Beranda / Romansa / Di Antara Dua Pilihan / Part 7 Salah Sangka

Share

Part 7 Salah Sangka

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-29 12:41:41

"Mbak Risa, Mas Aksara yang nelepon." Ulfa yang tidak sabar meraih ponsel milik kakaknya dan mengulurkan pada Marisa. "Angkat gih, Mbak bisa minta tolong nganterin daripada naik taksi."

Nganterin? Marisa sungkan sebenarnya. "Halo, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Aku sedang ada di jalan ini. Mau nggak kuajak ke Surabaya Great Expo?"

"Maaf, hari ini aku mau kondangan ke mantanku, Mas."

"Oh ya? Di mana?"

"Di hotel Mataram."

"Kamu sudah berangkat?"

"Belum. Ini baru mau pesan taksi."

"Nggak usah pesan taksi. Aku bisa mengantarmu. Sebentar lagi aku udah nyampe rumahmu."

"Apa aku nggak ngrepotin? Mas Aksara kan mau pergi ke expo?"

"Kita bisa pergi sepulangnya kamu dari kondangan. Tunggu saja di rumah, tak lama lagi aku sampai."

"Oh, iya," jawab Marisa kemudian meletakkan ponselnya karena tanpa salam Aksara telah memutuskan panggilan.

"Gimana?" tanya Ulfa.

"Sebenarnya dia mau ngajak aku ke expo. Tapi aku bilang mau kondangan. Dia mau nganterin."

Ulfa langsung berbinar bahagia. Gadis itu tersenyum sambil membenahi tali gaun milik kakaknya. "Dia suka sama kamu , Mbak. Nggak usah jual mahal. Dia sepertinya pria yang baik. Pokoknya kalau dia deketin atau nembak Mbak Risa, jangan ditolak." Ulfa bicara berapi-api sambil merapikan rambut Marisa.

"Ka ...."

"Pokoknya jangan bilang nggak." Ulfa menyela cepat kakaknya yang hendak menjawab. "Feeling ibu juga mengatakan kalau dia pria baik-baik. Kali ini Mbak Risa nggak usah memikirkan bagaimana aku dan adik-adik. Kalau ada yang ngajak nikah dan dia pria baik-baik, Mbak harus mau. Mbak Risa, pikiran masa depan Mbak sendiri. Jangan khawatir dengan kami."

Ulfa sudah seperti orang tua saja yang menasehati Marisa. Gadis itu mengulang apa yang dibahas dengan sang ibu kemarin pagi.

Belum juga menjawab perkataan Ulfa, ponsel Marisa kembali berdering.

"Ya, Mas."

"Aku sudah ada di depan gang sekarang. Mau kujemput masuk ...."

"Nggak usah. Tunggu saya di depan gang saja. Saya akan jalan ke sana!" sahut Marisa cepat.

Dia tidak ingin para tetangga mempertanyakan tentang hubungannya dengan Aksara. Kegagalannya dengan Dimas saja menjadi perbincangan mereka dari pekan ke pekan. Pacaran lama ujung-ujungnya putus dan ditinggal menikah.

Sedangkan dirinya dengan Aksara tidak memiliki hubungan apapun, nanti dugaan tetangga sudah berbeda pula. Marisa tidak ingin ibunya terbebani dengan omongan mereka. Waktu Aksara mengantarkan pulang beberapa hari yang lalu saja sudah ada yang sibuk bertanya. "Pacar baru ya, Ris?"

Marisa keluar kamar sambil menenteng tas tangannya. Kemudian berpamitan pada sang ibu yang tengah mengadon kue di dapur.

"Kamu pergi naik apa?" tanya Bu Rahmi.

"Dianterin Mas Aksara, Bu." Ulfa yang menjawab. Diyakinkan dengan anggukan kepala oleh Marisa.

Bu Rahmi diam sejenak. "Ya, sudah. Kamu yang hati-hati ya."

Setelah berpamitan, Marisa di antar Ulfa yang membawakan kado milik sang kakak ke gang depan. Jalan gadis itu tidak bisa cepat karena memakai stiletto dengan hak tinggi. Satu-satunya sepatu mahal yang dia punya. Hanya dipakai di waktu-waktu tertentu saja. Tas yang ditangannya juga begitu. Akan dipakai pada saat kondangan atau acara dinner di kantor saja. Kalau ke bekerja dia memakai tas biasa.

Aksara turun dari pintu kemudi ketika melihat Marisa di antar oleh sang adik muncul dari gang. Pria itu tersenyum melihat penampilan berbeda gadis yang menjadi pemikirannya akhir-akhir ini.

Marisa tampil anggun meski dengan make up natural dan midi dress sederhana sepanjang betis berwarna mint. Baju yang tidak menggunakan hiasan apapun selain sabuk dan rumbai-rumbai ringan serta lipatan di bagian rok bawah.

Tak ada perhiasan yang melekat di badan Marisa selain anting kecil dan jam tangan dengan tali berwarna putih.

Marisa membalas senyum pria yang memakai hem warna biru Dongker.

"Mas, titip Mbak Risa, ya," ucap Ulfa tanpa canggung.

Aksara mengangkat jempolnya sambil tersenyum. "Jangan khawatir," jawabnya singkat.

Sebenarnya Aksara mengajak Marisa pergi ke expo hanya alasan saja. Tujuan utamanya adalah mengajak gadis itu mampir ke rumahnya karena sang mama ingin berjumpa dengan Marisa yang diceritakannya beberapa hari yang lalu.

"Kita berangkat sekarang?" tanya pria yang tampak menawan pagi itu.

"Ya." Marisa mengangguk.

Keduanya lantas berangkat di bawah tatapan Ulfa yang memandangi mobil itu hingga menjauh dan berbelok di tikungan. Setelah melihat kakaknya patah hati, ia ingin sang kakak mendapatkan kebahagiaannya lagi. Semoga Aksara memang berniat untuk mendekati dan serius pada Marisa.

Ulfa masih mematung. Kenapa dia tadi tidak menyarankan supaya Marisa mengajak Aksara menghadiri pestanya Dimas. Tidak hanya sekedar mengantar atau menunggu di luar. Ulfa ingin menelepon, tapi dia tidak membawa ponselnya.

Sementara dalam perjalanan keduanya masih terdiam. Marisa tampak tegang oleh dua hal. Malu karena sering diperhatikan Aksara dan gusar karena akan menghadiri pernikahan mantannya. Tentu dia nanti akan menjadi pusat perhatian kerabat dan teman-teman Dimas yang mengenalnya. Dia harus tampak tegar dan baik-baik saja. Tidak boleh menunjukkan wajah nelangsa apalagi sampai menangis.

Untuk mengurai resah, gadis itu membuka ponsel dan mengirimkan pesan pada Ari. Namun yang masuk bukan balasan pesan dari temannya, tapi pesan dari Daniel.

[Nggak usah kamu kembalikan uang itu. Aku memang sengaja memberikannya padamu. Jika kurang, aku akan menambahnya lagi.]

Membaca pesan itu membuat Marisa tambah berdebar dan gemetar. Namun ini kesempatan Marisa untuk berbicara dengan bosnya. Nanti dia akan minta maaf pada Aksara karena mengabaikannya.

[Tidak, Pak Daniel. Jangan transfer uang lagi. Pokoknya saya akan mengembalikan uang yang bapak transfer hari itu.]

[Apa yang kamu takutkan? Takut aku minta imbalan?]

[Tentu Pak Daniel punya alasan memberikan uang pada saya.]

Tidak dijawab lagi hingga beberapa menit kemudian. Menghilang seperti kemarin. Pembicaraan itu selalu tidak tuntas. Marisa tidak berani lancang lagi.

"Dasar buaya," umpat Marisa lirih. Namun membuat pria di sebelahnya kaget. "Ada apa, Risa? Kamu mengataiku buaya?"

Marisa sadar dan pias, merasa tidak enak hati. "Eh, bukan Mas. Bukan. Saya nggak ngatain Mas Aksara buaya. Saya hanya membalas curhatan teman saya. Maaf, saya terbawa emosi tadi." Marisa benar-benar merasa bersalah.

"Kamu ngomongnya di sebelahku, makanya aku tanya," balas Aksara dengan nada bicara yang tetap tenang.

"Aduh, maaf, Mas. Maaf banget. Saya ngomentari curhatan teman saya." Berusaha Marisa meyakinkan Aksara. Namun ia tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Dirinya dan Aksara baru saling mengenal, bukan saatnya menceritakan apa yang dialami.

"Oke. Kamu tak perlu pucat gitu. Harus ceria dong mau ketemu mantan yang nikah duluan." Bukannya marah, justru Aksara malah menggodanya. Membuat Marisa tersenyum getir. Teringat lagi luka hatinya.

Sepuluh hari berlalu, Marisa tenang tanpa adanya Daniel. Walaupun masih ada PR besar yang harus segera diselesaikan sepulangnya laki-laki itu dari luar pulau. Tapi ternyata pagi ini, Daniel mengirimkan pesan dan kembali menghilang.

Akhirnya mereka sampai di pelataran Hotel Mataram tempat resepsi pernikahan Dimas. Marisa turun dan langsung di dekati oleh Ari yang lebih dulu sampai. Gadis berisi itu memandang ke dalam mobil. "Kamu di antar Mas Aksara?" tanyanya lirih pada Marisa.

"Hu um. Nggak sengaja tadi."

Saat itu Aksara keluar dari mobil. "Mau kujemput jam berapa nanti?" tanya Aksara setelah menghampiri kedua gadis itu.

"Memangnya Mas cuman ngater doang? Nggak ikut masuk bersama kami?" tanya Ari.

"Nggak. Aku bukan undangan di sini."

Seketika timbul ide di kepala Ari. "Ikut saja, Mas. Ayolah, daripada nungguin di luar. Lagian kami nggak akan nungguin sampai acara selesai, kok. Iya, kan, Ris?"

Meski kaget dengan ide Ari, Marisa spontan langsung mengangguk. Walaupun sepersekian detik, benaknya penuh kecamuk. Pasti Dimas akan mengira kalau Aksara adalah gebetan barunya. Karena laki-laki itu tahu siapa pacarnya Ari. Pasti kecurigaan sang mantan akan langsung tertuju padanya.

"Boleh kan, Ris. Masa udah dianterin suruh nunggu di luar. Lagian baju Mas Aksara juga sopan. Ayolah, buruan masuk. Makin panas di sini." Pandai sekali Ari mencari cara agar mereka bisa bersama masuk ke ballroom hotel. Gadis dengan gaun warna tosca berbahan satin itu melangkah lebih dulu.

Aksara dan Marisa saling pandang. "Boleh?" tanya Aksara. "Aku ingin lihat mantanmu."

"Ya," jawab Marisa lirih.

Mereka akhirnya melangkah di belakang Ari. Untung saja Aksara tadi tidak jadi memakai kaos. Biasanya dia lebih suka memakai kaos disaat tidak ke kantor. Dia seperti sedang dituntun hari ini. Padahal tidak tahu sama sekali acara resepsi mantan kekasihnya Marisa. Tujuannya mengajak Marisa hanya untuk bertemu mamanya.

Pria yang memakai baju pengantin adat Jawa warna hitam itu tak berkedip memandang Marisa yang sangat cantik pagi itu dan berdiri di antrian tamu yang hendak menyalaminya. Dimas resah dan mulai bertanya-tanya tentang sosok pria tampan yang tampak akrab dengan Marisa. Bahkan mereka berjalan bersisihan dan sangat dekat.

Sang istri yang berdiri tepat disebelahnya juga merasa gusar dengan kedatangan mantan kekasih suaminya. Wanita yang sangat dicintai oleh Dimas.

Tak hanya kedua mempelai, orang tua Dimas juga kaget dengan kedatangan Marisa bersama seorang pria dan temannya.

Ari tersenyum puas melihat kegundahan sekaligus kecemburuan Dimas pada Marisa. Meski Aksara bukan pacar sahabatnya. Tapi dia berhasil membuat Dimas kelimpungan di atas pelaminan.

Orang tua Dimas menyalami Marisa yang naik ke pelaminan terlebih dulu. Kemudian menyalami Aksara dengan tatapan penuh tanda tanya. Mamanya Dimas menahan tangan Ari. "Laki-laki yang bersama kalian itu siapa? Pacarnya Marisa."

Tanpa mengiyakan, tapi anggukan kepala Ari cukup membuat orang tuanya Dimas bungkam.

Marisa menyalami Dimas sambil mengucapkan selamat pengantin baru. Suara gadis itu tenang tanpa getaran. Kehadiran Aksara membuatnya lebih percaya diri menatap lelaki yang pernah mengisi hari-harinya.

Tangan Marisa di genggam erat oleh Dimas. Dan baru dilepaskan saat Aksara menatapnya.

Istri Dimas memeluk Marisa. Mengucapkan terima kasih atas kedatangannya. Wanita berpakaian pengantin itu harus menunjukkan pada mantan kekasih suaminya, bahwa dia sangat bahagia. Walaupun hatinya dipenuhi kecemburuan sekaligus kekaguman. Setelah putus dari Dimas, ternyata Marisa mendapatkan ganti pria yang sangat rupawan.

Mereka bertiga turun dari pelaminan. Salah seorang dari sekian pemuda yang berseragam mempersilakan untuk mencicipi hidangan. Namun Aksara menolak. Dia hanya menemani Marisa. Tak pantas makan di sana karena sebenarnya dia bukan tamu undangan.

Dikarenakan Aksara menolak makan, akhirnya Marisa dan Ari pun mengajak pria itu keluar. Dua gadis itu tidak mau diajak Aksara makan di restoran hotel. "Nggak usah aku masih kenyang, Mas," tolak Marisa. Sebab ia lebih baik segera meninggalkan tempat yang menyesakkan itu.

"Aku juga belum lapar," kata Ari.

"Oke. Jadi kita pergi sekarang?"

"Ya," jawab Marisa dan Ari hampir bersamaan.

Aksara mengajak dua gadis itu pergi ke expo. Meski berpakaian ala menghadiri hajatan, Marisa dan Ari tidak peduli. Mereka bertiga santai melihat sebuah perusahaan yang memamerkan demonstrasi produk layanan baru mereka. Sekaligus bisa mempelajari cara mereka bersaing dan mengikuti tren dalam dunia usaha dan kesempatan baru.

"Kamu tadi ngapain bilang kalau Mas Aksara pacarku?" protes Marisa lirih agar tidak terdengar oleh Aksara yang berbincang dengan salah seorang demonstran produk.

"Memangnya kamu nggak mau punya pacar kayak Mas Aksa?"

"Bukan begitu. Aku lebih malu lagi kalau mereka tahu kenyataannya kami nggak ada hubungan apa-apa."

"Semoga kata-kataku tadi diijabah oleh Allah. Aamiin," jawab Ari kemudian meninggalkan Marisa untuk mendekati etalase yang memajang produk telepon seluler keluaran terbaru.

Marisa mematung sejenak. Mencerna ucapan sahabatnya. Tentu saja dia tidak akan menolak mendapatkan pria seperti Aksara. Laki-laki yang disadari oleh Marisa, telah sanggup menggeser posisi Dimas dalam benaknya.

Hari beranjak siang. Aksara mengajak dua gadis itu makan di stand makanan yang ada di sana. Setelah itu mengantarkan Ari pulang ke rumahnya.

"Kamu ikut aku mampir ke rumah sebentar, ya. Baru kuantar kamu pulang," kata Aksara setelah beberapa saat meninggalkan rumah Ari.

"Ya, nggak apa-apa," jawab Marisa tanpa curiga sama sekali.

Saat sampai di rumah, ternyata Bu Arum sedang salat zhuhur. Aksara mempersilakan Marisa duduk di ruang tamu. Sedangkan dia sendiri masuk kamar untuk berganti kaos.

Tidak lama kemudian Mbak Siti keluar sambil membawakan minum yang diminta oleh Aksara. Wanita itu menyapa ramah pada Marisa sambil menyuguhkan minum. Namun ketika hendak pergi, ada tamu yang mengucapkan salam. Tergesa Mbak Siti menghampiri. "Ada apa, Mbak Ima?" tanya wanita itu pada seorang gadis yang membawa bungkusan. Dia seorang asisten rumah tangganya Pak Abdul.

"Saya disuruh Mbak Hafsah untuk mengantarkan ini pada Mas Aksara dan Bu Arum. Mbak Hafsah baru saja pulang piknik dari Jogja kemarin."

"Oh, iya. Terima kasih, Mbak Ima."

"Sama-sama. Saya pamit dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Saat itu hati Marisa berdegup kencang. Hafsah. Dia ingat gadis yang ditemui waktu ia mengantarkan kue di rumah ini dipanggil Hafsah oleh Aksara. Apa mereka memiliki hubungan? Lantas kenapa Aksara pergi ke expo malah mengajak dirinya? Bahkan dia diajak pula mampir ke rumahnya.

Marisa memperhatikan Mbak Siti yang melihat isi kotak besar yang tembus pandang sisi atasnya. Tapi Marisa tidak tahu entah apa isinya.

"Mbak, monggo diminum es tehnya." Mbak Siti mempersilakan Marisa.

"Iya, Mbak. Makasih, ya."

"Saya mau ngasih ini ke Mas Aksara dulu."

"Dari saudara ya, Mbak?"

"Bukan. Dari calon tunangannya Mas Aksa," jawab Mbak Siti polos. Dipikir Mbak Siti, Marisa hanya kenalan biasa bagi Aksara. Sebab dia hanya gadis yang mengantarkan kue waktu itu. Selama ini majikannya juga tidak pernah membahas gadis lain selain Hafsah

* * *

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Satria Henry
owalah mulut siti agak maju fikit
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
dasar mulut pembantu lemes bgtttt sok tauuuu atuh
goodnovel comment avatar
Inayati Bachrat
pancen Sitii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 157 Anniversary 2

    Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 156 Anniversary 1

    Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 155 Masa Depan 2

    "Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 154 Masa Depan 1

    Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 153 Merajut Asa 2

    Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam

  • Di Antara Dua Pilihan    Part 152 Merajut Asa 1

    Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status