Sekitar jam tujuh pagi Janeta dan Cecep sampai di tempat kontrakan Fitri yang lama. Rumah itu kini ternyata sudah berganti penghuni baru.
“Maaf, Mbak mau cari siapa?” tanya seorang ibu muda yang pastinya adalah penghuni baru rumah petak itu.“Saya mencari Fitri, Bu. Saya tahu dia sudah pindah dari sini. Tapi... Kira-kira ada nggak yang tahu Fitri pindah kemana?” tanya Janeta berharap mendapat petunjuk. “Oh, maaf saya tidak tahu Fitri pindah kemana, Mbak. Cuma saya tahu tempat Fitri biasanya berjualan.” sahut ibu muda itu.Jawaban ibu muda itu tentu saja membuat Janeta senang dan memiliki secercah harapan. Ia bergegas meminta keterangan lebih jelas tentang keberadaan Fitri. Sementara Cecep dan si Hitam menunggu saja di atas sepeda motor.Setelah mendapatkan informasi yang cukup, Janeta meninggalkan rumah petak bekas tempat tinggal Fitri dan Lina ibunya pernah tinggal tersebut lalu bergegas mendekati Cecep yang setia mHari ini itu ketika pagi juga mulai menyapa di desa tempat tinggal Bu Asih, ibu paruh baya itu terlihat duduk melamun di atas tikar di ruang gubuknya yang tidak begitu luas. Di depannya ada secangkir teh manis yang masih mengepul asapnya.Mata Bu Asih terlihat sembab dan sedikit bengkak. Semalaman suntuk ia tidak bisa memicingkan matanya memikirkan kepergian Ratih dan Darna siang kemarin. Bu Asih yakin kalau kepergian mereka adalah untuk mencari Fitri guna memenuhi perintah Salma. Bu Asih yakin kalau Salma telah melakukan kejahatan yang sangat besar hingga ia melakukan apa saja untuk menyembunyikan kejahatannya itu dari polisi.Lalu pikiran Bu Asih kini tertuju kepada Janeta. Ia menghela nafas yang sangat berat.“Tak seharus si Neng yang menjadi korban dari semua ini. Si Neng sangat baik dan menyayangiku saat Ratih tidak berada di rumah. Ratih juga sangat menyayangi si Neng kayaknya ia mempunyai seorang Kakak.” gumam hati Bu Asih sedih. Ia menyeruput teh m
“Kak Ratih mau mengembalikan baju itu kepada Kak Salma?” Fitri bertanya kepada Ratih dengan mata terbelalak.“Iya Fit!” jawab Ratih cepat-cepat menganggukkan kepalanya.“Ta..tapi mengapa Kak? Kalau memang benar baju itu adalah bukti kejahatan Kak Salma, mengapa Kak Ratih ingin mengembalikan kepadanya? Ia pasti akan membuang atau membakarnya, Kak!” ujar Fitri tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ratih.Ratih nampak salah tingkah menghadapi Fitri yang ternyata cukup pintar. Fitri bukanlah seperti anak ingusan lain yang sebaya dengannya.“Tapi apa benar baju itu sudah dibuang Ibu kamu, Fitri?” setelah tercenung sesaat Ratih kembali bertanya.“Yaah..!” ujar Fitri masih belum mengerti apa alasan Ratih begitu gigih untuk membantu Salma mendapatkan barang yang sangat penting itu.“Apakah Kak Ratih telah berpihak kepada Kak Salma sekarang? Apakah mereka berteman?” Hati Fitri bertanya-ta
Darna memacu sepeda motornya menuju desa tempat tinggal mereka. Ratih di belakang berboncengan dengan manja. Hati kedua calon pengantin baru itu sedang berbunga-bunga. Hari bahagia mereka sudah di depan mata. Sekali-kali terlihat mereka bercanda dengan mesra.Hampir tiga jam menempuh perjalanan, mereka sampai di perbatasan desa mereka. Dan beberapa puluh menit kemudian mereka tiba di jalan di depan rumah Ratih ketika mata hari sudah condong ke barat.Darna mengantarkan Ratih ke rumahnya. Di tangan kanannya ia menenteng plastik berisi belanjaan mereka tadi. Sedangkan Ratih membawa sebuah plastik kecil berisi makanan kesukaan ibunya. Dengan riang mereka berjalan beriringan di atas pematang sawah.Ibuuu...! Ratih pulang Buu..!” seru Ratih memanggil Bu Asih ketika mereka berdua sudah sampai di sudut pekarangan. Ia berharap agar segera bertemu dengan Ibunya. Namun tidak ada terdengar sahutan dari dalam rumah. Rumah sangat sederhana itu terlihat sangat s
Sementara itu di sebuah rumah sakit.Salma masih tergolek lemah dengan perban terlihat melilit di kaki kanannya yang baru saja di amputasi.Kaki kanan Salma remuk dan Dokter segera mengambil tindakan dengan memotong kaki kanan Salma guna untuk menghindari resiko pembusukan.Seorang lelaki paruh baya terduduk lemah di atas sebuah kursi roda tidak jauh dari tempat tidur Salma. Ia tiada hentinya menangisi Salma yang ternyata adalah putrinya.“Papa...!!”Suara Salma lirih memanggil lelaki yang sudah terlihat tua dari umurnya yang sebenarnya. Di wajahnya tergambar penderitaan yang begitu sarat.Kreet..kreet...Terdengar bunyi kursi roda mendekati tempat tidur Salma. Lelaki yang di panggil Papa oleh Salma tersebut meraih tangan kanan Salma dengan kedua tangannya, lalu ia bawa ke wajahnya dan lelaki itu menangis tersedu-sedu.“Mengapa harus terjadi seperti, Nak. Kamu harus kehilangan sebelah kakimu huhuhu...” ratapnya se
“Mau ke mana kita Morat? Dengan pakaian begini pula!” Rusmidi memprotes Tuan Morat yang membawanya menuju sebuah gang yang sempit. Rusmidi risih dengan penampilan barunya. Memakai wig rambut panjang dan topi koboi. Kaca mata hitam dan stelan jas lengkap.Woow.. ini model busana tahun berapa? Tak ada kesempatan untuk bertanya. Tuan Morat yang mengatur semuanya entah untuk misi apa.Tuan Morat memarkir mobilnya agak jauh dari sebuah deretan rumah petak, lalu Tuan Morat mengajak Rusmidi berjalan agak mengendap-endap mendekati rumah kontrakan yang ternyata dihuni oleh Fitri dan Lina serta Hasan. Rusmidi makin kebingungan mengikuti aksi konyol sahabatnya itu.“Sssttt.. Kau ikut sajalah Midi. Aku pernah menguntit seorang wanita yang masuk ke rumah ini. Wanita itu masih muda berumur kira-kira tiga puluhan tahun.” jawab Tuan Morat sembari meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. Ia menoleh kepada Rusmidi yang berjalan agak membungkuk di
“Itu seperti mobilnya Tuan Morat? Tapi mengapa rambutnya jadi panjang dan bertopi koboi kayak gitu?” Hati Janeta bertanya-tanya ketika ia dan Cecep melintasi sebuah mobil mewah yang terparkir di bawah sebatang pohon yang rindang. Dua orang lelaki berpakaian jas dan bertopi koboi dengan rambut panjang sebahu, terlihat akan memasuki mobil itu. Satu orang di sebelah kanan, dan satu lagi masuk dari pintu sebelah kiri.“Berhenti, Kang!” seru Janeta kepada Cecep yang tengah mengendarai sepeda motor sambil menyentuh bahu lelaki itu.Cecep segera memenuhi permintaan Janeta dan berhenti di pinggir jalan kira-kira sepuluh meter dari mobil yang diawasi Janeta.Janeta terus mengamati kedua lelaki yang kini telah masuk ke dalam mobil dan bergerak meninggalkan tempat itu. Janeta memperhatikan bagian belakang kendaraan yang mereka gunakan lalu ia tertawa sendiri.“Hahaha...”“Ada apa, Neng? Kok Neng malah tertawa?” tanya Cece
Fitri menyibakkan rambut yang sedikit menutupi wajahnya dan balas menatap Janeta.“Iya, Kak!” jawabnya disertai anggukkan kepalanya.“Tapi mengapa Fit? Bukankah Salma telah memperlakukan kalian dengan sangat buruk?”Kali ini Fitri menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak mengerti maksud Ratih yang sebenarnya.“Apakah kamu memberikan barang itu kepada Ratih, Fitri?” desak Janeta khawatir.“Tidak!” Fitri menggelengkan kepalanya dan itu membuat Janeta tersenyum lega.“Baju itu sudah dibuang Ibu!” seru Fitri.“Haaah...!!!??” Janeta terbelalak berbalik kecewa.Fitri kembali mengangkat wajahnya yang tadi sempat ia tundukkan, menatap Janeta dengan bingung.“Sebenarnya baju itu milik siapa, Kak? Mengapa semua orang menanyakan benda itu?” tanya Fitri tak paham.Janeta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Ia benar-benar kecewa karena barang satu-sat
Hari sudah merangkak petang. Sementara itu Ratih dan Darna masih berada di kantor polisi untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya.“Baiklah, terima kasih Saudari telah berkenan memberikan keterangan dan membuat laporan pengaduan atas tindak kejahatan berupa penyekapan dan intimidasi dari Saudari Salma. Laporan Saudari akan segera kami tindak lanjuti.” ucap seorang anggota polisi yang memeriksa Ratih. Ratih tersenyum kecut. Ia masih sedih membayangkan ibunya yang akan di penjara dalam waktu yang cukup lama.“Apakah laporan saya bisa meringankan hukuman ibu saya, Pak?” tanya Ratih menatap penuh harap kepada polisi itu.“Itu sudah pasti akan menjadi pertimbangan hakim di pengadilan nanti. Kejahatan yang dengan niat sendiri dengan yang dilakukan atas tekanan, tentu berbeda ancaman hukumannya.” jawab petugas polisi tersebut.Ratih mengangguk pasrah. Ia lalu mengitari ruang pemeriksaan itu dengan pandangan matanya.&ldq