Part 14Tok-tok-tok!!“Non, Non Jihan kenapa? Buka pintunya, Non. Ini Mbok bawakan makan siang untuk Non Jihan, pasti Non belum makan, kan, Nduk?” Di luar kamar, dengan sabar Mbok Yati berulang kali mengetuk-ngetuk pintu kamar Jihan.“Iya, sebentar, Mbok,” sahut Jihan seraya menghela napas panjang, lalu bangun dari pembaringan dan melangkah ke arah pintu. Setelah membuka pintu, Jihan kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.“Ini makanannya, Mbok taro di atas meja kerja kamu, ya, Nduk. Dimakan sekarang aja, Nduk, mumpung lauknya masih hangat, baru matang, lho, Nduk. Mbok sengaja masak lauk kesukaan Non Jihan yaitu ayam kecap pedas,” ujar Mbok Yati lembut dengan menampilkan senyum teduh di bibir sambil menatap Jihan yang tampak sedang tidak dalam keadaan baik.“Saya enggak lapar, Mbok. Saya lagi enggak kepengin apa-apa,” sahut wanita berlesung pipi itu dengan nada malas kepada wanita paruh baya yang sudah menjaga dan membesarkan dirinya.“Harus dipaksain, Nduk. Kalau enggak begit
Part 15"Assalamualaikum ....""Wa ‘alaikumus-salam, Mas." Baru saja Madina akan meraih tangan sang suami, tetapi Malik menolaknya terlebih dulu."Mas belum cuci tangan, Dek. Kan, Mas baru pulang dari perjalanan jauh, takutnya ada kuman yang menempel di sini dan Mas enggak mau kalau kuman itu sampai menempel ke kamu, Sayang. Cukup Mas saja yang suka menempeli kamu, Dek," goda Malik seraya menatap wajah cantik sang istri yang tampak sedang tersipu malu."Tunggu sebentar, Dek. Mas mau cuci tangan dulu.""Iya, Mas," sahut Madina dengan wajah yang tampak masih dihiasi oleh rona kemerahan.Lima menit kemudian, Malik menghampiri sang istri. "Nah, kalau sekarang, tangan Mas sudah bersih, Dek. Kamu bisa memeganginya dan menciumi sepuas kamu, Sayang."Madina langsung meraih tangan sang suami untuk dicium. "Masyaallah, salehahnya istri Mas. Beruntung Mas memilikimu, Sayang." Malik memberi kecupan sayang di kening sang istri, lalu membawa tubuh Madina ke dalam pelukannya. "Mas sangat merindukan
Part 16“Dokter Malik, bagaimana keadaan Bu Madina, Dok?” tanya Dokter Fani yang baru saja keluar dari ruang kerjanya. Kebetulan, dia berpapasan dengan Malik di lorong rumah sakit.Malik yang terlihat kelelahan karena seharian ini banyak pasien yang ditangani, hanya bisa menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari wanita yang lumayan akrab dengan istrinya. “Alhamdulillah sehat, Dok. Tapi, dia masih menyimpan trauma bila menyangkut tentang kehamilan. Padahal saya sudah meyakinkan dia, kalau seandainya nanti memang tidak akan pernah ada anak di antara kami, saya tetap akan setia mendampinginya sampai kami menua bersama. Toh, kami sudah mempunyai Akbar dan Lydia. Saya sudah menganggap anak-anak sambung saya seperti anak kandung saya sendiri, tapi Madina tetap kekeh dengan pendiriannya,” sahut Malik seraya menghela napas panjang. “Semenjak meninggalnya putra pertama kami dan tiga kali mengalami keguguran, sekarang sifat istri saya sudah banyak berubah, Dok.”“Sabar, Dokter Ma
Part 17“Maaf, Mas,” ujar Madina merasa bersalah kala mendengar suaminya meringis kesakitan. “Aku cuman mau mengucapkan selamat kepada Mas, kalau kita sebentar lagi akan ... mempunyai anak.""Syukur alhamdulillah. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginan dan harapan kamu, Dek," sahut Malik terdengar biasa saja, tidak seperti sang istri yang terlihat sangat bahagia. Madina mengurai pelukan dari tubuh tegap sang suami, lalu dia menatap kecewa pada pria yang sangat dicintainya. "Mas, sepertinya kamu enggak bahagia mendengar kabar baik ini. Kenapa, Mas?"Malik tampak menarik napas dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. Kemudian, dia membingkai lembut wajah ayu sang istri dan memberi kecupan sayang di kening wanitanya. "Mas bahagia, Sayang. Tapi, Mas akan jauh lebih bahagia kalau anak kita lahir dari rahim kamu, Dek.""Tapi, yang aku lihat malah sebaliknya. Tidak ada raut bahagia terpancar di wajah tampanmu ini, Mas, atas anugerah berkah dari-Nya yang menghadirkan calon anak kita yang se
Part 18"Jihan kenapa, Mbok?" tanya Malik cemas. Dia baru saja tiba di rumah mewah bergaya Eropa itu dan langsung ke lantai atas."Non Jihan tadi tiba-tiba pingsan, Den, setelah keluar dari kamar mandi. Badannya juga panas, mungkin karena dari siang dia belum makan apa-apa. Waktu pagi juga dia cuman makan sedikit, tapi dimuntahkan kembali," terang Mbok Yati sembari terisak sedih kala melihat keadaan wanita kesayangannya terlihat lemah tak berdaya."Sekarang Mbok yang tenang. Jangan khawatir, Mbok. Insyaallah, Jihan baik-baik saja," ucap Malik yang langsung mengeluarkan stetoskop dan tensimeter dari dalam tas kerjanya untuk memeriksa wanita yang sedang mengandung anaknya. "Jihan kekurangan banyak cairan, Mbok, tekanan darahnya juga rendah. Apa dia masih merasakan mual-mual setiap pagi dan juga malam, Mbok?"Mbok Yati tampak mengangguk sembari menyusut buliran bening yang masih meluncur deras membasahi pipi. "Masih, tapi hari ini yang Mbok lihat mual-mual Non Jihan lebih parah enggak se
Part 19"Om Hasan? Kapan Om pulang dari Itali?" tanya Jihan berusaha bangun dari pembaringan."Kamu enggak usah bangun dari situ, Ji. Keadaanmu masih sangat lemah," ucap Malik terdengar masih sangat mencemaskan wanita tersebut."Kemarin ... dan siangnya Om langsung pergi ke rumah sakit untuk mengecek data-data pemasukan dan pengeluaran rumah sakit kita selama enam bulan Om tinggal ke luar negeri. Dan, dari sanalah Om mengetahui kalau kamu sudah tiga bulanan enggak masuk kerja bahkan kamu enggak pernah mengecek data keuangan rumah sakit milik keluarga kita, Ji. Kamu serahkan semua tanggung jawabmu kepada Yusuf, putraku. Ternyata karena ini alasannya," tandas Pak Hasan seraya menatap tajam pada keponakan satu-satunya.Jihan sedikit takut dengan tatapan tajam yang diberikan oleh pamannya. Wanita beriris kecokelatan itu berusaha menyunggingkan senyuman kepada pria paruh baya yang auranya selalu terlihat tegas dan juga sangat menyeramkan."Ini semua enggak seperti apa yang sedang Om pikirk
Part 20"Auuw." Jari telunjuk Madina tidak sengaja tergores oleh pisau dapur saat dia sedang memotong bawang merah untuk dicampurkan ke dalam mangkuk yang berisikan telur."Astagfirullah, jarimu berdarah itu, Dek. Kakak lihat hari ini kamu banyak melamun, Dek. Tadi juga kamu hampir terjatuh dari tangga. Kamu sedang ada masalah sama Malik, Dek?" tanya Safira cemas seraya menatap wajah ayu sang adik, lalu wanita cantik itu menarik Madina untuk duduk di kursi yang tidak jauh dari dapur."Enggak ada, Kak. Alhamdulillah kami baik-baik saja," ucap Madina. "Tapi, dari semalam, entah kenapa pikiranku enggak bisa tenang, Kak. Apa karena aku enggak pernah pergi jauh meninggalkan Mas Malik sendirian di rumah?""Bentar, Dek. Kakak mau ambil kotak obat dulu di ruangan tengah, luka di jarimu jangan diapa-apain dulu, ya, Dek!""Iya, Kak."Hanya dalam waktu sepuluh detik, Safira sudah kembali menghampiri Madina dengan membawa kotak obat berisikan betadin dan juga hansaplast di dalamnya. "Tahan sediki
Part 21[“Halo. Assalamualaikum, Mas,”] ucap Madina lembut pada sang suami, ketika dia bisa menatap langsung wajah Malik melalui panggilan video call. [“Wa ‘alaikumus-salam, Dek. Maaf, ya, karena ponsel Mas baru diaktifkan. Kamu sedang apa di sana, Dek?”] tanya Malik mencoba bersikap senormal mungkin agar sang istri tidak menyimpan prasangka buruk pada dirinya.[“Adek sama yang lain baru pulang dari jalan-jalan, Mas. Mumpung masih di sini, nyenengin hati Akbar sama adik-adiknya. Mas, kok, ponselnya baru diaktifin lagi, sih? Memangnya Mas pergi seminar di rumah sakit mana? Tadi siang, waktu aku telepon ke sana, katanya Mas lagi pergi seminar ke luar kota. Kok, tumben enggak ngasih tahu aku dulu, Mas? Biasanya Mas selalu izin terlebih dulu kalau mau pergi ke luar kota,”] tanya Madina beruntun kepada sang suami, karena perasaannya tidak bisa tenang sebelum melihat secara langsung sang suami dalam keadaan baik-baik saja.[“E-eh, iya, Dek. Maaf, Mas belum sempat ngasih tahu ke kamu kalau