LOGINPada suatu sore yang tenang, ketika gadis itu sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang lebih baik, ayah gadis itu memutuskan untuk memperkenalkan dirinya dan putrinya secara resmi kepada Aaron dan ILHAM. Mereka berkumpul di ruang tamu, dengan secangkir teh hangat di atas meja.
"Aaron, ILHAM. Aku melupakan sesuatu, Namaku Hendra Wijaya dan anakku Bernama Widya Ningsih" kata pak wijaya dengan senyum tipisnya,
Aaron dan ILHAM ikut senyum sambil mengangguk menunduk menandakan iya.
Beberapa hari setelah kejadian mencekam yang menimpa keluarga Hendra Wijaya, suasana di rumah itu mulai kembali tenang. Aaron dan ILHAM, yang sejak awal terlibat dalam penyelamatan Widya Ningsih dari belenggu pesugihan, terus tinggal di rumah tersebut. Mereka memastikan bahwa Widya benar-benar pulih dari trauma fisik dan mental yang ia alami. Setiap hari, mereka membantu Hendra dalam merawat putrinya, dengan perasaan tanggung jawab yang besar.
Hendra memulai percakapan dengan suara lembut namun penuh ketulusan. "Aaron, ILHAM, aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi atas semua yang telah kalian lakukan untuk keluarga kami. Kalian berdua telah menjadi pahlawan yang menyelamatkan hidup kami. Aku merasa sangat beruntung bisa mengenal kalian."
Aaron, dengan senyum tenang, menanggapi, "Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan, Pak Hendra. Kami senang bisa membantu."
Hendra tersenyum dan melanjutkan, "Aku juga ingin kalian tahu siapa kami sebenarnya. Namaku Hendra Wijaya, dan ini adalah putriku, Widya Ningsih. Kami telah melalui banyak hal, tapi dengan bantuan kalian, kami bisa melihat harapan baru."
Widya, yang duduk di samping ayahnya, tersenyum malu-malu namun penuh rasa terima kasih. "Terima kasih banyak, Kak Aaron, Kak ILHAM. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau kalian tidak datang. Kalian seperti kakak bagiku."
ILHAM, yang biasanya pendiam, merasa terharu mendengar kata-kata Widya. "Kami juga merasa seperti keluarga di sini. Kamu kuat, Widya. Semua ini akan segera berakhir, dan kamu akan kembali menjalani hidup yang normal."
Selama beberapa hari berikutnya, Aaron dan ILHAM terus tinggal di rumah keluarga Hendra Wijaya, membantu mengobati Widya hingga kondisinya benar-benar pulih. Perlahan, Widya mulai kembali tersenyum dan berbicara dengan lebih ceria, tanda bahwa kekuatan hidupnya mulai kembali. Mereka juga mengajarkan Hendra dan Widya beberapa doa dan amalan untuk perlindungan diri, agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Namun, di tengah kebahagiaan yang perlahan kembali, tersiar kabar mengejutkan dari luar. Budi Santoso, pria yang telah menjadi dalang di balik semua kekejian ini, ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya hangus terbakar, dan seluruh harta bendanya habis dilalap api dalam kebakaran misterius yang terjadi pada malam sebelumnya. Kebakaran itu begitu dahsyat sehingga tidak ada yang bisa diselamatkan, meninggalkan hanya abu dan sisa-sisa bangunan.
Hendra, yang mendengar kabar ini dari salah satu kenalannya, merasa terguncang. Budi Santoso, yang pernah ia anggap sebagai keluarga, telah menemui akhir yang tragis. Meski begitu, dalam hatinya, Hendra merasa bahwa ini adalah bentuk keadilan yang aneh, akibat dari jalan sesat yang telah dipilih Budi.
Ketika Hendra memberitahu Aaron dan ILHAM tentang kabar tersebut, mereka hanya bisa terdiam. Keduanya memahami bahwa kejadian ini adalah hasil dari kesepakatan gelap yang dilakukan Budi Santoso dengan entitas jahat. Pesugihan memang menawarkan kekuatan dan kekayaan, tetapi selalu ada harga yang harus dibayar, dan kadang-kadang harganya adalah nyawa itu sendiri.
Hari demi hari berlalu, dan kondisi Widya semakin membaik. Keluarga itu mulai pulih dari trauma yang mereka alami, meskipun bayangan masa lalu masih menghantui mereka. Namun, dengan dukungan Aaron dan ILHAM, mereka mampu berdiri kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Ketika Widya akhirnya dinyatakan sembuh sepenuhnya, Aaron dan ILHAM tahu bahwa saatnya telah tiba untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka harus melaporkan semua yang telah terjadi kepada guru mereka, Ustadz Abdullah, yang telah memberikan mereka banyak bimbingan dan ilmu.
Sebelum mereka berangkat, Hendra Wijaya mengundang mereka untuk duduk bersama sekali lagi. Wajahnya penuh rasa hormat dan kasih sayang ketika ia berbicara kepada dua pemuda yang telah menyelamatkan hidup putrinya.
"Aaron, ILHAM," katanya dengan suara penuh emosi, "Kalian telah menjadi seperti anak-anak bagiku. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan rasa terima kasihku yang mendalam. Kalian telah memberikan kehidupan baru bagi Widya, dan juga bagi diriku. Aku ingin kalian tahu bahwa rumah ini akan selalu terbuka untuk kalian. Kapan pun kalian butuh tempat untuk beristirahat, atau hanya ingin mengunjungi kami, kalian akan selalu diterima di sini."
Aaron merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata itu. "Terima kasih, Pak Hendra. Kami merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Kami pasti akan kembali suatu hari nanti."
ILHAM, yang juga terharu, mengangguk setuju. "Kami tidak akan melupakan kalian. Dan kami akan selalu siap membantu kapan pun kalian membutuhkan kami."
Widya, yang berdiri di samping ayahnya, memeluk Aaron dan ILHAM secara bergantian. "Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kalian lakukan untukku. Kalian berdua adalah kakak yang selalu aku impikan."
Setelah perpisahan yang hangat, Aaron dan ILHAM akhirnya meninggalkan rumah itu dengan hati yang lega. Mereka tahu bahwa tugas mereka belum selesai, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk keluarga itu. Mereka berjalan menuju tempat guru mereka, siap untuk melaporkan semua yang telah terjadi dan menerima arahan selanjutnya.
Meskipun mereka meninggalkan rumah Hendra Wijaya, hati mereka tetap terikat dengan keluarga itu. Aaron dan ILHAM tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, dengan ilmu dan keberanian yang mereka miliki, mereka siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Dan meskipun mereka terus melangkah maju, mereka selalu ingat bahwa di suatu tempat di Makassar, ada sebuah rumah yang selalu terbuka untuk mereka, tempat di mana mereka selalu dianggap sebagai keluarga.
BAB 59: Ilham Melawan Saudaranya Part 1 — Awal Konflik SaudaraAngin lembut berhembus di atas puncak sarang yang baru tenang. Cahaya lembayung menari di antara bayangan yang kini damai, seolah memberi selamat atas berakhirnya perang saudara sebelumnya. Namun, di balik kedamaian yang tampak, Ilham merasakan getaran aneh. Sebuah energi familiar namun berbeda, seperti gema dari masa lalu yang menolak menyerah.Ilham berdiri di tepi inti pusat, memandang ke arah lembah energi yang bersinar lembut. Tiba-tiba, bayangan gelap muncul, menyatu dengan cahaya, tetapi bergerak dengan ritme yang asing. Ada aura yang mengingatkannya pada masa kecil, pada saudara yang pernah ia kenal, tetapi kini berbeda.“Ilham…” suara itu terdengar samar, seperti bayangan yang mencoba berbisik melalui ruang dan waktu.Ilham menatap tajam. Energi itu terasa seperti separuh dari dirinya sendiri, namun diwarnai kemarahan dan kebingungan yang intens. Ia menyadari, dengan perasaan cam
BAB 58: Aaron Menjadi Raja KelabangPart 1 — Awal Takhta dan Gelombang PertamaSetelah kedamaian yang perlahan menyejukkan sarang, Aaron berdiri di atas puncak menara pusat, menyaksikan gelombang cahaya lembayung dan bayangan yang kini menari harmonis di seluruh sarang. Atmosfer terasa berat sekaligus ringan; energi yang dulu liar kini tersaring menjadi aliran yang jelas, menuntun setiap makhluk dan setiap bayangan menuju keseimbangan. Ia bisa merasakan setiap denyut kehidupan, bukan hanya fisik, tapi metafisik—jiwa sarang seakan bernapas bersama dirinya.Aaron memejamkan mata sejenak, membiarkan energi baru itu meresap ke dalam dirinya. Ia merasakan sensasi yang asing namun familiar—perpaduan antara kekuatan primitif T-Rex yang pernah ia warisi dan kesadaran yang kini berkembang dari bayangan-bayangan yang diterima. Ini bukan hanya kekuatan fisik, tetapi energi kosmik yang beresonansi dengan jiwa seluruh sarang.“Sekarang, ini tangg
BAB 57: Perang Saudara di SarangPart 1 — Bayangan yang Berbagi RahasiaSarang Kelabang terbentang luas di bawah permukaan bumi, jaringan lorong dan ruang yang berkilau lembayung oleh cahaya organik yang terpancar dari dinding-dinding yang hidup. Setiap lekuk, setiap pori, berdenyut seolah makhluk itu sendiri bernapas. Udara di dalam sarang kental, bercampur aroma tanah basah, resin purba, dan sesuatu yang asing tapi memikat; energi yang bergetar seiring denyut hati makhluk-makhluk yang menghuni tempat ini.Aaron berdiri di pintu masuk salah satu lorong utama, menatap gelap yang mengular seperti sungai berkelok. Ilham ada di sisinya, matanya yang kini mampu menembus bayangan, menyapu setiap sudut, menyingkap rahasia yang tersembunyi dalam gelap. Bayangan-bayangan yang dulu menakutkan kini tampak lebih jinak, berbaur dengan cahaya lembayung, tapi tetap memancarkan peringatan: ada sesuatu yang sedang bergerak di balik kegelapan.“Kau merasakannya
BAB 56: Kebangkitan Lelana sebagai KelabangPart 1 — Getaran Pertama Kelahiran BaruSarang bawah tanah bergetar lembut, seakan dunia itu sendiri menahan napas. Setiap dinding batu yang pekat, setiap terowongan sempit, bergetar bersama dengan denyut energi yang baru terbentuk. Di tengah ruang utama, tubuh Lelana yang pernah fana terbaring diam, tapi kini cahaya lembayung mulai merembes melalui celah-celah sisik yang mengeras, menciptakan pola iridesen yang menakjubkan. Cahaya itu berdenyut, berkoordinasi dengan napas bumi, dan menghasilkan resonansi yang bisa dirasakan hingga ke dalam tulang Aaron dan Ilham.Aaron menatap dengan mata terbuka lebar, dada berdebar tidak hanya karena kekaguman, tapi juga karena rasa takut dan harapan bercampur. Energi yang terpancar dari Lelana berbeda dari apapun yang pernah mereka alami — bukan sekadar kekuatan fisik atau spiritual, tetapi kombinasi dari kesadaran purba, ingatan yang hilang, dan rasa empati yang mendalam
BAB 55: Kematian Lelana yang PertamaPart 1 — Bayangan yang Tak Mau MatiLangit sore menggantung bagai kain lembut yang basah oleh cahaya terakhir. Di tepi dataran yang dulu menjadi medan pertempuran Kelabang, kini hanya tersisa batu-batu hitam dan sisa kabut yang berbau logam. Aaron berdiri di sana dengan tangan bergetar, sementara Ilham berlutut di tanah, memeluk tubuh Lelana yang nyaris tanpa napas.Dunia sedang tenang — tapi terlalu tenang. Seolah setiap roh, setiap daun, bahkan udara menahan diri untuk tidak bergetar. Lelana terbaring dalam pelukan Ilham, wajahnya pucat, bibirnya masih menyisakan senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan semacam penerimaan halus terhadap sesuatu yang tak bisa ia ubah.“Dia… belum pergi,” bisik Aaron pelan, nyaris tanpa suara.“Aku tahu,” jawab Ilham. Suaranya retak, seperti kaca yang digores kuku. “Tapi jiwanya sudah tidak di sini.”Udara di sekitar
BAB 54: “Jagat yang Belajar Bernapas”BAB 54 — Part 1: Denyut Pertama Dunia BaruHening itu bukan sekadar ketiadaan suara — ia adalah napas pertama sebuah dunia.Setelah Putusan Jagat dilafalkan, waktu berhenti bukan karena kehabisan tenaga, melainkan karena sedang menata ulang arti keberadaannya. Di antara reruntuhan cahaya dan puing-puing realitas yang menguap seperti debu bintang, Aaron dan Ilham berdiri — bukan sebagai manusia, bukan pula sebagai anomali. Mereka adalah saksi dari sesuatu yang baru saja lahir.Tanah di bawah kaki mereka terasa lembut, seolah baru saja diukir dari doa-doa yang belum selesai. Warna-warna melayang di udara, bukan sebagai cahaya, tapi sebagai perasaan. Setiap nuansa biru menenangkan, setiap semburat jingga membawa rasa hangat yang belum pernah ada sebelumnya. Angin berhembus seperti tangan dunia yang ragu menyentuh kulit mereka — lembut, gugup, seperti bayi yang baru mengenal ibunya.







