BAB 129POV NAMIKena Mental “Kenapa aku tidak kepikiran sampai sana?” gumam Mas Anwar sambil mengusap wajah pucatnya berulang kali. Pria yang katanya ingin berbicara serius hingga menyuruhku untuk mematikan suara sadapan dari ponsel Nami segala itu pun masih tampak frustrasi. Raut kekecewaan begitu kental pada dirinya. Inilah yang sebenarnya kutunggu-tunggu! “Aku padahal sudah mengikhlaskan diri untuk menerima Ina kembali di rumah ini. Supaya derajatnya dan derajat keluarganya terangkat lagi. Namun, dia malah melakukan kejahatan lagi kepadaku.” Mas Anwar berkata-kata dengan suara yang sangat putus asa. Lelaki bodoh, pikirku. Terbuat dari apa kepalamu, Mas? Bisa-bisanya kamu memikirkan Ina sampai segitunya, sementara perempuan tua itu saja ternyata adalah ular betina berbisa yang siap mematukmu kapan saja. Mas Anwar perlahan menatapku. Tangannya tiba-tiba merayap ke jemariku. Kutatap balik lelaki berkulit gelap itu
BAB 130POV NAMISimbah Tangis Setelah kutendak kakinya, Mas Anwar berteriak sekaligus tersuruk ke belakang tubuhnya. Hampir saja dia terjerembab di lantai. Untungnya, tubuh suamiku yang memang telah jauh berkurang berat badannya ketimbang saat sebelum kami menikah itu dapat dia seimbangkan dengan baik sehingga tak jadi terjatuh. Aku menatapnya murka. Tak ada penyesalan sedikit pun di hatiku karena telah melawan Mas Anwar. Mungkin sudah jalannya begini, pikirku. Tak ada lagi kelembutan dalam tutur kata, bahasa, maupun gerak gerikku kepadanya. Padahal, dulu dia adalah lelaki yang paling kuhormati. Mas Anwar bukan hanya suami bagiku, tetapi dia telah kuanggap sebagai segala-galanya dan sandaran hidupku. Namun, sekarang semuanya telah jauh berbeda. Sikap Mas Anwar yang plin plan, tidak tegas, dan kurang rasional itulah yang membuatku berang. Kini, bidadari telah berubah menjadi seorang ibu tiri yang kejam! “Nami, aku m
BAB 131POV NAMIMampus! “S-sayang … mari kita berusaha untuk positive thinking pada Bayu. Semua orang bukankah perlu untuk diberikan kesempatan kedua?” Bibir gelap Mas Anwar makin bergetar saja. Jemarinya pun kini mengusap cepat ujung pelupuknya yang masih basah. “Kamu lihat sendiri kan, bagaimana hasil dari kesempatan kedua yang kamu berikan ke Ina? Lantas, apa kesimpulannya? Bukannya dia masih saja melakukan dosa yang sama setelah kamu beri kesempatan kedua?” Tudinganku berhasil membuat Mas Anwar terenyak dan memejamkan matanya sejenak sembari menghela napas dalam. Habis kamu, Mas. Setiap argumenmu berhasil kupatahkan. Namun, kurasa apa pun ujung dari perdebatan ini, tetap saja kamu berakhir dengan keputusanmu sendiri. Ini yang membuatku hampir putus asa. Rasanya lelah. Sakit sekali hati ini bila terus membersamai seseorang yang hanya dirinya saja yang ingin digugu dan didengarkan. “I-iya, Sayang. Aku tahu. Begin
BAB 132POV NAMIItu Deritamu “A-apa …? M-mas Anwar, ini kenapa?” Ina gelagapan. Muka Ina menjadi pucat pasi. Ekspresinya benar-benar sok polos. Seperti tidak berdosa sama sekali. Semakin sinis aku memandanginya. Tanpa berkedip, aku menatapnya tajam. Berharap dia sadar bahwa semua kejahatannya telah berhasil kami kuliti, lalu dia meminta maaf dengan cara berlutut di bawah kakiku dan suamiku. “Kenapa katamu? Kamu pura-pura tidak tahu?” Mas Anwar terdengar marah sekarang. Bagus, Mas! Ayo, keluarkan kekuatanmu! Jangan buat Ina semakin semena-mena di rumah kita. Kepala Ina menggeleng. Bibirnya gemetar. Kedua telapak tangannya lalu menutupi mulutnya yang tiba-tiba menganga. “Jangan cuma bisa akting kamu, Ina! Semua percakapanmu di telepon bersama Rustina sudah kami dengarkan bersama! Kamu masih mau mengelak, Ina?!” Kali ini aku yang membentak perempuan kurang ajar itu. Entah dapa
BAB 133POV NAMIHukuman Untuk Pengabdi Setan “Diam kamu, anak setan!” Ina malah meneriaki anakku dengan kata-kata yang tidak pantas. Wah, geram sekali aku mendengarnya! Kuping ini langsung panas dan memerah. Bukan Nalen yang anak setan, tapi kamulah setan itu sendiri! “Seenaknya kamu bilang anakku anak setan! Kamu yang setan! Anakmu juga anak setan!” makiku balik kepada Ina. Tubuhku pun meringsek maju hendak menampar Ina. Untungnya, Mas Anwar sama sekali tak mencegah. Suamiku membiarkan aku berjalan gusar ke arah Ina yang tengah ditahan kedua tangannya oleh Nalen dan Jali. Plak! Plak! Dua kali tamparan itu kulayangkan kepada Ina. Tepat mengenai pipi kiri dan pipi kanannya. Aku tidak peduli sesakit apa telapak tanganku sekarang, saking kerasnya menampar muka Ina. Mau sakit seperti apa pun, akan aku tahan. Yang penting hatiku puas. Yang penting dendam kesumatku sudah terbalaskan kepada Ina
BAB 134POV NAMIJanji Setia “Istriku sayang, tolong jangan berpikir yang macam-macam. Nalen dan Jali yang akan jadi saksi perbuatanku malam ini. Aku akan membuang Ina dan sampai kapan pun aku tidak akan memungutnya lagi,” ujar Mas Anwar penuh kelembutan. Tatapan mata Mas Anwar yang pinggiran bola hitamnya telah kelabu itu terlihat sayu. Jari jemarinya lantas menggenggam lengan atasku. Apabila melihat gelagatnya yang seperti ini, maka lagi-lagi aku akan larut dalam rasa melas. “Aku tidak akan macam-macam, apalagi bertindak sebodoh itu, Mama.” Mas Anwar memanggilku kata ‘mama’ seperti yang selalu dia lakukan apabila tengah di depan anak-anak kami. Hatiku makin terenyuh. Mana sanggup diriku untuk meneruskan rasa curiga ini. “Baiklah. Pergilah, Pa. Aku yang akan jaga rumah bersama Rahima.” Aku melunak. Memang hatiku tak akan pernah tega dan betah untuk berlama-lama keras pada suamiku sendiri. Bagaimanapun
BAB 135POV NAMIRahasia Sang Pembantu “Iya, dia punya rencana jahat di rumah ini. Dia sudah mengguna-gunai suamiku supaya beliau kepincut lagi. Setelah kepincut, mungkin aku yang bakalan ditendang sama Ina,” jawabku bersungut-sungut. Rahima tampak tak habis pikir. Perempuan berwajah dan berpenampilan sederhana itu menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Dia pasti sangat terkejut mendengarkan cerita dariku. “Ayo, naik, Rah. Temani aku dulu sampai suamiku datang,” ajakku sambil menaiki tempat tidur. “Iya, Nyah,” sahut Rahima agak sungkan.&nbs
BAB 136Keraguan Sang Mantan Mobil BMW X5 hitam yang Nalen kendarai melaju kencang membelah jalanan. Sengaja pemuda itu memilih jalan pintas untuk menuju pasar sayur yang keberadaannya tak terlampau jauh dari kediaman papa sambungnya. Jika Nalen membawa mobil mewah itu ke jalan utama, dia takut terjebak macet, dan hal tersebut malah membuat waktu yang mereka perlukan untuk sampai ke pasar jadi semakin lama. Di belakang sana, Jali tengah merangkul tubuh Ina yang mereka dudukkan. Perempuan malang itu masih terlelap dalam pingsannya. Sebenarnya Ina sudah sadarkan diri, tetapi tenaganya terlampau lemah untuk sekadar membuka mata. Pukulan telak yang Nalen hunjamkan ke kepala Ina telah membuat perempuan tua itu mengalami cedera yang cukup serius di kepala. Padahal, Nalen sudah sempat dibacai mantra oleh Ina siang tadi. Namun, dengan izin Allah, setelah Nalen mendirikan salat Magrib tiga rakaat yang dia tambah lagi dengan dua rakaat salat rawatib dan