Sementara itu, di lain tempat, Dina sedang sibuk mengerjakan pesanan Custom Cake dari beberapa pelanggan setianya. Dengan mengenakan celemek berwarna cokelat muda, wanita bertubuh ramping dengan surai berwarna cokelat tua itu mengoleskan mentega putih pada adonan kue yang baru saja mendingin.
Di saat mentega putih yang dioleskannya sudah hampir menutupi setengah dari adonan kue, ponselnya berdering. Secara perlahan, Dina menjeda kegiatannya, membersihkan kedua tangannya dengan serbet, dan mulai menjawab panggilan telepon yang masuk. "Iya, Mas Reza?" Dina menanggapi begitu mendengar suara bass milik suaminya yang sangat familiar. "Kamu nanti sore atau malam, ada acara engga?" Reza langsung bertanya guna memastikan jika jadwal istrinya kosong dan rencananya bisa berjalan dengan lancar, seperti yang diharapkannya. "Kayanya engga deh. Ada apa sih, Mas? Tumbenan kamu telepon menjelang sore begini." Dina masih merasa penasaran dengan maksud dari suaminya yang mendadak menelepon. "Aku pengen ajak kamu makan malam nanti. Ada restoran steak baru nih. Kamu mau 'kan?" Reza langsung menyatakan niatnya meski terkesan mendadak dan impulsif "Boleh. Kita berangkat jam berapa memang?" Dina menelisik pandang melalui jendela yang ada di dapurnya sesekali sambil memegangi ponsel dengan tangan kanannya. "Mungkin, sekitar jam enam lebih sedikit." Reza menanggapi dengan air muka gusar sambil mengacak rambutnya pelan. "Oke, jam enaman ya. Palingan, aku dua jam lagi udah selesai buat pesanan custom cake. See you later, Mas." Dina memungkas obrolan singkat itu dengan senyum simpul dan perasaannya yang sedikit campur aduk. -**- Di kala waktu sudah menunjukkan pukul 17.10, mobil milik Reza baru saja mendarat di atas carpot. Dalam hitungan detik, pengusaha sukses itu melangkah memasuki rumah dan mendapati sang istri yang sudah berganti pakaian dengan polesan make up minimalis yang terlihat natural. "Duh, maaf ya, aku baru pulang. Tadi jalanannya macet," ucap Reza sembari melepas kaos kaki yang melekat pada kedua kakinya satu per satu. "Iya, engga apa-apa, Mas. Kamu mandi dulu gih. Kita berangkat telatan juga engga masalah 'kan." Dina melangkah pelan dengan setelan jump suit berwarna hijau muda yang feminine dan elegan, menampilkan potongan tubuhnya yang ramping dan proporsional. "Bentar ya, Din." Reza melangkah dengan terburu-buru sembari menaiki tangga usai berpamitan dengan sang istri. Di saat suaminya sedang sibuk membersihkan diri dan bersiap, Dina pun teringat dengan kotak bekal yang dibawa oleh sang suami. "Oh iya," ujarnya sembari melangkah menuju ruang santai dan mulai meraih tas kerja milik lelakinya yang berukuran sedang. Namun, di kala dirinya sedang sibuk mencari keberadaan kotak bekal, Dina justru hanya menemukan tumpukan dokumen dan sebuah liptint dengan rasa raspberry. Ketika itu lah, ia mulai berasumsi, "Ini Liptint perempuan kok bisa ada di tasnya Mas Reza? Engga mungkin banget suamiku pakai liptint raspberry kaya gini. Atau mungkin punya teman kantornya kebawa ya?" Setelah berasumsi sejenak, Dina kembali mencari keberadaan kotak bekal yang memang tak ada di tas kerja suaminya itu. "Hmm, mungkin ketinggalan di ruang kerjanya," gumamnya pelan. Sekitar kurang dari lima menit, ketika Dina sudah selesai mencuci peralatan untuk menghias kue di dapur, Reza yang sudah berganti pakaian dengan setelan batik modern berwarna cokelat dengan motif