📖 **BAB 3 “T-Rex Kecil dan Sang Ayam Kampung”****Part 1: “Didikan Biksu Taji Kun”****Ringkasan:**Aaron menjalani masa pelatihan di bawah pengawasan Biksu Taji Kun — seorang guru keras yang tidak percaya pada kasih sayang. Latihannya brutal, tapi efektif. Aaron mulai menyadari bahwa dia **bukan seperti murid lain.**---> *Embun turun dengan lambat di Tebing Timur. Seolah waktu enggan menyentuh tempat itu terlalu cepat — seperti takut membangunkan sesuatu.*---Anak-anak di kamp kultivasi bangun sebelum fajar. Tapi **tidak dengan alarm, atau gong, atau suara pelatih.**Mereka bangun karena… bau.**Bau darah.**Setiap pagi, **Biksu Taji Kun** menyiapkan satu baskom penuh darah babi hutan yang dicampur bunga busuk dan cairan Spirit Beast mati. Ia menyiramkannya ke tengah pelataran batu. Lalu berkata:> “Yang tidak tahan aroma kematian, tidak layak belajar
**BAB 2 — “Dua Bayi dan Kutukan Gunung Lompoa”****Part 1: “Nyanyian di Bawah Batu Darah”****Ringkasan:**Ilham dibesarkan oleh Nyai Rayatri di desa rahasia. Lingkungan spiritual dan mistik membentuk naluri awalnya. Seekor kucing hitam misterius mulai mendekatinya — lalu berbicara dalam mimpi.> *Langit baru saja selesai menangis. Kabut turun, menempel di ilalang seperti kutukan yang belum yakin ingin singgah.*Di bawah batu darah — sebuah bongkahan granit kemerahan yang terbelah dua oleh petir seribu tahun lalu — seorang bayi menangis pelan. Tidak seperti tangis bayi biasa. Tangis itu… **bergaung.**Melingkar tiga kali sebelum lenyap. Seperti suara ayam jantan yang menolak fajar.Nyai Rayatri mendekat dengan langkah berat. Wanita tua itu membawa sepiring tanah liat, secangkir air sumur buta, dan sehelai kain kuning yang sudah pudar seperti ingatan masa mudanya.> “S
**BAB 1: ASAL DARAH YANG TERBELAH** **Part 1: "Taman Roh yang Terlarang"****Ringkasan:** Pembukaan di dimensi roh sebelum waktu manusia. Pengenalan Roh Penjaga Hutan (ayah) dan atmosfer dunia roh.**Part 1: "Taman Roh yang Terlarang"**> *Langit tak berwarna. Tanahnya bukan debu, bukan tanah, tapi gema dari sesuatu yang pernah hidup. Tidak ada waktu. Tidak ada matahari. Hanya diam. Tapi di dalam diam itu—roh—bernafas.*Taman Roh itu tidak tumbuh dari akar, melainkan dari ingatan para leluhur yang tidak pernah disebut dalam doa. Pepohonan di sana tidak menyerap cahaya, karena cahaya tidak pernah datang. Mereka menyerap isyarat: desah napas, lenguh sunyi, dan desir niat yang belum selesai.Di tengah-tengah taman itu, berdiri satu makhluk: **Roh Penjaga Hutan Pati**.Ia tidak punya wajah, hanya kepala berbentuk topeng kayu tua, terbelah sedikit di dahi seperti disayat angin. Tubuhnya panjang dan melengkung seperti akar beringin, dan ketika ia bergerak, bumi roh memantul pelan, seperti
Azan dan Zahra bersiap dengan keyakinan yang besar, bersandar pada semua pelajaran yang telah mereka terima dari Ustadz Abdullah, orang tua mereka, dan juga pengalaman latihan keras di padepokan. Sebelum keberangkatan mereka, di hadapan orang tua dan semua yang hadir di padepokan, Azan dan Zahra mengulurkan tangan, masing-masing melafalkan doa perlindungan dan kekuatan yang pernah diberikan oleh Ustadz Abdullah dan semua wali gaib yang mengawasi mereka.Azan memandang wajah-wajah penuh kasih di sekelilingnya, terutama pada Aaron dan Aisyah, yang terlihat campur aduk antara haru dan bangga. "Ayah, Ibu, semua… ini bukanlah perpisahan. Kami hanya melanjutkan perjalanan yang sudah Ayah dan Ibu mulai," kata Azan dengan nada tegas.Aaron tersenyum dan memegang bahu Azan dengan erat. “Anakku, kekuatan bukan hanya soal apa yang bisa kau lakukan. Kekuasaan terbesar adalah menjaga keseimbangan dan kebijaksanaan dalam setiap langkah. Ingatlah itu.”Zahra
Setelah pertempuran besar yang mereka menangkan di dalam kuil, Azan dan Zahra akhirnya melangkah keluar dengan sisa-sisa kekuatan yang masih terasa di sekitar mereka. Hembusan angin malam berhembus pelan, seolah mengucapkan selamat kepada mereka atas kemenangan yang telah mereka raih. Tetapi di sisi lain, ada keheningan yang tidak biasa di sekitar, yang membuat mereka merasa ada sesuatu yang tidak selesai.Zahra menyeka peluh di dahinya, lalu memandang kakaknya dengan cemas. “Kak, meskipun kita berhasil mengalahkan sosok itu, aku merasa bahwa ini bukanlah akhir dari semuanya.”Azan terdiam sesaat, memandang ke arah kuil yang semakin suram di belakang mereka. "Aku merasakan hal yang sama. Energi kegelapan yang selama ini kita rasakan masih ada di dunia ini, meskipun sosok itu telah hancur. Ada yang lebih besar lagi di balik semua ini, dan kita harus siap menghadapi apa pun yang datang.”Dengan tekad yang semakin kuat, mereka melanjutkan perjalan
Ketika Azan dan Zahra keluar dari gua, mereka disambut dengan ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Energi yang sebelumnya bergejolak di sekitar pegunungan itu kini berangsur damai, dan suara angin yang mengalun membawa bisikan ketenangan yang hampir magis. Keduanya duduk di tepi tebing, menikmati pemandangan hamparan hijau yang luas di bawah mereka.“Rasanya seperti beban besar baru saja diangkat dari bahu kita,” kata Zahra sambil memandang jauh ke cakrawala.Azan tersenyum, menoleh pada adiknya yang tampak tenang. “Kau benar, Zahra. Tapi perjalanan kita belum selesai. Kita masih punya banyak tanggung jawab dan janji untuk menegakkan keseimbangan di dunia ini.”Zahra menatap kakaknya dengan penuh kesungguhan. “Aku siap, Kak. Apa pun yang terjadi, kita akan melakukannya bersama-sama.”Mereka beristirahat sebentar, lalu mulai menuruni gunung untuk melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan, mereka mendap