Gedung itu tampak seperti istana. Dinding kaca setinggi tiga lantai memantulkan cahaya matahari pagi dengan megah. Di halaman depan, anak-anak berseragam rapi menyanyi lagu nasional, dipandu oleh seorang wanita muda berkerudung yang penuh semangat.“Yayasan Kirana Mahesa untuk Anak Negeri” — demikian tulisan yang tertulis di lengkungan gerbang.Nayla berdiri beberapa meter dari sana, memakai identitas barunya: Ratna Wulandari, lulusan psikologi yang datang sebagai relawan. Di sampingnya, Dira menyamar sebagai admin keuangan, dan Intan sebagai petugas kebersihan. Raka tidak menyusup, tapi tetap mengawasi dari mobil van putih di kejauhan, berperan sebagai sopir tim medis dari Dinas Sosial.“Siap?” tanya Dira lirih.Nayla mengangguk. “Kita mulai dari dalam.”⸻Hari-hari pertama mereka digunakan untuk mengamati.Nayla diberi tugas di ruang konseling, membantu mendampingi anak-anak korban kekerasan jalanan. Di ruang itu, dindingnya dihiasi gambar pelangi, kutipan-kutipan semangat, dan bone
Di bawah langit pagi yang kelabu, Nayla membuka buku catatan yang diberikan Intan malam sebelumnya. Halaman demi halaman dipenuhi tulisan tangan rapi namun penuh tekanan: catatan transaksi, nama-nama pelanggan, alur transfer, dan kode-kode dalam bentuk inisial.Namun ada satu inisial yang muncul berulang kali, di setiap bagian penting.K.Huruf itu muncul di awal daftar transfer tahun-tahun awal, di kolom pengirim, dan pada memo yang ditulis dengan singkatan kata-kata asing yang hanya bisa dimengerti oleh orang dalam.K.Kirim ke N4.K tidak mau korban cacat.K minta 3 anak minggu depan.Setiap kalimat adalah serpihan luka. Dan Nayla tahu, itu bukan hanya simbol. Itu adalah identitas.“Dia bukan hanya pemodal. Dia akar. Orang yang pertama menjual kita, bahkan mungkin membentuk jaringan ini sejak awal,” ujar Intan, duduk di sampingnya dengan tatapan kosong.“Kenapa kau yakin K masih hidup?” tanya Nayla, meski hatinya sebenarnya tahu jawabannya.“Karena aku pernah melihatnya… tiga tahun
“Kurasa… aku memang mengenalmu sejak awal.”Suara Daniel terdengar seperti bisikan iblis yang menunggu waktu tepat untuk keluar dari persembunyian. Pisau kecil di tangannya berkilat, tapi jauh lebih menakutkan adalah tatapan matanya—penuh kekuasaan, penuh keyakinan bahwa ia takkan bisa disentuh hukum.Nayla berdiri di depan Aluna, tubuhnya kaku tapi matanya tidak gentar.“Apa yang kau ingat dariku?” tanya Nayla perlahan.Daniel tertawa pelan. “Kau… bocah kecil di kamar nomor empat, bukan? Yang berusaha kabur tiga kali. Yang menggigit tangan pelanggan sampai berdarah. Aku tak pernah lupa semangat macam itu.”Seketika dunia di sekitar Nayla berguncang. Ia tidak mengira, tidak pernah membayangkan, bahwa Daniel adalah pelanggan lama dari tempat gelap tempat ia dulu disekap.Tapi sekarang, mereka bertukar posisi.Nayla bukan lagi anak kecil tak berdaya.Dan Daniel… tak tahu bahwa waktu telah membuat lawannya tumbuh menjadi senjata.⸻Dira bergerak cepat, mencoba memanggil Raka lewat radio
Pagi itu, Vila Aruna berdiri megah di antara kabut tipis. Bangunan tiga lantai itu berarsitektur kolonial dengan gerbang besi hitam berukir bunga mawar.Tapi yang mekar di dalamnya bukanlah keindahan.Melainkan jebakan.Raka dan Nayla kembali ke vila, kali ini menyamar sebagai investor potensial yang tertarik membuka “resort kreatif” di Seruni. Mereka membuat janji dengan pemilik resmi vila—pria paruh baya bernama Mr. Daniel Arsyad—salah satu tokoh sosial terkemuka di kota itu.Daniel tampak bersahaja. Senyumnya ramah, bajunya sederhana. Tapi tatapan matanya terlalu tajam untuk ukuran tuan rumah biasa.Dan saat ia menatap Nayla, ada jeda. Sebentar. Tapi cukup panjang untuk membuat bulu kuduk Nayla meremang.“Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Daniel perlahan.Nayla berusaha tersenyum. “Mungkin hanya di televisi, Pak. Saya dari Jakarta.”Daniel hanya mengangguk. Tapi Nadanya menggantung: “Ya… mungkin begitu.”⸻Saat mereka dibawa keliling vila, Nayla melihat kamar-kamar kecil di la
Kota Seruni bukan kota besar, tapi denyut malamnya hidup dari hal-hal yang tersembunyi.Dibalik kafe-kafe kecil dan tempat karaoke berlampu temaram, tersimpan banyak nama yang tidak pernah terdata di catatan sipil—terutama nama anak-anak perempuan. Dan salah satunya adalah Aluna.Nayla dan Raka tiba saat senja mulai merambat. Mereka tidak datang sebagai “aktivis”, tapi menyamar sebagai pasangan yang sedang meneliti sistem penampungan anak di wilayah pinggiran. Bersama mereka, seorang teman lama Raka yang kini bekerja sebagai jurnalis investigasi diam-diam ikut menyusuri jejak.⸻Petunjuk pertama datang dari sebuah warung kopi tua yang terletak di gang sempit.Pemiliknya, seorang nenek bernama Bu Lestari, awalnya enggan bicara. Tapi saat Nayla menyebut nama Aluna, matanya berubah.“Aluna… anak kecil yang dulu pernah dibawa sama lelaki tinggi itu? Mata gadis itu penuh ketakutan. Tapi… ia pernah meninggalkan ini.”Nenek itu menyerahkan sebuah buku lusuh, halaman depannya sudah sobek. Tap
Langit sore menggantung kelabu saat sebuah email masuk ke kotak surat Rumah Luka. Isinya hanya satu kalimat:“Kalau kau masih mengingat lantai dingin tempat kita tidur berdua, maka kau tahu aku tak pernah benar-benar pergi.”Tak ada nama. Tak ada subjek.Tapi Nayla tahu siapa pengirimnya.Intan.Anak perempuan yang dulu ia temui di tempat gelap itu, saat mereka masih remaja. Yang selalu menggenggam anting kecil bertuliskan huruf “I”. Yang bersumpah tidak akan mati seperti anak-anak lain yang mereka lihat membeku di lantai toilet atau hilang di kamar pelanggan tanpa kembali.Tujuh tahun lalu, Intan dikabarkan tewas saat penggerebekan. Tapi jasadnya tidak pernah ditemukan.Dan kini, ia kembali—dalam bayangan, dalam surat, dan mungkin dalam tubuh perempuan yang mengintai dari kejauhan.⸻Raka menatap Nayla, matanya penuh tanya.“Kau yakin ini dia?”“Aku tahu cara Intan menulis. Ia punya kebiasaan menyisipkan kenangan dalam kalimat, seperti cara dia menyelipkan catatan kecil di bawah kasu