus berteriak di tempat layaknya orang kesurupan.Para warga yang melihat hal itu hanya diam dan tidak berniat untuk menolong. Setelah mengetahui kebusukan Pak Suro, mereka benar-benar membenci sang kepala desa dan keluarganya yang tidak punya belas kasihan.“Jangan ada yang nolongin Bu, itu balasan untuk orang seperti mereka,” kata warga, mulai berbisik-bisik melihat Bu Linda yang bertingkah seperti orang gila.Bu Linda terus mencak-mencak di tempat sambil menarik-narik rambutnya dengan kekuatan penuh. Namun, tidak ada satu pun warga yang terlihat kasihan.“Mereka orang jahat dan kejam yang rela melakukan apa pun demi uang. Bahkan, balasan ini belum setimpal buat mereka!” kecam para warga.“Iya, betul, Bu. Saya harap sampai tuj
“Benar, ini adalah ladang ganja,” kata rekan polisi tersebut, mengonfirmasi ucapan Glen.Glen kembali berdecak, antara kagum dan juga prihatin dengan keberadaan ladang ganja yang luar biasa luas itu. Mereka sengaja menyembunyikannya di kedalaman hutan, sehingga tidak ada kecurigaan apa pun. Benar-benar pikiran para penjahat itu tidak ada duanya.“Wah, ini ladang ganjanya bisa dijadiin perumahan,” ucap Azriel sarkastik, pasalnya ganja yang ditanam luasnya bukan main.Glen dan kedua polisi di sampingnya pun spontan tertawa. Azriel terlalu jengkel melihat ladang itu karena sekarang jelas dari mana kekayaan Pak Kades berasal, selain dari pesugihan yang dia lakukan.Mereka mengamati ladang ganja itu dan Glen tiba-tiba teringat dengan foto di ponsel Faiz. Keningnya berkerut dalam saat membandingkan foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.Bentuk tanaman itu ... bentuk daunnya ...Glen mendekat ke salah satu tanaman ganja dan memperhatikannya dengan seksama. Meskipun foto di ponsel Faiz d
“Gimana? Apa katanya?” Azriel mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan mobil, menunggu Glen yang tengah menghubungi Rania terkait pergerakan Pak Kades dan rekannya.“Katanya aman,” jawab Glen, menunjukkan pesan dari Rania yang mengatakan kalau mereka bisa bergerak sekarang sesuai rencana. Pak Kades sedang sibuk melayani warga dan tidak akan bergerak dari tempatnya sampai beberapa jam ke depan.“Bagus. Sekarang kita harus segera pergi,” kata Azriel, lalu beralih menatap ke arah Pak Kyai Jafar dan dua orang polisi yang telah mereka panggil sebelumnya.Mereka semua akan pergi bersama ke hutan demi menemukan Rizky, Kakek Apung, juga bukti lain yang sekiranya bisa mereka temukan untuk memperlihatkan kebusukan Pak Kades.“Kita bisa bergerak sekarang, Pak,” ucap Azriel dan mereka semua mengangguk mengerti.Kali ini, Azriel akan membawa Jeep-nya menjelajahi hutan hingga tiba ke rumah panggung itu. Glen berada tepat di sampingnya, sementara Pak Kyai Jafar dan dua polisi lainnya duduk di belakang.“
“Mawar? Mawar? Heh? Kamu denger aku bicara nggak sih?”Dinda menghela napas keras melihat Mawar yang sama sekali tidak menggubris ucapannya. Setelah kejadian di mana Mawar kesurupan, sikapnya mendadak berubah drastis.Mawar selalu melamun dan tidak mau bicara. Dinda sudah berusaha keras untuk membujuknya dan mencoba banyak hal, termasuk membuat konten mereka lagi, tetapi nihil. Mawar sepertinya lebih suka tenggelam dalam lamunannya dan mengabaikan Dinda sepenuhnya.“Mawar, kamu sebenarnya kenapa sih?” Dinda menatap frustrasi sekaligus prihatin. Ditatapnya penampilan Mawar yang acak-acakan, begitu berantakan dan urakan. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis modis nan cantik yang terobsesi untuk menjadi influencer terkenal.“Mawar, sampai kapan kamu diam gini sih?” Dinda kembali mencoba mengajak Mawar mengobrol. Ia telah berhasil membujuk Mawar untuk pergi ke danau tempat biasa mereka membuat konten, tetapi tetap saja dia berakhir melamun di sini. “Gimana kalau kita buat konten lagi?” t
Setelah memenggal kepala Rizky, Pak Suro pun segera mengambil kepala berlumuran darah itu untuk diberikan pada Kakek Apung.Kakek Apung bangkit dari tempatnya dengan mata yang telah memerah, juga wajah buruk rupa yang penuh belatung. Hal itu menandakan bahwa iblis yang akan membantu Kakek Apung telah merasuki tubuhnya.Pak Suro dan kedua anak buahnya kemudian berlutut penuh hormat. “Saya persembahkan kepala ini untuk Tuanku!”Kakek Apung yang telah dikuasai iblis dalam dirinya langsung memakan kepala itu dengan rakus. Saking terburu-burunya sampai beberapa potong tulang berjatuhan ke lantai.Kedua anak buah Pak Suro sontak mundur dengan perasaan ngeri luar biasa. Memenggal kepala Rizky saja sudah membuat mereka mual, apalagi melihat pemandangan di mana Kakek Apung memakan dan menguliti kepala utuh itu.Mulut dan tangan Kakek Apung telah berlumuran darah. Kedua anak buah Pak Suro hanya bisa menelan ludah susah payah, meskipun dalam hati berharap bisa lari dari tempat itu.“Ya, habiskan
“Allahuakbar!”Kyai Jafar membaca surah dengan khusyuk saat melaksanakan shalat tahajud malam itu. Jam dinding telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika ia terbangun karena mimpi aneh.Tidak seperti biasanya, kali ini hujan deras mengguyur di puncak musim kemarau yang biasanya kering kerontang. Ranting-ranting pohon terdengar mengetuk kaca jendela tiap kali angin kencang datang dari arah timur.Hawa dingin membungkus setiap sisi pesantren. Kyai Jafar kemudian bangkit untuk melaksanakan beberapa rakaat lagi sebelum melaksanakan shalat witir. Namun, di tengah kekhusukannya, tiba-tiba ia merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.Kyai Jafar berusaha mengabaikan gangguan itu dan tetap melanjutkan sholatnya. Saat ia mulai berzikir, mendadak gangguan tersebut semakin menguat. Tangan Kyai Jafar sampai bergetar karena gangguan halus yang tiap detiknya meningkat.“Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...” suara Kyai Jafar semakin besar di setiap dzikirnya. Terasa jelas dahinya mula
“Kenapa Pak Kades kayak keberatan?! Kami cuma ingin ngecek sesuatu, Pak! Ini penting dan menyangkut keamanan para warga!” kata salah satu bapak-bapak dengan tatapan menusuk yang terarah pada Pak Kades.Mereka telah mendengar tentang praktek ilmu hitam di desa ini dan ingin membuktikan rumor yang menyebar.Pak Kades terdiam dan kebingungan untuk menjawab. Para warga tampaknya bersikeras untuk tetap menggali makam, sekalipun Pak Kades tidak memberi persetujuan. Bahkan di belakang, beberapa warga terlihat sudah membawa sekop dan cangkul untuk membongkar makam.Pak Kades berpikir keras di tempat dengan kepala pusing. Jika ia terang-terangan menolak, maka para warga pasti akan mencurigainya tengah menyembunyikan sesuatu. Tetapi jika ia setuju ... mungkinkah rahasianya akan ketahuan?“Pak Kades kenapa diam saja?” para warga mulai tidak sabaran dan kini menatap Pak Kades yang tersudut. “Kami hanya ingin memastikan sesuatu, Pak.”Pak Kades pun memaksakan senyumnya. “Oh, tentu saja, Pak. Kalia
“MATI KALIAN!”Glen dengan sigap mengambil kayu yang ada di dekatnya dan memukulkannya ke perut Rizky. Pedang Rizky yang berayun terhenti di udara sebelum kemudian dia menggeram kesakitan.Rizky mencoba untuk mengayunkan pedangnya lagi, tetapi Glen sudah lebih dulu memukul pahanya. “Sialan.” Rizky meringis menahan sakit. Ia hampir oleng ke samping, tetapi tetap saja ia mengayunkan pedangnya secara acak.Glen yang tidak ingin melewatkan kesempatan dengan cepat memukul pergerakan Rizky yang memegang pedang. Alhasil pedang itu jatuh ke tanah dan Glen menyingkirkannya dengan kakinya.Tetapi bukannya menyerah, Rizky dengan membabi buta malah maju untuk memukul Glen. “Kalian harus mati!” teriaknya.“Dasar gila!” balas Glen dan satu pukulan kembali mendarat di bahu Rizky. Glen yang tahu sedikit teknik bela diri dengan mudah bisa menghindari pergerakan Rizky yang berusaha untuk memukulnya. “Kamu yang harus KO!”“Kalian harus mati ....” Rizky masih saja bergumam dan mencoba untuk meraih Glen l
“Langsung kirim aja ke Salsa sama Syifa supaya foto-fotonya aman.”Glen mengangguk mendengar instruksi Azriel dan langsung mengirimkan semua fotonya pada Syifa dan Salsa. Mereka ingin barang bukti itu aman di tangan kedua teman mereka yang menunggu di rumah Bu Lastri.Setelah selesai, Glen buru-buru memasukkan ponselnya ke saku. “Si Rizky udah jauh banget tuh,” gumamnya, menatap punggung Rizky dari kejauhan.Tubuh Rizky nyaris ditelan gelapnya malam. Pohon-pohon di hutan semakin lebat dan tinggi. Mereka terus mengikuti Rizky yang entah akan pergi ke mana lagi. Dia tidak lagi berhenti untuk meletakkan sajen, tetapi terus melangkah lebar menuju ke arah selatan.‘Sebenarnya dia mau ke mana?’ Azriel bertanya-tanya dalam hati. Hutan ini begitu luas dan entah di mana ujungnya.Dingin yang menusuk tulang semakin terasa dan mereka harus mengeratkan jaket. Sampai kemudian, terlihat sebuah bukaan dengan rumah panggung kayu yang berdiri kokoh di bagian tengah.Azriel, Glen, dan Rania berhenti di