Share

Tewasnya si Naga Hitam Dari Selatan

Bukk!!!

Caraka Candra terlempar jauh ke belakang. Dia jatuh bergulingan. Serangan barusan dilayangkan dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga walau hanya satu kali serangan, namun hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya terluka.

Darah segar langsung merembes keluar dari mulut dan hidungnya. Pemuda itu juga merasaka kalau dadanya sangat sakit sehingga kesulitan bernafas.

Melihat dirinya yang sudah tidak berdaya, maka dua orang lawannya tertawa bergelak. Mereka langsung melompat ke depan dan seketika itu juga melayangkan tendangan serta pukulan keras ke beberapa titik penting di tubuhnya.

Caraka Candra menggeram perlahan. Walaupun serangan lawan datang bertubi-tubi dan menimbulkan rasa sakit yang tidak sedikit, namun dirinya berusaha untuk tetap tidak berteriak.

Dia takut kalau sampai berteriak, maka dirinya akan mengganggu konsentrasi kedua orang tuanya yang saat ini sedang bertempur mati-matian.

Sehingga pada akhirnya, Caraka Candra hanya bisa menyalahkan diri sendiri.

Kenapa dia tidak sekuat ayah dan ibunya? Kenapa dia hanya menjadi beban keluarga saja?

Berbagai macam pertanyaan mulai bermunculan. Bayangan orang-orang yang dikasihi olehnya pun tidak terkecuali.

Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Dia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya sudah sangat lemas. Seperti orang mati.

Apakah dia memang sudah mati?

Di depannya, dua orang anak buah Ranu Brata sudah mengangkat goloknya setinggi mungkin. Mereka berniat untuk mengakhiri hidup pemuda itu secepat mungkin.

Wutt!!!

Bayangan golok sudah menebas ke depan. Kalau berhasil, serangan tersebut pasti akan dapat membelah batok kepala Caraka Candra.

Untunglah pada saat detik-detik yang menentukan itu, tiba-tiba dari samping kanan ada segulung angin yang berhembus datang.

Trangg!!! Srett!!!

"Ahhh …"

Dua teriakan kesakitan yang saling susul menyusul terdengar. Kedua orang tadi tersurut mundur ke belakang. Pada dadanya masing-masing, tahu-tahu sudah tercipta luka goresan pedang.

Si Naga Hitam Dari Selatan!

Ya, ternyata yang telah melukai dua orang tadi memang dirinya. Di saat-saat duelnya melawan Ranu Brata, Ketua Adiyaksa sempat melirik sekilas ke arah anaknya tersebut.

Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak akan membiarkan anaknya tewas. Apalagi tewas di depan mata kepalanya sendiri.

Orang tua mana yang tega menyaksikan kejadian tersebut?

Ketua Adiyaksa adakah orang tua. Tentu dirinya juga tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.

Oleh karena itulah, dalam detik-detik paling genting tersebut, dia berusaha membebaskan diri dari serbuan serangan Ranu Brata.

Dan usahanya telah berhasil. Sehingga dia pun berhasil pula menyelamatkan nyawa Caraka Candra, anaknya.

Sayangnya, Ketua Adiyaksa sepertinya lupa bahwa tindakan yang telah dia lakukan itu merupakan satu tindakan yang paling nekad sekaligus paling bodoh.

Sebab itu merupakan awal. Awal dari kekalahan sebelum datangnya kematian!

Dari arah belakangnya tahu-tahu terdengar bentakan nyaring. Ketika dirinya membalikkan badan, dia mendapati bahwa Ranu Brata telah tiba di belakangnya dengan golok terhunus ke depan.

Wutt!!!

Golok meluncur secepat batu yang dilemparkan dengan sekuat tenaga.

Ketua Adiyaksa sebenarnya ingin mengambil tindakan. Tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Sebab sebelum dia berhasil melakukannya, Ranu Brata telah mengibaskan tangan kirinya ke depan.

Werr!!!

Ribuan titik keemasan menyambar ke arah wajah si Naga Hitam Dari Selatan. Titik keemasan itu merupakan debu yang tadi sempat diambil oleh Ranu Brata. Dia sengaja melakukannya dengan tujuan ingin membuat pandangan lawan kabur.

Walau hal itu hanya terjadi sesaat, tapi terkadang yang sesaat itu bisa menyebabkan kejadian fatal!

Bahkan sangat fatal!

Slebb!!!

Golok Ranu Brata dengan telak menusuk ke dada sebelah kiri. Tepat di bagian jantung. Golok itu bahkan sampai masuk lebih dari setengahnya.

Darah segar langsung muncrat seperti air pancuran. Si Naga Hitam Dari Selatan melototkan matanya. Mulutnya terbuka, segumpal darah segar kehitaman kembali keluar dari mulut itu.

Ketua Adiyaksa mengeluarkan suara seperti hewan disembelih.

"Sekarang mampus kau tua bangka!" kata Ranu Brata dengan suaranya yang menyeramkan.

Sambil berkata demikian, dia menusukkan lebih dalam goloknya. Membuat Ketua Adiyaksa semakin merasa tersiska karenanya.

Makin lama, si Naga Hitam Dari Selatan semakin merasakan sakit yang teramat sangat. Sekejap kemudian, Pedang Lemas Sembilan Titik miliknya jatuh ke tanah. Bersamaan dengan itu, nyawa juga lepas dari badan.

Pedang jatuh, nyawa melayang!

Sepertinya ungkapan orang-orang persilatan yang berkata bahwa "jika pendekar pedang kehilangan pedangnya, maka dia akan mampus," masih terbukti hingga detik ini.

Dan si Naga Hitam Dari Selatan telah membuktikannya!

Ranu Brata segera mencabut goloknya ketika dia mengetahui bahwa lawannya sudah tewas. Setelah itu, orang tersebut tertawa sangat lantang.

Sedangkan di sisi lain, tiga orang yang mengeroyok Pendekar Bunga Mawar Biru, saat ini mulai menguasai jalannya pertarungan.

Wanita tangguh itu masih berusaha mempertahankan diri dari serangan-serangan lawannya. Sayangnya, perlawanan yang dia lakukan tidak bisa maksimal. Sebab saat ini, luka-luka akibat tusukan atau bacokan golok sudah memenuhi seluruh tubuhnya.

Darah segar terus bercucuran dari setiap luka tersebut. Nyai Diah Ayu mulai kehilangan banyak darah.

Akibat hal tersebut, semakin lama dia bertarung, maka makin banyak pula darah dan tenaga yang keluar. Setelah pertarungannya mencapai jurus kedelapan puluh empat, tiga bayangan golok lawan tahu-tahu sudah mendarat di tubuh Nyi Diah Ayu dengan sangat telak.

Crashh!!! Slebb!!!

"Ahh …"

Nyai Diah Ayu menjerit tertahan. Sepasang matanya langsung memandang ke arah tiga golok tersebut lalu beralih lagi ke wajah tiga pembunuhnya.

"Ka-kalian …"

Hanya itu saja yang mampu keluar dari mulutnya. Tidak kurang dan tidak lebih.

Tepat setelah dia selesai mengucapkan perkataan tersebut, dirinya langsung ambruk ke tanah. Nyai Diah telah tewas. Tewas menyusul suaminya, Ketua Adiyaksa yang berjuluk si Naga Hitam Dari Selatan.

Dua kejadian itu berjalan sangat singkat. Mungkin tidak sampai satu helaan nafas saja. Berbeda dengan menulisnya yang memerlukan beberapa waktu.

Di belakangnya, Caraka Candra sangat terkejut ketika dia menyaksikan kedua orang tuanya dibunuh di depan mata. Pemuda itu menjerit tertahan. Dia kalap hingga berteriak sekencang mungkin.

Sayangnya, sekencang apapun dia berteriak, hakikatnya tetap sama saja. Yang sudah mati tidak akan bisa kembali lagi!

"Pembunuh! Kalian, pembunuh!" teriak Caraka Candra dengan lantang.

Pemuda itu langsung bangkit berdiri. Dia ingin menghajar empat orang tersebut. Tapi sebelum Caraka berhasil melakukannya, sebuah tendangan telah mendarat dengan telak di wajahnya.

Dia terlempar ke belakang. Bahkan kembali jatuh tersungkur ke tanah.

Darah segar dari hidungnya, keluar semakin banyak lagi.

Ranu Brata berjalan ke arahnya. Orang itu lalu mencengkeram kerah baju Caraka Candra lalu mengangkatnya setinggi mungkin.

"Hahaha … anak seorang Ketua perguruan ternama, ternyata tidak mampu melakukan apa-apa," ejeknya lalu tertawa nyaring.

Wushh!!! Brugg!!!

Ranu Brata melemparkan tubuh Caraka Candra dengan kencang hingga menubruk dinding perguruan.

"Bakar perguruan ini!" ujarnya memberikan perintah kepada anak buahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status