yang didominasi warna emas dan hitam menegnakan jam tangan dan tersenyum pada Dina. "Udah selesai? Jalan sekarang yuk!" Reza mengulas senyum manis saat mengajak Dina yang sedang meraih tas jinjing di ruang santai. "Yuk!" Dina mengangguk dan mulai mengapitkan tangannya pada lengan kanan suaminya. Sekitar dua menit setelahnya, mereka telah berada di mobil yang kini masih menelusuri jalanan di area perumahan yang mereka tinggali. Di kala mobil pajero tersebut sudah keluar melewati pintu gerbang, pasangan suami-istri yang selalu terlihat mesra di luar itu mulai bertukar kata dengan aneka topik random. "Gimana hari ini di kantor? sibuk banget ya pasti." Dina berbasa-basi sembari menatap wajah suaminya dari samping. "Yah, tiap hari juga capek, Din." Reza menanggapi dengan senyum kecil sembari menatap wajah kecil istrinya yang juga mengumbar senyum sumringah. "Tadi nasi uduk yang aku bawain buat kamu enak engga?" Dina kembali berbasa-basi, sekaligus ingin mengetahui opini pribadi dari suaminya mengenai menu masakan khas nusantara yang baru saja dikuasainya itu. Reza yang teringat akan kotak bekal miliknya terdiam sesaat. Ada rasa panik sekaligus khawatir karena ia sadar bila kotak bekal itu masih ada di tangan salah satu pekerjanya, Handi. "E-ehm, enak kok. Ayam gorengnya juga berasa banget. kamu makin jago masak deh, yang," ucap Reza dengan nada canggung. "Apa? ayam goreng katanya? Padahal, aku engga merasa buatin dia ayam goreng buat bekal ke kantor. Mas, kamu ini melamun atau kecapekan sih?" Dina berujar dalam batinnya dengan sorot mata penuh tanya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan informasi yang terdengar tak sesuai dengan kenyataan yang masih segar dalam ingatan. TO BE CONTINUED..Dua tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2026, Reza bersama dengan Naffa dan juga Armand sedang berakhir pekan di salah satu restoran di Malang yang cukup terkenal. Sembari duduk di meja VIP, Armand dengan tubuh mungilnya duduk seraya tersenyum senang saat melihat makanan penutup yang dipesan oleh sang mama datang. "Senang ya? es krimnya banyak," ucap Reza sambil mencolek hidung mungil milik putranya itu. Armand yang ditanya seperti itu oleh sang papa hanya bergumam dan menorehkan senyum riang. Di saat yang sama, Naffa berujar, "Dikasih dikit aja, Rez. Dia tadi 'kan udah minum susu. Takutnya kekenyangan." "Iya, engga apa-apa, Naf. Yang penting, Armand coba," ucap Reza dengan senyum lembut sembari mengusap punggung tangan Naffa perlahan. Lalu, sesuai dengan yang sudah dikatakannya, Naffa mengambil sendok kecil khusus bayi dan mulai menyendok sedikit es krim dengan rasa vanilla, serta menyuapkannya pada Armand. "Gimana? enak?" Reza mengusap lembut kepala Armand semba
Beberapa bulan kemudian, Reza masih disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan merawat Naffa yang masih koma serta Armand yang masih kecil. Meski Sus Hani mendampingi putranya di kala ia masih berada di kantor atau di luar rumah, Reza sebagai seorang papa tak dapat tinggal diam dan langsung bersantai saat ia baru saja pulang dari kantor. Saat ia telah selesai membersihkan diri, ia harus bergantian dengan Sus Hani untuk menemani Armand minum susu dan bermain. Bahkan, di kala makanan khusus bayi telah selesai dikelola oleh baby sitter berpengalaman itu, ia harus menyuapi Armand dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Di tengah kegiatan menyuapi putranya itu, ponselnya bergetar. Sejenak, ia menjeda aktifitas tersebut dan menjawab
