BAGIAN 99
POV NAMI
Aku dibantu dengan Rahima kini tengah berkutat di dapur. Kami tengah menyiapkan makan siang untuk Mas Anwar, para tamu, dan satpam yang berjaga. Pukul 12.00 tepat akan terjadi pergantian shift antara Sukri dengan Jali. Baik Sukri dan Jali sama-sama diberi makan siang. Sementara satpam yang berjaga setelah Sukri pada pukul 21.00 nanti, yakni Rohmadi, maka akan diberi makan malam dengan menu masakan malam nanti. Ya, beginilah keseharianku. Aku yang kata orang-orang kini dinikahi sultan itu pun harus ikut andil dalam memasak setiap menu yang bakalan disantap suami maupun karyawan. Belum lagi kalau Mas Anwar mengundang anak-anak kain atau peternakan. Aku sih, tidak masalah. Malahan senang. Karena hobiku sendiri juga memasak. Namun, entah kenapa kali ini agak beda. Seperti agak lelah saja. Mungkin karena terlalu banyak bertengkar.
&nbs
BAGIAN 100POV NAMI “Apakah kamu mau tinggal di sini? Membantuku di rumah dan mengurusi pekerjaan dapur maupun beres-beres? Tidak bermaksud untuk merendahkanmu. Namun, aku tulus ingin membantu.” Aku berucap dengan mata yang berkaca kepada Ina. Membuat perempuan itu tampak tertegun. Dia seperti syok mendengarkan permintaanku. Kedua bibirnya sampai gemetar kulihat. “N-nyo-nya … a-apa saya tidak salah dengar?” lirih Ina. Air mata di kantung sendunya kini menetes. Pipi Ina yang mulus itu pun semakin basah akibat air mata yang menderu dan kian tumpah ruah. Aku menggeleng pelan. Kugenggam jemari kiri Ina. “Aku sungguh-sungguh. Tidak bergurau atau basa-basi. Aku serius ingin mengajakmu tinggal
BAGIAN 101 POV INA “Kalian baik-baik di kampung ya. Aku janji, pasti tiap bulannya bakalan ngirim uang. Kalau bisa, aku akan kirim uang yang sangat banyak untuk kalian sekeluarga.” Aku berucap dengan suara yang sangat pelan. Bahkan berbisik-bisik. Pintu kamar sebelumnya sudah kukunci. Aku takut jika Nami nanti menguping seperti tadi siang. “Iya, In. Kamu baik-baik ya, Nduk, di sini. Ojo nggawe (jangan bikin) keributan.” Mbak Rusmina menasihatiku. Dia duduk di sebelah, sementara suaminya sudah tertidur di lantai dengan beralaskan tikar dan sebuah bantal. Kasihan Mas Suwito. Beliau sudah tidak lagi muda, tapi gara-gara aku dia harus naik-turun gunung seperti ini. Sabar ya, Mas, Mbak. Kelak, aku akan membahagiakan kalian lagi seperti dulu kala. “Tenang, Mbak. Aku akan main halus. Main cantik. Percayakan semuanya kepadaku,” ujarku meyakinkan. Mbak Rusmina malah menghela napas dalam. Raut tua dan keriputnya kini terlihat menanggung beban.
BAGIAN 102POV INA “Bayu … akan segera bebas dalam waktu dekat ini. Dia dan istri barunya, Tika, akan tinggal bersama kita. Semoga nanti kalau mereka sudah berada di rumah ini, kita akan selalu akur-akur, ya?” Nami berucap dengan nada bicara yang semula terdengar agak canggung. Senyum di bibirnya pun kelihatan getir. Mendengar ucapan Nami barusan, dadaku mencelos. Gemetar seluruh inci tubuhku. Apa? Bayu dan Tika si psikolog bajingan itu akan tinggal di sini? Astaga, bagaimana bisa Bayu bebas dalam waktu sesingkat itu? Dia pembunuh! Dia yang melenyapkan nyawa anakku. Kenapa dia dibebaskan? Siapa yang membebaskannya? Mas Anwar, ini pasti ulahnya! Akan tetapi … aku bisa apa? Hanya bisa kupendam peras
BAGIAN 103POV INA “Iya, Nyonya. Apa pun yang Nyonya minta kepada saya … akan saya usahakan untuk menjalankannya,” kujawab Nami dengan sungguh-sungguh. Seketika itu juga, mata Nami yang memang terlihat cantik itu tampak semakin berbinar. Dia tersenyum tulus. Bahkan lambat laun kian semringah. “Makasih ya, Ina. Aku yakin bahwa kamu itu sudah berubah jauh.” Ucapan Nami sedikit banyak membuatku tersinggung sebenarnya. Apa dia bilang? Berubah? Memangnya ada apa dengan diriku? Kau menganggapku seburuk itu dulunya, Nami? Bedebah! Dasar wanita sok suci. Lagaknya macam malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah dan dosa.&nbs
BAGIAN 104POV NAMI “Ma, Mama yakin menampung orang itu di rumah ini?” Nalen yang memang kuajak untuk bicara empat mata di ruang makan tepat pukul 01.00 dini hari itu terlihat meragu. Anak lelaki yang baru saja pulang dari toko kain milik papa sambungnya tersebut sudah tampak sangat capek. Aku mungkin sudah salah sebab mengajaknya bicara serius selarut ini. Namun, tidak mungkin Nalen tak kuberi tahu. Takutnya, saat pagi tiba dan sarapan berlangsung di meja makan ini, anakku akan bertanya-tanya tentang sosok Ina yang tiba-tiba nangkring di kursi makan bersama kami. “Mama yakin, Nalen. Dia sudah berubah. Yakinlah, Len. Kita kasih dia kesempatan.” Kuraih tangan anakku yang duduk di kursi sebelah. Anak lelaki yang telah beranjak dewasa itu tampak masih kurang setuju. Posturnya yang tingg
BAGIAN 105POV NAMI “Lho, Papa,” ucap Nalen sambil berdiri dari kursi. Aku pun tergopoh ikut bangkit. Memandang suamiku yang lengkap dengan piyama satin berwarna cokelat tua tersebut dengan agak canggung. “Len, baru pulang?” tanya Mas Anwar dengan mata yang menyipit dan langkah kaki yang agak diseret. Suamiku lalu menyodorkan tangannya ke arah Nalen. Anak ganteng itu pun langsung menyambarnya lembut dan mencium tangan papa sambungnya dnegan sangat sopan. “Iya, Pa.” Nalen menjawab singkat. “Rame toko tadi, Len?” Mas Anwar bertanya lagi. Dia langsung menuju ke arah kursi. Kugeser kaki kursi ag
BAGIAN 106POV Ina Mbak Rusmina dan Mas Suwito pun akhirnya pulang dengan menumpangi travel yang disewa oleh Mas Anwar. Pagi-pagi sekali mereka berangkat. Selepas sarapan tepatnya. Aku yang masih belum terlalu fit, meskipun sudah lepas infus ini pun harus menerima kenyataan bahwa tak ada lagi keluarga di sisiku. Aku kini sebatang kara. Persis seperti puluhan tahun yang lalu ketika diriku pertama kali datang ke kota ini untuk mengadu nasib. Sudah kupesankan pada Mbak Rusmina agar dia selalu mengirim pesan kepadaku nantinya. Aku akan minta dibelikan ponsel dan kartu perdana baru oleh Mas Anwar. Sementara nomor kakak kandung dan iparku sudah kucatat di secarik kertas. Aku juga mengingatkan mereka berkali-kali tentang hubungan dengan Mbah Legi yang tidak boleh sampai terputus. Mbak Rusmina menyanggupi. Syukurla
107POV Ina “Kenapa bisa ribut-ribut begini? Ina, kenapa kakimu?” Nami langsung terlihat panik ketika melihatku terus mengusap kaki yang memang langsung berubah tampak kemerahan. Dia pun duduk di sebelahku sambil ikut memegangi kaki ini. “S-sakit ….” Aku berucap lirih. Air mata pun sudah membanjiri di kedua pipi. Wajah Nami langsung jatuh iba bercampur geram. Dengan serta merta, Nami berteriak nyaring ke arah Rahima yang kini berdiri di depan kulkas sambil tertunduk-tunduk malu, “Rah, kamu apakan Ina?” “S-saya … tidak sengaja, Nyah,” sahutnya hampir tak terdengar.