"Apa?! Gak! Gue gak mau dan kapan gue tanda tangan surat perjanjian? Lo pasti mau nipu gue, kan?"Kiki hanya tersenyum mengejek. Melihat Ayu emosi membuatnya senang. Dalam hidup Kiki, tak ada kata kasihan untuk seorang pelakor. Pelakor harus dibasmi dari muka bumi. Begitulah slogan hidup Kiki semenjak papanya kepincut godaan pelakor.Sedangkan, bu Asih semakin gelisah. la takut Ayu mengamuk setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi."Kalau lo gak percaya, lo tanya aja sama ibu lo. Dia sendiri, kok, yang nganterin kertas kosong berisi tanda tangan lo."Ayu langsung menatap sang ibu tajam. Bu Asih mendekati Ayu dan memegang lengannya."Maafkan Ibu, Yu. Ibu terpaksa dan itu semua demi kamu. Ibu gak tega lihat kamu nangis tiap hari pengen keluar."Ayu menyentak tangannya hingga pegangan bu Asih terlepas. Air mata Ayu kembali meluruh mendapati bahwa sang ibu sudah membohonginya."Tapi gak gini caranya, Bu! Memangnya Ibu mau li
Amar sangat senang mengetahui Salma datang untuk menjenguknya. Setelah hampir satu bulan mendekat di balik jeruji besi dan mengalami berbagai bentuk perundangan dari narapidana lain, akhirnya Amar memiliki secercah harapan untuk bebas dengan hadirnya Salma."Akhirnya kamu datang juga, Salma. Pasti kamu kesini mau bebasin aku, kan?" Wajah penuh bekas luka lebam dengan kantung mata menghitam itu sedikit membuat Salma merasa iba.Tapi, ia ingat jika Amar pernah membuat luka yang sama pada wajahnya. Jika saja bukan karena rasa kasihan terhadap bu Mila, pasti ia tak akan sudi mengeluarkan Amar dari sana. Biarlah laki-laki itu belajar bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan.Kening Amar mengerut saat tiba-tiba Salma menyodorkan sebuah kertas dan pulpen. Pandangan Amar beberapa kali mengarah pada Salma dan kertas itu secara bergantian."Itu surat perjanjian. Kamu baca dan pahami. Dan ini kesempatan terakhir yang aku berikan buat kamu."
Para pelayat berbondong-bondong hadir ke rumah duka yang sekarang sudah hampir dipenuhi oleh orang-orang.Nadya tak hentinya menangis. Berkali-kali ia pingsan dalam pelukan salah satu tetangganya. Para kerabat jauhnya belum juga tiba. Entah akan hadir atau tidak. Sebab, dulu ketika bu Mila masih hidup miskin, semua keluarganya menjauhinya, hingga saat pernikahan Amar dan Salma saja mereka enggan hadir.Jadi, bisa dipastikan para kerabatnya tidak tahu jika kimi kehidupan bu Mila sudah jauh lebih biak. Setidaknya, itu sebelum Amar berani bermain api di belakang Salma.Amar sendiri hanya menatap kosong ke arah depan. Para warga yang tahu jika Amar baru saja keluar dari penjara pun hanya bisa terus menyemangatinya. Pasti sangat sulit bagi Amar saat ini."Nad, ini waktunya jenazah ibu kamu dimandikan. Apa kamu mau ikut memandikannya?" tanya bu ustadzah pada Nadya yang baru tersadar dari pingsannya. Tubuh Nadya begitu lemah. Wajah dan rambutnya tampak k
"Nadya! Apa-apaan kamu!" bentak Amar lagi. Nadya yang tak terbiasa dengan bentakan pun langsung memeluk erat tubuh Salma."Pelankan suaramu, Mas! Kamu malah semakin membuatnya takut!" desis Salma. Amar hanya meraup wajahnya kasar. Rambutnya yang sudah memanjang ia acak kasar hingga terlihat begitu berantakan."Aku gak minta buat tinggal sama Mbak Salma. Aku cuma mau minta tolong sama Mbak Salma buat carikan aku tempat kos," ucap Nadya setelah ia bisa menangani ketakutannya."Lalu, bagaimana dengan sekolah kamu?""Hanya tinggal satu semester, Mbak. Setelah ujian nanti, aku mau kerja di salon Mbak Salma. Boleh, kan ?""Nadya, jangan main-main, kamu. Pokoknya, kamu harus tetap di rumah ini. Kamu tanggung jawab Mas sekarang!"Tatapan Nadya pada Amar sudah begitu tajam. la tidak melihat Amar sebagai kakaknya yang dulu. Amar yang sekarang begitu tempramental."Gak! Pokoknya aku gak mau! Mas pasti mau ngajak pelakor itu buat ti
Kiki melompat-lompat di tenpatnya, membuat sang mama menghampirinya. Melihat isi di dalam wadah berisi ayam woku dengan tambahan topong belatung itu membuat bu Wita bergidik ngeri."Ada belatungnya, Ma! Jijik!" teriak Kiki yang saat ini tengah memeluk mamanya."Gimana bisa ada belatung di dalam masakan? MBAK TIN!" teriak bu Wita memanggil sang pembantu rumah tangga yang memang bertugas untuk memasak itu.Mbak Tin yang sama tengah bergidik karena adanya belatung di makanannya itu pun buru-buru menyelesaikan acara berkumur di westafel karena rupanya tadi ia sudah sempat menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.Dengan wajah basah, mbak Tin menghampiri sang majikan. la hampir tak mendengar teriakan Kiki tadi karena ia sendiri juga berteriak di waktu yang hampir bersamaan."Iya, Bu?""Lihat! Bagaimana bisa di dalam sini ada belatungnya?" Bu Wita menunjuk wadah berisi makanan tersebut.Mbak Tin kembali bergidik saat melihat banyaknya belatung di atas makanan itu, hampir mirip donat yang di
Amar kembali masuk ke dalam rumah. Ia ingin berbicara dengan Ayu, meminta penjelasan padanya, mengapa selama ia berada di dalam penjara, isterinya itu tak pernah sekalipun menjenguknya.Namun, rupanya Ayu sudah masuk ke dalam buaian mimpi. Terdengar dengkuran halus dari mulutnya yang sedikit terbuka. Amar mengernyit, sejak kapan Ayu jadi suka mendengkur begitu.Melihat Ayu tertidur dengan kaos ketat yang membalut tubuhnya, membuat Amar yang sudah lama menahan hasrat itu pun jadi menginginkan tubuh Ayu.Dengan gerakan pelan, Amar menindih tubuh Ayu. Namun, tanpa disangka, Ayu justru menendang dengan cukup keras tubuh Amar hingga laki-laki itu terjengkang dan jatuh ke bawah."Jangan gangu, aku mau tidur!" ucap Ayu dengan mata setengah tertutup. Amar mau tak mau harus kembali menahan hasratnya. Ia pun memutuskan untuk ikut berbaring di samping Ayu hingga menyusul Ayu masuk ke dalam alam mimpi.Di rumah Salma, Nadya masih tampak murung. Anak
"Jeng Anis, ayo! Kenapa jadi bengong disitu?" tegur bu Lina yang melihat temannya itu justru terdiam sembari menatap ke belakang, tepatnya ke arah bu Asih tadi pergi."Eh, iya Jeng Lina."Rega yang lebih dulu mengucap salam. Salma yang tadi hendak masuk ke dalam kamar pun urung. la kembali ke depan untuk menemui ketiga tamunya."Mas Rega? Ada Tante Lina sama Bu Anis juga?" Salma menyalami satu persatu tamunya. la pun mempersilahkan ketiganya untuk duduk di atas sofa meski di ruang tamu itu sudah terbentang karpet halus bermotif untuk persiapan acara tahlilan nanti."Salma, kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas kepergian mertua kamu, ya," ucap bu Lina membuat obrolan.Salma sendiri sebenarnya heran, bagaimana mereka bisa tahu jika ibu mertuanya baru saja meninggal. Padahal, ia juga tak memberitahu Rega akan hal ini. Sedangkan bu Anis yang lebih dulu tahu dari dua orang lainnya masih terdiam.Bu Anis masih meyakinkan diri jika yang dilihatnya tadi memang benar-benar bu Asih
Bu Anis mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Bau menyengat khas rumau sakit menggelitik hidungnya hingga ia buru-buru membuka mata.Benar saja, kini dirinya tengah berada di dalam sebuah bilik. Ia berbaring di atas brankart sempit dengan punggung tangan yang tertusuk jarum infus. Bu Anis mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran.Seketika ia terlonjak saat memori buruk tentang kejadian beberapa saat lalu kembali berputar dalam ingatan. Pipinya tiba-tiba tersa basah. Badan bu Anis sedikit bergetar.Ia terkejut saat gorden yang mengelilingi tempat tidurnya disibak perlahan. Rupanya seorang perawat masuk untuk menghampirinya."Syukurlah anda sudah sadar, Bu. Apa ada keluhan, Bu?" tanya perawat yang usianya sepertinya tak jauh dari bu Anis."Suami saya dimana, Sus? Saya tadi ditabrak mobil dengan suami saya. Dimana dia sekarang?"Sebenarnya bu Anis masih merasa pusing dan tubuhnya pun terasa lemas. Tapi satu y