Akibat merasa iri pada nasib sang mantan istri, Reza pun memutuskan untuk menginap di apartemen milik Marni. Meski ia tahu bahwa putranya masih berada di rumah kedua orang tuanya, ia tak begitu mempermasalahkannya. Memang ia mengkhawatirkan kondisi Naffa dan putranya, namun untuk malam itu, ia tak dapat membiarkan egonya sebagai laki-laki terluka begitu saja. Dengan nafsu yang membara dalam dirinya, ia melampiaskan rasa kesalnya itu dengan bercumbu dan bercinta dengan Marni, untuk kesekian kalinya. Setelah pergumulan terlarang itu usai, Reza yang seharusnya memadu kasih di sisi Marni malah mengenakan pakaiannya kembali dengan air muka datar. Marni yang masih mengenakan selimut pun bertanya dengan air muka keheranan, "Mas, bukannya mas mau tidur di sini?" "Sebentar aja, Mar. Aku engga bisa lama-lama. Naffa lagi koma di rumah sakit. Maaf ya," jelas Reza yang baru saja mengenakan celana kain dan sabuk secara berurutan. Di saat yang sama, Marni merasa tak dihargai oleh bos seka
Di situasi lain, yang lebih membahagiakan, Dina dan Khandra sedang berada di Bandara Internasional Juanda. Dengan tiga travel bag yang mereka bawa, mereka sedang mengantri untuk check-in tiket pesawat, jurusan Surabaya-Thailand. "Selanjutnya," ucap pramugari yang mengurus bagian check-in di counter dengan senyum ramah tersemat. Khandra dan Dina pun menghampiri counter dan mulai menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat pada pramugari yang bertugas. Lalu, beberapa menit kemudian pramugari tersebut meminta Khandra dan Dina untuk menaikkan koper yang ingin diletakkan pada bagasi yang tersedia. "Ini boarding passnya. Bisa ditunggu di pintu keberangkatan yang tertera ya," ucap
Halimah pov Seakan disambar petir di malam hari, aku yang mendengar informasi dari dokter pun menitikkan air mata. Aku selaku ibu kandung dari Naffa merasa terpukul dan tak terima. Penyebab utama yang paling jelas terlihat saat ini adalah menantuku sendiri, Reza. Begitu dokter yang mengoperasi putriku berlalu, aku dengan emosi yang memuncak di kepala mendorong Reza pelan dan menegur, "Puas kamu sekarang, hah?! Reza pun terdiam dan tak berani beradu pandang denganku. Lalu, aku kembali bersuara dengan air mata berlinang, "Gara-gara kamu, anak saya engga sadarkan diri! Puas?! Memang kamu, laki-laki yang engga tahu diuntung!!" Bersama dengan ucapanku yanf mengiris hati itu, aku pun hendak melayangkan tamparan berikut pada wajahnya karena merasa geram. Namun, sebelum telapak tanganku mendarat tepat di wajah Reza, suamiku menahan dan berujar, "Bu, udah. Jangan bertengkar di sini. Malu karena didengar orang-orang." Aku yang kembali mendengar peringatan itu menepis pegangan tangan
Sementara itu, di rumah Reza, Naffa yang tengah sibuk memotong-motong sayuran mendadak merasakan sakit pada bagian pinggang. "Awh," erangnya sembari memejamkan kedua mata dan memegangi pinggang bagian belakang. Di beberapa menit awal, rasa sakit itu masih bisa ditahan oleh Naffa. Namun, di sekian menit berikutnya, rasa sakit itu menajam dan tak lagi bisa ditahannya. Hal tersebut membuatnya sedikit panik dan menjeda kegiatannya seraya duduk di kursi. "Sshh, sepertinya, a-aku harus.." Naffa yang hendak menghubungi Reza mengalihkan pandangan pada sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini.