BAB 135POV NAMIRahasia Sang Pembantu “Iya, dia punya rencana jahat di rumah ini. Dia sudah mengguna-gunai suamiku supaya beliau kepincut lagi. Setelah kepincut, mungkin aku yang bakalan ditendang sama Ina,” jawabku bersungut-sungut. Rahima tampak tak habis pikir. Perempuan berwajah dan berpenampilan sederhana itu menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Dia pasti sangat terkejut mendengarkan cerita dariku. “Ayo, naik, Rah. Temani aku dulu sampai suamiku datang,” ajakku sambil menaiki tempat tidur. “Iya, Nyah,” sahut Rahima agak sungkan.&nbs
BAB 136Keraguan Sang Mantan Mobil BMW X5 hitam yang Nalen kendarai melaju kencang membelah jalanan. Sengaja pemuda itu memilih jalan pintas untuk menuju pasar sayur yang keberadaannya tak terlampau jauh dari kediaman papa sambungnya. Jika Nalen membawa mobil mewah itu ke jalan utama, dia takut terjebak macet, dan hal tersebut malah membuat waktu yang mereka perlukan untuk sampai ke pasar jadi semakin lama. Di belakang sana, Jali tengah merangkul tubuh Ina yang mereka dudukkan. Perempuan malang itu masih terlelap dalam pingsannya. Sebenarnya Ina sudah sadarkan diri, tetapi tenaganya terlampau lemah untuk sekadar membuka mata. Pukulan telak yang Nalen hunjamkan ke kepala Ina telah membuat perempuan tua itu mengalami cedera yang cukup serius di kepala. Padahal, Nalen sudah sempat dibacai mantra oleh Ina siang tadi. Namun, dengan izin Allah, setelah Nalen mendirikan salat Magrib tiga rakaat yang dia tambah lagi dengan dua rakaat salat rawatib dan
BAB 137Terbuang Untuk Kedua Kali “J-jangan begitu, Len. Ya, sudah. Ayo, cepat kita singkirkan Ina dari sini.” Meski berat hati, Anwar akhirnya terpaksa harus menyingkirkan Ina. Sudah dia dengar sendiri permohonan Ina dengan suara lirihnya itu agar mereka tak membuangnya. Namun, Anwar benar-benar tidak punya pilihan lain, karena di sisi lain dia juga sangat takut akan kehilangan sosok Nami. Cepat tangan Anwar membuka kenop pintu mobilnya. Perasaan tak tega begitu kentara di batinnya. Untuk melihat ke arah Ina yang kini sedang digendong oleh Jali saja, Anwar begitu tak kuasa. Sementara Jali menggendong Ina yang masih lemah, Nalen bertugas untuk membawakan dua tas yang Ina miliki. Anwar hanya membuntuti keduanya. Tak kuasa untuk berjalan sejajar dengan Jali ataupun anak tirinya. Mereka bertiga pun berjalan melewati jalanan becek pasar. Tak ada siapa pun di area ruko sembako. Hanya hening dan sepi yang kental terasa di
BAB 138Benih Kecewa “Ded, sibuk apa? Aku bisa minta tolong nggak?” Anwar bicara terburu-buru pada salah satu anak buahnya yang bekerja di peternakan, yakni Dedi. Dedi adalah karyawan yang multifungsi. Selain bertindak sebagai sopir peternakan, dia juga diberikan kepercayaan untuk menjaga kawasan yang memiliki luas satu setengah hektar tersebut. Dedi memang tidak bekerja sendirian di peternakan. Masih ada lima belas karyawan lainnya, tetapi Dedilah yang memegang peranan penting karena dia dijadikan tangan kanan oleh Anwar berkat kesetiaannya dalam bekerja. “Halo, Bos. Ini lagi keliling aja. Mantau lampu-lampu, takut ada yang korslet kaya tempo lalu,” jawab Dedi penuh wibawa. Dedi selalu merasa bangga jika ditelepon oleh si bos di saat dirinya tengah menjalankan tugas. Harap pria 37 tahun itu, bosnya yang agak galak tersebut akan menambah gajinya meskipun terkadang keuntungan di peternakan ayam ini sering naik turun. Pada kenyataa
BAB 139Was-Was Susah payah Jali membawa Ina hingga masuk ke dalam mobil kembali. Sekuat apa pun tenaganya sebagai seorang pria yang berprofesi sebagai satpam, tetap saja terasa sangat melelahkan ketika Jali harus bolak balik mengangkat tubuh perempuan sial itu. Lagi-lagi Jali hanya bisa memendam rasa capek dan muaknya kepada Anwar. Ina sudah didudukkan kembali ke kursi penumpang di belakang. Kepalanya tak bisa berada pada posisi tegak, saking lemahnya. Ina sendiri bingung, mengapa tubuh dia bisa selemah ini. Ke mana kekuatan para jin yang membantu Ina? Sudah tak manjurkah jampi-jampinya Mbah Legi? Begitulah rentetan pertanyaan di kepala Ina yang kini mengganggu ketenangan batinnya. Mata Ina pun masih cukup berat untuk sekadar membuka. Kepalanya sangat pening. Ina ragu akankah dia segera pulih dari rasa sakit yang menghantam kepalanya ini atau tidak. “Merepotkan,” gumam Jali sangat pelan ketika dia masuk ke mobil da
BAB 140Setengah Beres Suasana jadi tegang lagi setelah Nalen men-skak mat Anwar dengan kata-kata pamungkasnya. Meskipun Anwar enggan menyahut demi menghindari pertikaian lebih lanjut, sesungguhnya terdapat bara api murka yang terpendam di dalam dadanya. Betapa tidak, Nalen yang dia anggap sebagai bocah kemarin sore, berani-beraninya menjawab dengan kalimat yang sangat menohok. Anwar diam. Jali dan Ina pun bungkam. Apalagi Nalen, pemuda itu memilih untuk menekuni ponselnya, demi mengusir rasa jenuh yang mendera. Sekitar hampir empat puluh menit lamanya mereka berempat menunggu di dalam mobil mewah milik Anwar. Ina beberapa kali mencoba untuk membuka kelopak matanya selama penantian di kabin mobil yang remang. Namun, sialnya rasa pening berputar langsung menyergap pemandangan Ina tatkala mata tuanya hendak membuka separuh. Azab. Itulah yang tengah Ina alami sekarang. Baru saja dia merasa di atas angin sebab jampi-jampi Mbah Legi y
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu