Kaisar Tian Ming tidak segera menjawab. Ia menatap mereka satu per satu, tajam dan dalam, seolah sedang menelanjangi isi hati mereka.Hening melingkupi aula hingga hanya terdengar detak waktu dari jam perunggu tua di sisi ruangan.Akhirnya, suara Kaisar Tian Ming terdengar, rendah namun dingin seperti udara musim dingin yang menembus tulang.“Kalian datang ... karena berpikir ini jamuan kehormatan?”Para pejabat saling pandang, ragu-ragu. Pejabat Bao mencoba tersenyum kecil. “Hamba ... mengira Yang Mulia hendak memberi penghargaan atas pengabdian kami menjaga keamanan dalam negeri ....”“Pengabdian?” Kaisar Tian Ming berdiri perlahan dari singgasananya. “Atau pengkhianatan?”Wajah para pejabat langsung pucat.Kaisar Tian Ming melangkah turun, suaranya semakin tajam. “Kalian menyebarkan rumor, memprovokasi rakyat, menghina wanita yang telah menyelamatkan nyawa ribuan orang. Kalian menjual harga diri demi ambisi pribadi. Dan kalian ... bahkan berani menemui kaisar negeri lain di belakan
Pagi itu, cahaya matahari baru menyinari atap-atap megah ibu kota kekaisaran Tianyang. Di kediaman masing-masing, para pejabat yang sempat menjadi dalang di balik kerusuhan rakyat kini tampak tersenyum puas. Seorang prajurit kekaisaran berseragam lengkap mengetuk pintu kediaman satu per satu, menyerahkan gulungan undangan berhias lambang kekaisaran.Di kediaman Pejabat Bao, pelayan utama berlari tergopoh membawa surat.“Tuanku! Surat dari istana kekaisaran!” katanya sambil menyerahkannya dengan kedua tangan.Pejabat Bao membuka gulungan itu, alisnya langsung terangkat. “Undangan dari Yang Mulia?” gumamnya, lalu membaca dengan suara pelan. “Undangan khusus bagi para pejabat yang telah berjasa menjaga keamanan ibu kota .…”Ia langsung tertawa puas. “Ha! Sudah kuduga, kaisar pasti mengakui jasa kita!”Tak lama, ia berteriak pada pelayan, “Panaskan air! Aku ingin mandi dengan air mawar hari ini!”Di ruang dalam, istrinya yang mendengar suara itu segera menghampiri.“Ada apa? Kau tampak se
Pagi itu, cahaya matahari baru menyinari atap-atap megah ibu kota kekaisaran Tianyang. Di kediaman masing-masing, para pejabat yang sempat menjadi dalang di balik kerusuhan rakyat kini tampak tersenyum puas. Seorang prajurit kekaisaran berseragam lengkap mengetuk pintu kediaman satu per satu, menyerahkan gulungan undangan berhias lambang kekaisaran.Di kediaman Pejabat Bao, pelayan utama berlari tergopoh membawa surat.“Tuanku! Surat dari istana kekaisaran!” katanya sambil menyerahkannya dengan kedua tangan.Pejabat Bao membuka gulungan itu, alisnya langsung terangkat. “Undangan dari Yang Mulia?” gumamnya, lalu membaca dengan suara pelan. “Undangan khusus bagi para pejabat yang telah berjasa menjaga keamanan ibu kota .…”Ia langsung tertawa puas. “Ha! Sudah kuduga, kaisar pasti mengakui jasa kita!”Tak lama, ia berteriak pada pelayan, “Panaskan air! Aku ingin mandi dengan air mawar hari ini!”Di ruang dalam, istrinya yang mendengar suara itu segera menghampiri.“Ada apa? Kau tampak se
Di dalam paviliun indah yang penuh dengan aroma harum rempah dan melati kering, Ibu Suri Gao duduk anggun di atas bantal sutra. Jemarinya yang penuh cincin giok menggenggam cangkir porselen halus, perlahan menyeruput teh hangat beraroma bunga krisan.Angin pagi masuk melalui jendela terbuka, mengayunkan tirai tipis seperti kelopak bunga.Beberapa saat kemudian, seorang pelayan perempuan paruh baya yang menjadi orang kepercayaan Ibu Suri melangkah masuk dengan hati-hati. Ia mendekat, lalu membungkuk dan berbisik pelan di sisi telinga Ibu Suri.“Yang Mulia, rakyat akhirnya membubarkan diri … Kaisar Tian Ming berhasil meredakan kerusuhan.”Ibu Suri Gao menghentikan gerakan tangannya. Cangkir teh perlahan diletakkan kembali ke atas meja rendah yang terbuat dari kayu cendana.“Begitu, ya .…” gumamnya pelan, lalu matanya menyipit sedikit. “Jadi Tian Ming mampu membungkam mulut ribuan rakyat demi seorang wanita yang bahkan tidak punya nama terhormat.”Pelayan itu menunduk, lalu dengan suara
Suasana semakin sunyi senyap. Beberapa rakyat mulai menunduk, malu. Ada pula yang saling melirik, bingung dan bimbang.Zhao Xueyan tetap berdiri tegak. Meskipun banyak tatapan menyakitkan tertuju padanya, ia tidak gentar. Niuniu menggenggam lengan tuannya erat, berusaha menyemangati dalam diam.Seorang pria paruh baya di barisan depan akhirnya angkat suara. Suaranya berat namun tulus."Yang Mulia ... kami hanya takut adat rusak, bukan membenci Nona Zhao. Tapi ... kami juga tahu kebaikannya. Anak saya pernah disembuhkan oleh beliau. Kami hanya ... bingung harus memilih antara adat dan rasa terima kasih."Tian Ming mengangguk."Aku menghargai kekhawatiran kalian. Tapi jika adat tidak bisa membedakan antara kebajikan dan kesalahan, maka akulah yang akan mengubahnya."Ia lalu menoleh sekali lagi pada rakyatnya."Zhao Xueyan bukan hanya wanita yang kucintai. Dia wanita yang layak mendapat penghormatan. Dan siapa pun yang tidak bisa menghargainya, berarti tidak menghargai rajanya sendiri."
Langit pagi berubah mendung seiring suasana di depan gerbang utama istana Kekaisaran Tianyang yang semakin ricuh. Ratusan rakyat berkumpul, berdesak-desakan, suara-suara penuh protes menggema ke udara."Yang Mulia tidak boleh menikahi seorang janda!""Itu mencoreng martabat Kekaisaran!""Bagaimana bisa calon permaisuri adalah mantan istri kaisar lain?!"Mereka terus berteriak, menuntut kejelasan. Beberapa bahkan membawa papan kayu bertuliskan penolakan, dan wajah mereka dipenuhi emosi.Namun di sisi lain, tepat di tengah kerumunan yang padat, tampak tiga sosok berkuda yang tidak biasa. Mereka adalah Putra Mahkota Hei Long, serta dua pangeran dari Kekaisaran Changhai Pangeran pertama Chen Duan dan Pangeran kedua Chen Xuan serta rombongan jenderal mereka. Ketiganya baru hendak meninggalkan istana, tapi jalan mereka terhalang kerumunan rakyat yang memenuhi jalur utama.Pangeran Chen Xuan menarik tali kendalinya dan menoleh pada dua rekannya.“Kita tidak bisa lewat. Terlalu padat,” katan
Cahaya matahari pagi yang hangat memantulkan kilau keemasan pada gerbang utama yang megah. Suasana terasa khidmat namun bersahabat, ketika para tamu agung bersiap untuk kembali ke negeri masing-masing.Di antara mereka, terlihat Putra Mahkota Hei Long dari Kekaisaran Heifeng, serta dua pangeran dari Kekaisaran Changhai, Chen Duan yang kalem dan Chen Xuan yang selalu ceria.Kaisar Tian Ming dan Zhao Xueyan berdiri berdampingan, mengantar ketiganya hingga ke gerbang utama istana. Senyum ramah terpancar di wajah mereka.Putra Mahkota Hei Long sedikit membungkuk memberi salam perpisahan.“Aku pamit, Kaisar Tian Ming, Nona Zhao. Terima kasih atas jamuan dan keramahan kalian.”Zhao Xueyan membalas dengan sopan, suaranya tenang dan lembut.“Semoga perjalanan kalian aman sampai tujuan, Yang Mulia. Tolong sampaikan salam hormatku pada Kaisar Hei Zhang.”Putra Mahkota Hei Long tersenyum kecil, mengangguk mantap.“Tentu. Aku yakin Ayahku akan senang mendengarnya.”Namun sebelum ia melangkah leb
Ruang kerja itu kembali sunyi setelah ketegangan sempat mereda, namun hanya sejenak.Ibu Suri Gao memejamkan mata, lalu menatap putranya dengan sorot mata tajam.“Kalau begitu ... apa kau ingin melihat ibumu ini mati karena malu, Tian Ming?” suaranya bergetar, tapi bukan karena lemah, melainkan karena emosi yang mendidih. “Memalukan! Seorang kaisar yang melanggar adat istana demi seorang janda! Kau tega menyeret nama keluarga Ming ke dalam aib seperti ini?”Kaisar Tian Ming menoleh perlahan. Tatapannya kini berbeda, dingin namun tetap tenang.“Ibu,” katanya lirih, “Apa Ibu lupa … bahkan jika Ibu menyeret semua wanita dari seluruh penjuru dunia ini ke hadapanku, tidak satu pun dari mereka bisa menyentuhku.”Nada suaranya tajam tapi penuh luka lama. “Apa Ibu juga lupa ... tentang penyakitku?”Ibu Suri Gao langsung terpaku. Nafasnya tercekat, seolah tersedak oleh kenyataan yang tak pernah ingin diingatnya. Tangannya mengepal di sisi gaun panjangnya.Penyakit langka sang putra, penyakit y
Di sebuah kedai tua di pinggir pasar, suasana pagi masih lengang. Aroma teh pahit dan kayu cendana menyatu dengan udara. Seorang pria dengan pakaian sederhana, topi jerami menutupi sebagian wajahnya, masuk dan berjalan melewati ruang utama kedai. Ia tak berbicara dengan siapa pun, hanya memberi isyarat kecil pada pelayan yang langsung mengangguk dan membukakan pintu menuju ruang privat di bagian belakang.“Silahkan masuk, Tuan!” ucap sang pelayan memberikan hormat. “Hmmp.” Begitu pintu tertutup, pria itu mencopot topinya. Wajahnya yang tajam dan penuh wibawa kini terlihat jelas, tak lain adalah Kaisar Zheng Yu dari Kekaisaran Zhengtang."Apa yang kalian inginkan dariku?" Suaranya langsung menusuk, tanpa basa-basi.Di dalam ruangan itu telah duduk empat orang pria paruh baya, masing-masing dengan wajah tenang tapi licik. Pejabat Bao, pejabat Lin, pejabat Zhen, dan Menteri Xiao. Mereka saling melirik satu sama lain sebelum akhirnya pejabat Zhen berbicara."Tenang dulu, Yang Mulia. Dud