Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.
Bu Asih kini tengah bingung. Rupanya Salma tak main-main dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjatah uang bulanan untuk sang ibu. Awalnya, bu Asih mengira Salma hanya menggertak saja. Namun, hingga dua minggu lewat dari tanggal biasanya Salma mengirim uang, uang itu tak kunjung masuk ke dalam nomor rekeningnya.Bu Asih memang mempunyai toko sembako kecil-kecilan. Seharusnya, hasil dari toko itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari bu Asih jika hanya untuk makan sendiri meskipun pas-pasan. Tapi, ternyata sifat Ayu yang gemar bergaya itu turunan dari ibunya.Sebulan yang lalu, bu Asih mengambil baju gamis yang cukup mewah di salah satu teman arisannya. Harganya tak main-main untuk sebuah gamis yang hanya dikenakan di kampung. Satu gamis seharga sembilan ratus ribu. Belum jilbab dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Jika ditotal, hutang bu Asih pada temannya itu sudah berjumlah satu juta tujuh ratus ribu. Bu Asih berjanji akan membayarnya saa
Hari ini adalah hari pernikahan Ayu dan Amar. Sesuai kesepakatan, Amar hanya akan menikahi Ayu secara agama dan acara tersebut dilaksanakan di rumah Salma.Jangan tanya bagaimana perasaan Salma sekarang. Meski mulutnya mengatakan bahwa ia sudah begitu jijik dengan Amar. Tapi tak bisa dipungkiri jika masih ada sisa-sisa perasaan yang melekat dalam hatinya.Perjalanan rumah tangga selama lima tahun, tentu tak bisa dengan mudah Salma lupakan. Ia pun memutuskan untuk berada di dalam kamar selama proses akad nikah berlangsung.Tak banyak saksi yang diundang. Hanya tetangga kanan dan kiri yang awalnya mereka sangat tidak menyangka jika Amar tega berselingkuh dengan adik iparnya sendiri. Meskipun kini mereka sudah tahu bahwa Salma dan Ayu bukanlah saudara kandung."Saaah!" Suara serentak dari para saksi membuat dada Salma berdenyut nyeri.Tapi, ia ingat akan tujuannya mempertahankan rumah tangganya dengan Amar. Salma ingin membalas rasa sak
Acara sudah selesai, para tamu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Mungkin beberapa ada yang mampir ke suatu tempat.Di rumah Salma, bukannya kebahagiaan yang dirasakan kedua keluarha mempelai. Melainkan adu mulut tentang siapa yang akan membersihkan rumah Salma setelah acara selesai."Yang ngebet nikah, kan, anak Bu Asih. Ya, Bu Asih sama Ayu, tuh, yang harus beresin. Kita du sini itu cuma tamu," ucap bu Mila kesal karena bu Asih memintanya untuk membereskan sisa-sisa makanan yang ada di dapur luas milik Salma."Ya bukan anak saya aja yang kebelet nikah, Bu Mila. Anak Ibu, si Amar itu malah yang kemaruk. Udah ada Salma masih kurang. Sekarang, ayo bantu beresin. Itu, si Nadya juga suruh ikut beresin."Nadya yang sedari tadi duduk di meja makan kini bangkit untuk menghampiri ibunya dan juga mertua dari kakaknya itu."Aku dari awal udah gak setuju sama acara ini ya, Bu. Ngapain juga aku harus ikut-ikut beresin. Kalau Bu Asih gak m
Salma dan Nadya sudah pulang setelah mereka berdua menghabiskan waktu di kafe dan mall. Sudah lama Salma tidak belanja dan karena adanya Nadya, rasa suntuk Salma sedikit berkurang."Makasih ya, Mbak, udah beliin aku baju ini. Aku udah lama gak bisa belanja-belanja gini, soalnya jatah uang saku dari mas Amar udah ada yang ambil," ucap Nadya seraya melirik ke arah Ayu yang duduk di sofa bersama bu Asih."Sama-sama. Ya udah, Mbak mau istirahat dulu, ya. Capek muter-muter mall, mana belanjaan segini banyak lagi."Rupanya tak hanya Nadya, Salma juga tengah memanas-manasi Ayu dengan menunjukkan beberapa paper bag yang ada di tangannya. Ia yakin, sebentar lagi pasti Ayu akan merengek pada Amar untuk meminta hal yang sama."Kamu beliin Nadya, tapi kok gak beliin aku, Mbak? Aku ini juga adikmu, Iho," protes Ayu pada akhirnya setela ia berusaha untuk diam, tapi rupanya sifat irinya tak bisa membuat ia diam saja."Mana ada seorang adik ngembat
"MBAK SALMAAA!"Setelah teriakan itu, lalu muncul Ayu dari arah belakang. Kini, ia berdiri dengan sedikit membungkuk sembari memegangi perut di depan Salma. Salma yang melihat hal itu hanya mampu menahan tawanya."Apa sih, Yu? Ini di dalam rumah, bukan di hutan. Pakai teriak-teriak kaya Tarzan.""Gak usah ngelucu deh, Mbak. Kenapa pintu kamar mandinya kekunci?""Emang gak ada yang lagi ngelucu, kok. Eh, tapi kayanya kamu, tuh, yang lagi ngelawak. Pake nungging-nungginh gitu, ngapain?"Ayu semakin kesal dibuatnya. Sebab, Salma seakan mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya."Mbak! Aku gak lagi becanda, ya. Mana kunci kamar mandi. Aku kebelet, nih. Mau kalau aku berak di sini?" ucap Ayu setengah berteriak karena kesal.Salma masih betah menahan tawanya. Ia hendak menjawab saat tiba-tiba suara mesin sepeda motor terdengar berhenti di depan rumahnya. Pasti itu Amar.Salma pun semakin mengulur waktu. Ia
Salma memarahi Amar tepat di depan pintu kamarnya tanpa mereka sadari jika sedari tadi Ayu menatap mereka dengan pandangan penuh kekesalan.Salma menggulung rambutnya asal lalu menutup pintu kamarnya. Kini, ia berjalan menuju kamar mandi. Melirik sekilas saat ia melewati meja makan dan mendapati adik angkatnya itu menatapnya tajam.Setelah kepergian Salma, Ayu segera menelan makanan yang sedari tadi berdiam diri di dalam mulutnya. Ia menghampiri Amar dengan langkah menghentak."Kamu habis ngapain mbak Salma, Mas?""Aku cuma nuntut hak aku, kok. Salma aja yang sok gak mau, padahal tadi dia keluar juga."Mendengar pertanyaan Amar, Ayu semakin kesal. Ia bertekad untuk merajuk hingga beberapa hari ke depan, kecuali jika Amar menyogoknya dengan sesuatu. Mungkin Ayu akan mempertimbangkannya."Katanya kamu gak mau nyentuh mbak Salma lagi? Emangnya masih kurang bodyku yang bohai ini? Mas bilang, goyanganku juga lebih hot dari pada m
Ayu dan Amar saat ini tengah menikmati semangkuk mie ayam milik masing-masing. Jika Amar menikmati makanannya dengan nikmat, maka berbeda dengan Ayu yang menikmati makanannya dengan ogah-ogahan."Kok, diaduk-aduk aja mienya, Yu? Gak enak?" tanya Amar yang sebenarnya sudah sedari tadi memperhatikan Ayu mengaduk-aduk makanannya."Udah tahu masih nanya! Mas, aku tuh mana level, sih, makan makanan pinggir jalan kaya gini? Belum lagi kalau nanti ada temen kampus yang lihat. Bisa malu aku, Mas!" ucap Ayu dengah setengah membanting sendik dan garpunya ke atas mangkuk hingga menimbulkan suara berdenging.Beberapa pengunjung melihat ke arah Amar dan Ayu. Merasa menjadi pusat perhatian, Amar segera menggenggam tangan Ayu dan mencoba menenangkan."Yu, tolonh ngertiin Mas, dong. Nanti kalau Mas udah gajian, Mas janji gak akan ngajak kamu makan di pinggir jalan lagi kaya gini. Kamu yang sabar, ya?""Sabar-sabar, terus aja aku disuruh sabar. Kalau