Suara dentingan nyaring ketika berbagai senjata beradu, terus terdengar memecahkan keheningan malam. Teriakan anggota Perkumpulan Iblis Merah dan murid Perguruan Naga Langit, menyatu dalam satu suara.
Teriakan, lolongan panjang seperti sergala, bentakan dan geraman terus terdengar mengiringi nyaringnya benda keras beradu.Pertempuran di malam bulan purnama itu sangat sengit. Kedua belah pihak tidak ada yang mau kalah. Masing-masing terus berjuang untuk mempertahankan pihaknya sendiri.Beberapa waktu telah berlalu. Pertempuran yang sangat menegangkan itu telah berakhir. Pihak Perguruan Naga Putih kalah telak. Puluhan murid mereka tidak ada yang selamat. Walaupun sampai kini masih ada yang bernafas, namun dapat dipastikan bahwa mereka tidak sanggup menjalani hidup lagi.Para murid itu akan mati! Pasti!Sebab kondisinya sungguh mengenaskan. Darah menggenangi seluruh tubuhnya. Berbagai macam luka akibat sayatan dan tusukan, terlukis dengan sangat jelas.Bau anyir darah menyebar luas ke seluruh penjuru mata angin. Kematian di tempat itu terus berlanjut. Di tempat tersebut, nyawa manusia seakan tidak ada artinya sama sekali.Tapi di posisi lain, pihak Perkumpulan Iblis Merah juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Dari puluhan anggota yang bertempur, sekarang yang tersisa hanya tinggal belasan orang saja. Itu pun dalam keadaan terluka cukup parah.Kebanyakan dari mereka, tewas di tangan Keluarga Ketua Adiyaksa. Sepak terjang si Naga Hitam Dari Selatan itu benar-benar membuat mental lawan ciut. Istrinya, Nyai Diah Ayu, juga tidak kalah daripada suaminya.Dalam pertempuran tadi, wanita itu telah membunuh setidaknya dua puluhan orang anggota Perkumpulan Iblis Merah.Caraka Candra, pemuda yang merupakan anak tunggal dari dua pendekar itu, juga ikut andil dalam pertempuran.Walaupun saat ini usianya baru dua puluh tahun, tapi kemampuannya sudah terhitung tinggi. Dia setara dengan pendekar kelas dua yang sudah banyak pengalaman bertarung.Di usia mudanya, Caraka Candra sudah cukup banyak menguasai ilmu-ilmu pemberian dari ayahanya. Walaupun belum bisa menguasai secara sempurna, namun menurut Ketua Adiyaksa sendiri, setidaknya hal itu saja sudah lebih daripada cukup.Jangan lupa, si Naga Hitam Dari Selatan adalah Ketua Perguruan Naga Langit. Ilmu silatnya sangat tinggi. Di sisi lain, ilmunya juga begitu dahsyat.Oleh karena itulah, walaupun Caraka Candra belum bisa menguasai seluruh ilmu ayahnya dengan sempurna, tapi kalau untuk melindungi diri sendiri, rasanya itu saja sudah lebih daripada cukup.Malam semakin larut. Kentongan ketiga baru saja selesai dibunyikan di tempat yang cukup jauh. Walaupun pertempuran sudah selesai, tapi keadaan di halaman itu masih menegangkan. Bahkan jauh lebih menegangkan daripada sebelumnya.Hal itu terjadi karena pertempuran yang sebenarnya, baru akan dimulai.Keluarga kecil Ketua Adiyaksa berdiri sejajar. Mereka memasang wajah sangat serius. Pancaran matanya mencorong setajam pedang.Di depan mereka, Ranu Brata juga berdiri dengan kokoh bersama lima anak buah pilihannya yang tersisa. Dari sekian puluh anak buah, rasanya hanya lima orang itu saja yang mempunyai kemampuan tidak jauh di bawah pimpinannya sendiri."Semua muridmu sudah mampus," tiba-tiba pemimpin perkumpulan itu berkata dengan nada mengejek."Aku tahu," jawab Ketua Adiyaksa dengan singkat."Sekarang yang tersisa hanya tinggal kalian bertiga saja,""Aku tahu," jawabnya dengan ucapan yang sama."Tidak ada pilihan lain bagi kalian, kecuali kematian,""Kami bukan orang yang takut mati," sela Nyai Diah Ayu.Suaranya nyaring. Namun di dalamnya mengandung kemarahan yang luar biasa.Walaupun luarnya tidak terlihat seperti pendekar wanita pada umumnya, namun jangan salah, waktu muda, dia juga merupaka pendekar. Bahkan mempunyai nama yang cukup terkenal juga.Puluhan tahun lalu, nama Pendekar Bunga Mawar Biru sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Setiap orang persilatan pasti menaruh hormat kepadanya.Walaupun hal itu terjadi puluhan tahun lalu, tapi setidaknya, 'sisa-sisanya' masih ada sampai kini.Oleh karena itulah, tadi Diah Ayu atau yang dulunya berjuluk Pendekar Bunga Mawar Biru, juga berperan penting di medan pertempuran.Sementara itu, ketika mendengar jawaban tersebut, Ranu Brata malah tertawa nyaring."Hahaha … bagus kalau begitu. Keinginanku untuk membunuh kalian sekeluarga jadi semakin membesar," ujarnya sambil tersenyum dingin."Kalau begitu, kenapa kau belum juga melakukannya?" tantanta Caraka Candra.Pemuda itu sudah gemas sejak tadi. Ingin sekali dia menghajar mulut busk Ranu Brata. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan hal tersebut.Bahkan untuk saat ini, hal itu rasanya sangat mustahil. Sebab Caraka sendiri tahu bahwa pemimpin tersebut bukanlah lawan yang mudah dihadapi. Kemampuannya pasti sangat tinggi. Apalagi, beberapa saat yang lalu dia sudah menyaksikannya sendiri."Sekarang juga aku akan melakukannya!" teriak Ranu Brata.Sambil berteriak, tangan kanannya diayunkan. Ayunan itu terlihat sangat perlahan. Namun jangan salah, bersamaan dengan gerakan tersebut, tiba-tiba muncul segulung angin berhawa panas yang menerjang ke arah depan.Ketua Adiyaksa dan yang lainnya tahu bahwa angin itu bukanlah angin biasa. Oleh karena itulah, sebelum angin tersebut mengenai tubuhnya, mereka sudah menghindar lebih dulu.Ketiganya berlompatan ke samping kanan dan kiri. Sedangkan angin tad terus menerjang ke depan sana.Blarr!!!Ledakan cukup besar terdengar ketika angin berhawa panas itu menerjang bangunan Perguruan Naga Langit.Ketua Adiyaksa geram. Tanpa membuang waktu lebih lama, dia langsung melompat ke arah musuhnya. Sebilah pedang tipis segera dikeluarkan dari balik pinggang.Cahaya keperakan langsung menyeruak ke penjuru mata angin. Hawa pedang terasa begitu kental.Ranu Brata tersentak kaget ketika menyaksikan pedang tersebut. Meskipun baru pertama kali melihatnya, namun dia tahu bahwa pedang itu bukanlah senjata sembarangan.Dan kenyataannya memang demikian!Pedang tipis itu adalah Pedang Lemas Sembilan Titik.Itu adalah senjata pusaka Ketua Adiyaksa, sekaligus juga lambang dari Ketua Perguruan Naga Langit.Selama puluhan tahun ini, pedang tersebut telah menemani dirinya dalam suka dan duka. Entah sudah berapa pertarungan yang dia lewatkan bersama pedang itu. Entah sudah berapa banyak pula nyawa yang melayang karenanya.Rasa percaya diri Ketua Adiyaksa semakin menambah tebal ketika dia sudah mengeluarkan Pedang Lemas Sembilan Titik tersebut.Mendadak orang itu membentak nyaring. Tubuhnya meloncat ke depan sambil melayangkan sebuah tusukan maut yang mengarah ke berbagai titik penting di tubuh manusia.Bersamaan dengan gerakan tersebut, si Naga hitam Dari Selatan itu juga turut serta mengeluarkan salah satu jurus andalannya yang bernama "Tusukan Awan Gelap".Ranu Brata bertindak waspada ketika menyaksikan serangan lawan yang menurutnya berbahaya tersebut. Dala waktu yang sangat singkat itu, dia telah mencabut sebilah golok pusaka miliknya.Sring!!!Golok yang menjadi senjata andalannya sudah tergenggam erat di telapak tangan. Dia langsung mengangkat golok tersebut untuk menghadapi pedang Ketua Adiyaksa.Trangg!!! Trangg!!!Benturan dua senjata pusaka terjadi. Menimbulkan kembali percikan api yang indah sekaligus mengerikan.Awalnya Ranu Brata berhasil menahan tusukan si Naga Hitam Dari Selatan. Tapi lama kelamaan, dia mulai keteteran juga. Beberapa kali tubuhnya hampir menjadi sasaran telak serangan lawannya.Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli
Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su
Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda
"Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala
"Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran
Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem