Share

Tiga Belas Serangan Raja Golok

Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum.

Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut.

Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan.

Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang.

"Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan.

Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan.

Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya membuat keadaan di sekitar sana cukup tertekan.

Ranu Brata mengetahui akan hal tersebut. Oleh karena itulah, dia pun segera melakukan hal yang sama pula.

Golok pusaka yang diberi nama Golok Merah tersebut, tiba-tiba memancarkan cahaya kemerah-merahan. Hawa kegelapan langsung menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Duel yang sebenarnya baru akan dimulai. Aku ingin melihat, apakah si Naga Hitam Dari Selatan bisa menahan jurus Tiga Belas Serangan Raja Golok milikku, atau tidak," ujar Ranu Brata sambil tersenyum dingin.

Selesai berkata seperti itu, tampak dia memutarkan sekali senjatanya. Sedetik kemudian, mendadak dirinya melesat ke depan. Ke arah Ketua Adiyaksa!

Serangan itu sangat mendadak. Datangnya juga tak terduga. Belum lagi kecepatannya.

Kecepatan gerakan Ranu Brata ternyata jauh diluar dugaan Ketua Adiyaksa.

Dia melesat secepat kilat. Tubuhnya seringan kapas. Hanya sesaat saja, dirinya sudah tiba di hadapan si Naga Hitam Dari Selatan.

"Golok Pertama …" teriaknya dengan sangat lantang.

Wushh!!!

Serangan pertama langsung dilancarkan saat itu juga. Tebasan golok datang dari samping kanan ke kiri. Disusul kemudian dengan gerakan lainnya yang tidak kalah cepatnya.

Ketua Adiyaksa tersenyum dingin. Walaupun serangan lawan cukup ganas, tapi baginya tidaklah seberapa. Meskipun jurus golok yang dilayangkan oleh Ranu Brata sudah cukup untuk mencabut nyawa orang lain, tapi jurus itu masih jauh dari kata cukup kalau untuk membunuh si Naga Hitam Dari Selatan tersebut.

Benturan jurus mulai terjadi. Pertarungan keduanya, makin lama makin sengit lagi. Adu jurus tingkat tinggi sudah dimulai.

Sementara di sisi lain, Nyi Diah Ayu juga tidak mau diam berpangku tangan. Saat ini, Pendekar Bunga Mawar Biru itu juga sedang melangsungkan pertarungan melawan tiga orang anak buah Ranu Brata.

Tiga orang anak buah Ranu Brata menyerang dengan kalap. Tiga batang golok tajam menerjang ke sana kemari. Memburu setiap celah yang tercipta.

Tiga batang senjata itu mengeluarkan sinar merah menyala. Seolah-olah itu adalah bayangan tiga ekor ular yang sedang berusaha mematuk mangsanya.

Pada awalnya, Pendekar Bunga Mawar Biru tampak terpojok. Beberapa kali dirinya hampir mati di ujung golok lawan, tapi untunglah hal itu selalu berhasil digagalkan dengan mudah olehnya.

Sekarang, setelah melewati pertarungan sebanyak puluhan jurus, tiba-tiba wanita itu membentak nyaring. Dari balik pinggangnya dia keluarkan sebuah benda pusaka berwarna biru terang.

Wutt!!!

Benda itu melesat sangat cepat, menyambar tiga orang anak buah Ranu Brata secara bersamaan.

Jeritan tertahan terdengar menggelora secara susul menyusul. Sedetik berikutnya, tampak tiga orang itu sudah terjengkang ke belakang. Pada masing-masing wajah mereka terdapat sebuah tanda merah.

Bukan merah karena malu, melainkan merah karena sakit. Bekas luka itu tampak seperti sebuah tamparan. Tapi jelas, luka itu bukan ditimbulkan oleh tamparan.

Begitu ditilik secara menyelidik, ternyata luka tersebut diakibatkan karena sebuah selendang pusaka yang kini telah digenggam oleh Pendekar Bunga Mawar Biru.

Bagi orang lain, selendang itu mungkin tidak ada artinya. Tapi bagi Nyi Diah Ayu, selendang tersebut justru sangat berarti.

Sebab itu adalah pusakanya yang dulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Karena selendang biru bersampul bunga mawar itulah, dirinya dikenal dengan julukan Pendekar Bunga Mawar Biru.

"Selendang Penarik Sukma …" Nyai Diah Ayu tiba-tiba berteriak.

Detik berikutnya, tubuh beserta selendang itu sudah meluncur ke depan sana. Selapis hawa kematian mencekam keadaan sekitar. Segulung angin tajam menerjang ke arah tiga lawannya.

Saat itu, pihak lawan sebenarnya belum berada dalam keadaan siap. Namun entah bagaimana caranya, ketika jarak selendang sudah makin dekat, mendadak ketiganya berlompatan ke samping kanan dan kiri.

Disusul kemudian dengan serangan bersamaan yang mengarah ke seluruh tubuh Nyai Diah Ayu.

Perubahan itu sangat mendadak. Datangnya juga begitu cepat. Sehebat dan sekuat apapun Pendekar Bunga Mawar Biru, pada kenyataannya dia berhasil dibuat terpojok kembali.

Hujan serangan lawan lagi-lagi mencecarnya. Kali ini bahkan jauh lebih hebat daripada sebelumnya.

Tiga sinar merah menyambar-nyambar tanpa henti. Satu cahaya biru berkelebat kian kemari. Adu jurus itu berlangsung sengit. Namun lambat laun, siapa pun dapat menyaksikan bahwa Pendekar Bunga Mawar Biru semakin berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Sementara di sisinya, Caraka Candra ternyata juga sedang bertarung melawan dua anak buah Ranu Brata lainnya. Pemuda itu telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang telah diajarkan oleh ayahnya.

Sebuah pedang tergenggam dengan erat. Pedang itu memang bukan pedang pusaka. Tapi setidaknya, pedang tersebut masih terhitung ke dalam jajaran senjata kelas satu.

Wutt!!!

Sinar pedang bergerak dengan cepat. Caraka Candra mengeluarkan salah satu jurus pemberian ayahnya yang bernama Sinar Pedang Pengantar Kematian.

Jurus itu merupakan salah satu jurus pamungkas yang selama ini dia andalkan. Caraka Candra jarang mengeluarkan jurus tersebut. Bukan karena apa, melainkan karena siapa pun yang sudah berhadapan dengan jurus Sinar Pedang Pengantar Kematian, dapat dipastikan bahwa lawannya akan mampus dalam waktu singkat.

Sayang sekali, saat ini sepertinya merupakan pengecualian. Bukan saja kedua orang lawannya tidak mampus, bahkan mereka pun tidak terlihat terpojok sama sekali.

Mereka masih tetap bersikap dengan tenang dan wajar. Bahkan sesekali melemparkan senyuman sinis kepadanya.

Dua golok yang dipakai lawannya terus bergerak mengikuti jalur pedang yang dibuat olehnya. Benturan dua benda tajam terus terdengar. Percikan api menjadi pemandangan yang bisa disaksikan kapan saja.

Dua lawan Caraka Candra mulai membalikkan keadaan. Mereka juga sudah mengeluarkan jurus-jurus pamungkas miliknya.

Menghadapi dua jurus dahsyat sekaligus, tentu saja pemuda itu dibuat kerepotan. Bagaimanapun juga, dia masih muda. Pengalaman bertarungnya juga belum sebanyak dua orang musuhnya.

Hal itu merupakan kerugian tersendiri. Sehingga, lewat sepuluh jurus kemudian, salah satu gagang golok lawannya telah berhasil mengirimkan pukulan telak ke ulu hatinya.

Bersamaan dengan kejadian tersebut, satu golok lainnya dibenturkan sehingga mementalkan pedang miliknya dengan jarak cukup jauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status