“Abang udah terlanjur menandatangani surat itu Dek,” Pria itu tertunduk lesu di depanku, dengan wajah penuh lebam. Bisa-bisanya dia mengatakan terlanjur, sedang baru kemarin berikrar di hadapan penghulu disaksikan banyak orang, dengan lantangnya dia mengucapkan ijab qabul. Berjanji di hadapan Tuhan dan ke dua orang tua akan menjagaku sampai maut memisahkan. Lalu, untuk apa menjalin hubungan kalau tujuan akhirnya bukan surga tapi perpisahan. Tak ada kata yang mampu menjelaskan isi hati, selain bulir bening yang mulai turun tanpa dapat aku cegah. Hening melanda di antara kami, pernikahan yang kuanggap sebagai solusi, justru menjadi bumerang bagi diri. Aku bukan barang, yang bisa di lempar sana-sini. Inikah bukti cinta yang pernah kamu ucapkan tempo hari, kita belum mencobanya dan kamu sudah menyerah seperti ini. “Kita bahkan belum mencobanya Bang, kenapa kamu bisa seyakin itu, kalau Tuhan enggak akan pernah ngasih kita keturunan.” Aku yakin selalu ada jalan keluar bagi jiwa yang tak p
“Makanlah sedikit setelah ini Abang akan keluar!” Pria itu mulai menyendok nasi lalu mendekatkannya ke mulutku. Jangan harap Bang aku bisa luluh dengan manisnya sikapmu.“Taruh saja di nakas Bang, aku belum lapar!”“Abang enggak akan pergi sebelum kamu makan.”“Dan aku enggak akan makan sebelum Abang pergi.”“Dek.” Dengan nada memohon lagi wajahnya yang cemas dan penuh harap dia menatapku dalam-dalam, sayangnya hatiku telah membeku seiring dengannya yang lebih memilih menyerah pada takdir.Di tengah keheningan, terdengar deru kendaraan memasuki halaman, anak-anak mungkin sudah pulang.Aku segera bangkit dari pembaringan, mengabaikan Bang Andre yang masih menatap cemas padaku. Sayangnya, karena terlalu bersemangat aku malah sedikit kehilangan keseimbangan, mungkin karena tak makan hampir seharian. Bang Andre lekas bangkit dari tempatnya bersiap membantuku untuk berjalan.“Ga perlu Bang, jangan sentuh aku!”“Bagaimana bisa Abang membiarkanmu jalan sempoyongan begini,” ujarnya dia khawa
“Turunin Bang, enggak enak di lihat orang nanti!”“Siapa yang mau lihat? Ga ada orang di rumah,” sahutnya datar tanpa ekspresi sedikit pun, mengabaikanku yang terus meronta minta di turunkan dari gendongannya.Pemilik tubuh kekar itu terus saja berjalan hingga tiba di tempat peraduan, dia menurunkanku perlahan. Pandangan kami bertemu.“Sembuhin luka Abang dulu,” ucapku sembari tertunduk malu, tatapannya sungguh menghipnotisku. Tak ada jawaban darinya hanya mendekatkan wajahnya padaku.“Adek udah bawa kotak obatnya,” ucapku.“Hmm,” dia hanya berdehem, dan lagi-lagi malah mendekatkan diri padaku.Aku yang tak siap akan tindakannya yang tiba-tiba, sedikit memundurkan diri ke belakang.“Kenapa? Tadi katanya mau di obatin, ini?” Bukanya menjauh dialah semakin mendekat hingga nyaris hidung kami bersentuhan.Tuhan bagaimana caranya mengobati luka dalam posisi seperti ini.Refleks aku menundukkan wajah dengan cepat.“Awww aduhhh,” kuusap kepalaki yang sakit karena tak sengaja beradu dengan mi
“Abang mau apa?” tanyaku dengan manik mata membesar yang sudah seperti ingin keluar.“Melepas batasan di antara kita,” ucapnya dengan wajah datar. Tangannya tepat berada di samping kepalaku, sedang aku sudah sampai bersandar ke dinding.“Memangnya bisa?”“Kamu meragukanku Kiran?” Dia malah semaikin mendekatkan diri padaku.Entah kenapa mendengarnya begitu, aku malah ingin tertawa, mengingat kejadian di malam pertama kami, dia begitu gugup, duduk dengan kedua kaki berimpit di bibir ranjang, masih kuingat dengan jelas semuanya.“Kenapa senyum-senyum?”“Enggak apa-apa, Sayang.” Lagi-lagi aku tak dapat menahan senyumku agar tak merekah.“Kenapa kamu jadi lebih sering manggil sayang duluan Kiran, padahal dulu kamu begitu cuek.”“Dari pada Abang, sebelum nikah perhatian udah nikah istri sendiri dianggurin.”“Memangnya maunya di apelin? Kan udah serumah.”“Ihh tau ah abang ini bikin kesel aja.” Saking kesalnya aku sampai tak menyadari kalau bibirku sudah maju beberapa senti.“Ih jelek banget
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang