Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum.
Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut.Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan.Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang."Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan.Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan.Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya membuat keadaan di sekitar sana cukup tertekan.Ranu Brata mengetahui akan hal tersebut. Oleh karena itulah, dia pun segera melakukan hal yang sama pula.Golok pusaka yang diberi nama Golok Merah tersebut, tiba-tiba memancarkan cahaya kemerah-merahan. Hawa kegelapan langsung menyelimuti seluruh tubuhnya."Duel yang sebenarnya baru akan dimulai. Aku ingin melihat, apakah si Naga Hitam Dari Selatan bisa menahan jurus Tiga Belas Serangan Raja Golok milikku, atau tidak," ujar Ranu Brata sambil tersenyum dingin.Selesai berkata seperti itu, tampak dia memutarkan sekali senjatanya. Sedetik kemudian, mendadak dirinya melesat ke depan. Ke arah Ketua Adiyaksa!Serangan itu sangat mendadak. Datangnya juga tak terduga. Belum lagi kecepatannya.Kecepatan gerakan Ranu Brata ternyata jauh diluar dugaan Ketua Adiyaksa.Dia melesat secepat kilat. Tubuhnya seringan kapas. Hanya sesaat saja, dirinya sudah tiba di hadapan si Naga Hitam Dari Selatan."Golok Pertama …" teriaknya dengan sangat lantang.Wushh!!!Serangan pertama langsung dilancarkan saat itu juga. Tebasan golok datang dari samping kanan ke kiri. Disusul kemudian dengan gerakan lainnya yang tidak kalah cepatnya.Ketua Adiyaksa tersenyum dingin. Walaupun serangan lawan cukup ganas, tapi baginya tidaklah seberapa. Meskipun jurus golok yang dilayangkan oleh Ranu Brata sudah cukup untuk mencabut nyawa orang lain, tapi jurus itu masih jauh dari kata cukup kalau untuk membunuh si Naga Hitam Dari Selatan tersebut.Benturan jurus mulai terjadi. Pertarungan keduanya, makin lama makin sengit lagi. Adu jurus tingkat tinggi sudah dimulai.Sementara di sisi lain, Nyi Diah Ayu juga tidak mau diam berpangku tangan. Saat ini, Pendekar Bunga Mawar Biru itu juga sedang melangsungkan pertarungan melawan tiga orang anak buah Ranu Brata.Tiga orang anak buah Ranu Brata menyerang dengan kalap. Tiga batang golok tajam menerjang ke sana kemari. Memburu setiap celah yang tercipta.Tiga batang senjata itu mengeluarkan sinar merah menyala. Seolah-olah itu adalah bayangan tiga ekor ular yang sedang berusaha mematuk mangsanya.Pada awalnya, Pendekar Bunga Mawar Biru tampak terpojok. Beberapa kali dirinya hampir mati di ujung golok lawan, tapi untunglah hal itu selalu berhasil digagalkan dengan mudah olehnya.Sekarang, setelah melewati pertarungan sebanyak puluhan jurus, tiba-tiba wanita itu membentak nyaring. Dari balik pinggangnya dia keluarkan sebuah benda pusaka berwarna biru terang.Wutt!!!Benda itu melesat sangat cepat, menyambar tiga orang anak buah Ranu Brata secara bersamaan.Jeritan tertahan terdengar menggelora secara susul menyusul. Sedetik berikutnya, tampak tiga orang itu sudah terjengkang ke belakang. Pada masing-masing wajah mereka terdapat sebuah tanda merah.Bukan merah karena malu, melainkan merah karena sakit. Bekas luka itu tampak seperti sebuah tamparan. Tapi jelas, luka itu bukan ditimbulkan oleh tamparan.Begitu ditilik secara menyelidik, ternyata luka tersebut diakibatkan karena sebuah selendang pusaka yang kini telah digenggam oleh Pendekar Bunga Mawar Biru.Bagi orang lain, selendang itu mungkin tidak ada artinya. Tapi bagi Nyi Diah Ayu, selendang tersebut justru sangat berarti.Sebab itu adalah pusakanya yang dulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Karena selendang biru bersampul bunga mawar itulah, dirinya dikenal dengan julukan Pendekar Bunga Mawar Biru."Selendang Penarik Sukma …" Nyai Diah Ayu tiba-tiba berteriak.Detik berikutnya, tubuh beserta selendang itu sudah meluncur ke depan sana. Selapis hawa kematian mencekam keadaan sekitar. Segulung angin tajam menerjang ke arah tiga lawannya.Saat itu, pihak lawan sebenarnya belum berada dalam keadaan siap. Namun entah bagaimana caranya, ketika jarak selendang sudah makin dekat, mendadak ketiganya berlompatan ke samping kanan dan kiri.Disusul kemudian dengan serangan bersamaan yang mengarah ke seluruh tubuh Nyai Diah Ayu.Perubahan itu sangat mendadak. Datangnya juga begitu cepat. Sehebat dan sekuat apapun Pendekar Bunga Mawar Biru, pada kenyataannya dia berhasil dibuat terpojok kembali.Hujan serangan lawan lagi-lagi mencecarnya. Kali ini bahkan jauh lebih hebat daripada sebelumnya.Tiga sinar merah menyambar-nyambar tanpa henti. Satu cahaya biru berkelebat kian kemari. Adu jurus itu berlangsung sengit. Namun lambat laun, siapa pun dapat menyaksikan bahwa Pendekar Bunga Mawar Biru semakin berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.Sementara di sisinya, Caraka Candra ternyata juga sedang bertarung melawan dua anak buah Ranu Brata lainnya. Pemuda itu telah mengeluarkan seluruh kemampuan yang telah diajarkan oleh ayahnya.Sebuah pedang tergenggam dengan erat. Pedang itu memang bukan pedang pusaka. Tapi setidaknya, pedang tersebut masih terhitung ke dalam jajaran senjata kelas satu.Wutt!!!Sinar pedang bergerak dengan cepat. Caraka Candra mengeluarkan salah satu jurus pemberian ayahnya yang bernama Sinar Pedang Pengantar Kematian.Jurus itu merupakan salah satu jurus pamungkas yang selama ini dia andalkan. Caraka Candra jarang mengeluarkan jurus tersebut. Bukan karena apa, melainkan karena siapa pun yang sudah berhadapan dengan jurus Sinar Pedang Pengantar Kematian, dapat dipastikan bahwa lawannya akan mampus dalam waktu singkat.Sayang sekali, saat ini sepertinya merupakan pengecualian. Bukan saja kedua orang lawannya tidak mampus, bahkan mereka pun tidak terlihat terpojok sama sekali.Mereka masih tetap bersikap dengan tenang dan wajar. Bahkan sesekali melemparkan senyuman sinis kepadanya.Dua golok yang dipakai lawannya terus bergerak mengikuti jalur pedang yang dibuat olehnya. Benturan dua benda tajam terus terdengar. Percikan api menjadi pemandangan yang bisa disaksikan kapan saja.Dua lawan Caraka Candra mulai membalikkan keadaan. Mereka juga sudah mengeluarkan jurus-jurus pamungkas miliknya.Menghadapi dua jurus dahsyat sekaligus, tentu saja pemuda itu dibuat kerepotan. Bagaimanapun juga, dia masih muda. Pengalaman bertarungnya juga belum sebanyak dua orang musuhnya.Hal itu merupakan kerugian tersendiri. Sehingga, lewat sepuluh jurus kemudian, salah satu gagang golok lawannya telah berhasil mengirimkan pukulan telak ke ulu hatinya.Bersamaan dengan kejadian tersebut, satu golok lainnya dibenturkan sehingga mementalkan pedang miliknya dengan jarak cukup jauh.Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli
Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su
Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda
"Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala
"Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran
Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem