LOGINKeesokan paginya, berita itu menyebar cepat.BREAKING NEWSSergio Morales ditemukan tewas di kediamannya dini hari tadi. Polisi menyatakan korban meninggal akibat kekerasan dan tengah menyelidiki motif pembunuhan. Tidak ada tanda-tanda perampokan.Alejandro berdiri terpaku di kamarnya. Televisi besar di dinding menampilkan gambar rumah mewah yang dipagari garis polisi. Nama Sergio Morales terpampang jelas di layar.Jantung Alejandro mencelos."Tidak," gumamnya pelan.Ponselnya bergetar di atas meja.Alejandro mengangkatnya segera. "Aku sudah nonton beritanya."Di seberang, suara Santiago terdengar tegang. "Berarti kamu sudah tahu.""Kita terlambat," ujar Alejandro lirih namun tegas.Santiago menarik napas. "Aku sudah menemukan alamatnya semalam. Tempatnya tidak jauh dari kawasan industri lama, tapi ketika aku sampai polisi sudah berada di sana. Sergio sudah meninggal."Alejandro memejamkan matanya. Potongan-potongan kejadian menyatu terlalu rapi untuk disebut kebetulan."Corvus," kata
Mansion itu menyambut Alejandro dengan cahaya hangat yang otomatis menyala begitu mobilnya memasuki halaman. Lampu-lampu taman menerangi deretan patung marmer dan pepohonan yang tertata rapi Ia masuk melalui pintu utama. Sistem rumah pintar bekerja sempurna seolah menyambut tuannya pulang tanpa bertanya apa pun, lalu melangkah lurus menuju kamar Daniel di lantai atas. Pintu kamar terbuka dengan satu sentuhan sidik jari. Lampu menyala perlahan dan memperlihatkan ruang kerja yang rapi dan terlalu terorganisir. Meja kayu besar berdiri di dekat jendela, rak buku tersusun simetris, dan layar monitor hitam memantulkan bayangan Alejandro. Ia menutup pintu di belakangnya. Alejandro berjalan ke meja kerja dan menarik laci kedua. Di dalamnya ada beberapa map tipis, laporan cetak, dan catatan audit internal. Di permukaannya tertera tulisan samar, S. Morales. Dada Alejandro mengencang. Ia duduk dan menyebarkan isi laci di atas meja. Ada laporan kehilangan bahan baku, data inventaris pab
Alejandro menghela napas pelan, lalu akhirnya memalingkan wajah sepenuhnya ke arah Santiago."Jadi dari mana semua informasi ini kamu dapatkan?"Santiago tidak langsung menjawab. Ia melirik sekilas ke arah lorong untuk memastikan tak ada orang lain di dekat mereka."Aku punya kebiasaan lama. Aku berteman dengan orang-orang yang tidak terlihat," bisiknya.Alejandro menyipitkan matanya."Pelayan pelabuhan, petugas shift malam, dan staf gudang kontrak," lanjut Santiago tenang. "Orang-orang yang digaji kecil, tapi melihat segalanya. Mereka tidak peduli siapa Corvus. Mereka peduli siapa yang membayar kopi mereka setelah jam kerja.""Kamu menyuap mereka," simpul Alejandro."Aku mendengarkan mereka," koreksi Santiago singkat. "Uang hanya membuat mereka mau bicara. Polanya yang membuatku yakin."Ia bersandar ke dinding dan melanjutkan, "Setiap kali pengiriman ilegal lewat, ada suatu anomali kecil seperti kamera mati lima menit lebih lama, manifest diganti shift terakhir, atau truk keluar lewa
Malam itu Alejandro hampir mematikan ponselnya ketika sebuah pesan masuk satu jam sebelum ia berniat pulang.Santiago: Datang ke Avalon sekarang! Ada sesuatu yang menarik yang harus kamu lihat.Alejandro menatap layar beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Kata menarik dari Santiago jarang berarti hal sepele. Dengan napas pendek, ia mengambil jaketnya dan keluar tanpa memberi tahu siapa pun.Klub Avalon berdetak dengan cahaya dan dentuman musik yang berat. Lampu neon biru-ungu memantul di gelas dan kulit dan menenggelamkan wajah-wajah dalam bayangan. Alejandro masuk tanpa banyak menarik perhatian.Santiago sudah menunggunya di bar dan bersandar santai seolah tidak sedang menyimpan bom waktu."Kamu terlambat," kata Santiago sambil menyerahkan segelas minuman."Apa yang begitu menarik sampai kamu memaksaku kembali ke tempat ini?" tanya Alejandro dengan suara datar.Santiago tidak menjawab. Ia hanya mengangguk ke arah lorong sempit di sisi bar. "Ikut aku dan jangan terlalu menco
Di lantai lain gedung DeLaLuca, jauh dari ruang kerja Alejandro, suasana di kantor Emiliano DeLaLuca terasa jauh lebih tegang. Pintu kayu gelap itu terbuka perlahan tanpa diketuk.Emiliano yang sedang menandatangani dokumen langsung mengangkat kepalanya dengan raut tidak senang ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dan wajahnya mengeras seketika."Silvia, Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya rendah dan penuh peringatan.Silvia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. Ia mengenakan mantel sederhana dan kacamata hitam masih bertengger di kepalanya seolah takut dikenali siapa pun. Wajahnya tegang, tapi matanya menyimpan tekad nekat."Aku tidak punya pilihan. Aku butuh bicara denganmu.""Apa kamu sudah gila datang ke kantorku saat di jam kerja? Kalau ada yang melihat ....""Tidak ada yang melihat," potong Silvia cepat. "Aku bisa memastikan itu."Emiliano mendengus dan berjalan mendekat, jaraknya sengaja dibuat aman. "Kamu seharusnya mengerti risi
Lucia menghela napas panjang, lalu bersandar lagi ke meja kerja."Semoga saja kamu tidak benar-benar jatuh cinta pada Daniel."Valeria menoleh dengan cepat dan ada ketegasan dingin di matanya seperti tembok yang ia bangun dengan sengaja."Itu tidak akan pernah terjadi," katanya tanpa ragu. "Daniel adalah musuhku, Lucia, dari dulu, sekarang, dan selamanya akan tetap begitu."Lucia tidak langsung membalas. Ia justru menatap Valeria lebih lama seolah ingin memastikan keyakinan itu benar-benar kokoh."Hati manusia tidak selalu patuh pada logika. Sering kali kebencian adalah jarak terdekat menuju cinta."Valeria mendengus kecil. "Tidak untukku."Namun Lucia hanya tersenyum tipis, senyum orang yang sudah terlalu sering melihat hati manusia berkhianat pada kata-katanya sendiri.Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang tampak normal bahkan terlalu normal.Valeria mulai terlihat sering bersama Liam. Mereka makan siang di kafe kecil dekat sungai, berjalan sore menyusuri jalanan Madrid, t







