“Hari ini Neng gelis.. eh Neng Janeta nggak datang ke sini. Aduuh... Hatiku kok rasa gimanaaa gitu ya Allah... Dunia rasanya sepi tanpa penghuni..” Cecep mendesah resah. Berkali-kali ia memperbaiki posisi duduknya namun tak beranjak dari pelataran rumahnya itu.
Dipandanginya langit yang berhiaskan bintang dan rembulan yang bersinar terang. Rindu dendam makin menyiksa hati.Bu Wati berkali-kali mengintip putranya dari ambang pintu yang terbuka. Beberapa kali pula ia menghela nafasnya.“Anakku benar-benar sedang jatuh cinta.” bisik hati Bu Wati tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat Cecep seperti itu sejak kekasihnya pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Hati Cecep seperti terkunci dan kunci agaknya sudah berkarat dan mustahil untuk dibuka.Tapi akhir-akhir ini Cecep berubah seratus delapan puluh derajat. Ia jadi sering melamun dan terkadang senyum-senyum sendiri.Tak lama kemudian terdengar suara sepeda motor mendekat. Suara itu semaSementara itu Fitri di rumah kontrakannya yang baru.Fitri terlihat melamun di atas kasur busa tipis yang terbentang di kamarnya. Kamar yang tidak begitu luas itu adalah satu-satunya tempat untuk fitri dan ibunya serta Hasan adiknya beristirahat.Sedangkan Lina terlihat sibuk di dapur. Ia mempersiapkan kue-kue dan makanan yang akan dijajakan Fitri dan Hasan besok di terminal bus antar kota yang tidak begitu jauh dari rumah kontrakannya itu.“Fitrii...! Sini bantuin Ibu. Dari tadi kok melamun terus.” Lina berteriak dari dapur. Suaranya cukup keras sampai ke kamar tempat Fitri duduk sambil menopang dagu dengan wajah kusut.“Ya Bu!” sahut Fitri bermalasan menuju dapur.Lina mengangkat wajahnya memandang putrinya itu. Ia harus menengadah karena ia duduk di atas bangku kecil yang rendah sedangkan Fitri berdiri. Tangan Lina sibuk meramu adonan kue di dalam sebuah baskom plastik.“Ada Fit? Ibu perhatiin sejak pagi tadi kamu murung
Tengah malam dini hari.Suara dengkur Fitri dan Hasan terdengar halus. Dada mereka naik turun mengikuti irama nafas yang keluar dari mulut dan hidung mereka.Lina tersentak bangun ketika ia bermimpi dengan Nyonya Lusy. Dalam mimpi ia melihat Nyonya Lusy bersimbah darah lalu seseorang yang telah memberikan beberapa lubang tikaman di tubuhnya terlihat berlari menjauh. Di sebuah tempat yang agak gelap, sosok yang tidak diketahui gendernya itu terlihat melepaskan pakaiannya yang berlumur darah lalu memasukkan ke dalam kantong kresek berwarna biru.“Ooh, mengapa aku seperti melihat pembunuhan Nyonya Lusy? Dan kantong kresek berwarna biru serta baju di dalamnyaa...Lina mengucek-ngucek kedua matanya hingga pandangannya menjadi jernih. Lampu bertenaga 5 watt yang menerangi kamar itu, cukup bagi Lina untuk melihat dengan jelas ke dua anaknya yang tertidur lelap.Fitri berada di samping kanannya dan Hasan di samping kirinya. Semenjak suami Lina meninggal dunia,
Menjelang siang di ruang kerja Tuan Morat.“Aku tidak menyangka hidupmu akan berakhir dengan setragis ini, sayang. Ooh, dulunya aku berharap, kamu akan lebih bahagia hidup tanpa aku. Hidupmu akan lebih sempurna dan mendapatkan cinta yang seutuhnya. Tapiii....Tubuh Tuan Morat sedikit membungkuk ke depan. Ia tumpukan sikunya di atas meja dan tangannya itu menopang wajahnya yang menoleh agak ke samping kiri. Sementara itu sebelah tangannya lagi tetap memegang selembar foto. Nanar matanya menatap seraut wajah disana.Tuan Morat yang biasa terlihat berwibawa dan cool, tapi di dalam kesendiriannya ternyata ia juga manusia biasa yang tidak luput dari duka.Dua rongga mata Tuan Morat membasah. Netranya mengaca lalu membentuk anak sungai kecil yang kini mulai menuruni wajah tuanya.“Percayalah sayang... aku pasti akan menuntut orang yang menyakitimu dengan seberat-beratnya. Agar kamu tenang di alam sana dan menungguku agar kita kembali bersama.” Wa
Tuan Fidel sudah menunggu dari tadi, Bu!” Disti melapor ketika Janeta baru saja memasuki kantornya. Gadis itu baru saja diterima sebagai karyawati yang bertugas menerima tamu perusahaan.“Oh ya. Dimana dia?” tanya Janeta tanpa memperlambat jalannya yang memang terbiasa cepat. Disti agak setengah berlari mengikuti langkah wanita bertubuh tinggi itu. Suara tumit sepatu Disti berirama teratur menaiki anak tangga.“Di ruang tunggu, Bu!” jawab Disti berusaha membarengi langkah Janeta.“Hm..” gumam Janeta singkat saja. Ia sudah berada di lantai atas dan siap masuk ke ruangannya. Disti berhenti di depan pintu agak takut melihat sikap dingin bos-nya itu. Ia nampak bingung apakah harus mempersilahkan Tuan Fidel masuk ke ruang Janeta atau tidak. Sebagai karyawati baru, Disti belum memahami sifat atasannya.“Si Bos gayanya santai tapi orangnya cuek banget.” Disti membathin dalam hati. Ia menggigit ujung kukunya sem
“Desas-desus itu sudah berkembang sangat santer, Ndan!” seorang polisi berpangkat Briptu melapor kepada seniornya yang berpangkat lebih tinggi.“Hm..!” Sang senior bergumam sambil berbarengan langkah dengan yuniornya itu.“Siapkan tim untuk melakukan penyelidikan ulang! Kesimpulan korban bunuh diri baru kesimpulan awal yang berdasarkan hasil otopsi Dokter dimana tidak ditemukannya tindak kekerasan ditubuh korban.”“Siap Ndan!”“Dan jika memang ada temuan baru yang mengacu pada kejanggalan kasus ini, maka kita harus meresponnya sesegera mungkin!”“Siap Ndan!”Setelah menerima beberapa arahan lalu anggota polisi yang lebih yunior memberi hormat kepada seniornya itu. Lalu ia bersama beberapa orang anggota lainnya mulai merangkak untuk mencari informasi seputar kematian Pak Warno yang terjadi di daerah hukum tempat mereka bertugas.“Ada apa kok banyak polisi datan
“Selamat! Katanya kalian akan menikah.” ucap Janeta dibarengi senyumnya.“Terima kasih, Kak!” sahut Darna juga tersenyum.Mereka berdua lalu saling melepaskan jabatan tangan.“Aku turut senang karena Ratih telah menemukan jodohnya. Apalagi orang sekampung sendiri, tentu kalian sudah mengenal satu sama lainnya.” ucap Janeta.Darna kemudian duduk disini kanan Ratih. Kini Ratih berada di antara Janeta dan Darna.“Makasih Kak. Ratih juga doain agar Kak Janeta juga berjodoh dengan Kang Cecep. Orangnya sama baiknya.” sahut Ratih.Ucapan Ratih membuat Darna sedikit tercengang. Tapi itu hanya beberapa saat, lalu kemudian dia senyum-senyum sendiri. Sedangkan Janeta hanya tersenyum simpul. Malu juga diledekin oleh Ratih.“Kang Darna kok senyum-senyum sih?”“Enggak Ratih, Kang Darna cuma ingat beberapa hari yang lalu saat Kang Darna datang minta persetujuan pada Kang Cecep. Kang Cecep teng
Sesampai di kantor polisi, Janeta langsung diamankan ke dalam sel tahanan. Hanya dirinya sendiri saja di sana. Itu menunjukkan bahwa tingkat kejahatan di wilayah itu sangatlah rendah. Warga kampung sana sangat takut melanggar hukum. Dan kematian Pak Warno yang terdengar ganjil adalah kasus yang belum pernah terjadi di desa itu. Oleh karena itu lah mungkin yang menyebabkan banyak pihak sedikit lalai dan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa kematian Pak Warno hanya kecelakaan saja atau paling tinggi bunuh diri. Karena memang tidak ada bukti kekerasan yang ditemukan di tubuh korban selain edema paru-paru yang disebabkan oleh banyaknya cairan yang memenuhi organ vital pernafasan tersebut. Kondisi itu mengakibatkan epiglotis menutup saluran pernafasan dan menyebabkan kematian. Hanya itulah yang disimpulkan sebagai penyebab kematian Pak Warno.Treeeng ..Pintu tahanan dibuka setelah sekitar dua jam lebih Janeta berada di sana. Dua orang petugas menggiring Janeta menuju
“Darnaa...?” terlompat gumaman dari mulut Janeta begitu melihat seorang pemuda dibawa masuk ke dalam ruangan itu.Polisi yang membawa Darna masuk melempar senyum sinis kepada Janeta.Darna dipersilahkan menduduki sebuah kursi yang posisinya berhadapan dengan Janeta. Pemuda itu terlihat salah tingkah dan menundukkan kepalanya.“Anda mengenal dia?” tanya polisi menatap Janeta lalu menunjuk ke arah Darna.Janeta sedikit tersenyum dan mengganti tolehannya kepada polisi.“Kami berkenalan tadi sore, beberapa menit sebelum saya dibawa kemari.” sahut Janeta tegas.Kini polisi itu berpaling kepada Darna.“Di mana Anda pertama kali melihat wanita ini?” tanyanya kepada Darna dan menunjuk Janeta.Darna terlihat gugup dan menatap Janeta lalu membuang pandangan ke arah lain.“Di rumah Pak Warno!” sahutnya kemudian cukup tegas.“Apa yang ia lakukan di sana?” kejar polisi