“Memang kamu pikir ayah ini bank!” Bambang berkacak pinggang, melotot melihat Aksa dan Dara yang sedang duduk di sofa.
Aksa alias Dimas berhasil meminta tenggat waktu untuk membayar ganti rugi paket seafood yang tidak sengaja ia hancurkan.Sialnya, ia lupa tidak meminta nomor telepon Alan. Padahal kalau ia bisa menghubungi Alan, uang 20 juta bisa dengan mudah ia dapatkan.“Yah, Dara mohon.” Wajah Dara memelas, memohon pada Bambang agar mau membantu suaminya – Aksa.Dimas yang sedang menjadi Aksa, hanya diam. Sebelumnya, ia tidak pernah memohon kepada orang. Itu sama saja merendahkan dirinya.Bambang berpikir sejenak. Mungkin ini saatnya yang tepat untuk memisahkan putrinya yang terlalu baik hati ini dari suaminya yang miskin dan tidak berguna.Bambang menoleh melihat Aksa. Muak sekali ia melihat wajah miskin menantunya. Membuat malu saja, merusak keturunan keluarga Soedrajat.“Dengan gajinya, mana mungkin dia bisa kembalikan uang ayah!” Bambang masih menolak membantu Aksa.“Akan aku kembalikan besok sore.” Aksa menjawab dengan yakin. Ia membalas tatapan Bambang agar mertuanya itu percaya dengannya.“Pakai apa? Daun mangga? Ayah tahu berapa gajimu, jadi gak usah kasih ayah janji surga.” Cih! Bambang meludah ke lantai, jijik dengan Aksa.Aksa menggenggam tangannya dengan kuat, menahan emosinya yang sudah bergejolak dan siap meledak.Ia menoleh saat melihat tangan Dara berada di atas tangannya. Wanita itu tersenyum lembut. Melihat senyum itu, amarah Dimas tiba-tiba reda.Bambang pura-pura berpikir. Ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Dara. “Jadi stafsus-nya Salim. Nanti kamu bisa ganti uang ayah pake gajimu.”Aksa mengerutkan kening melihat wajah terkejut Dara. Wanita itu kemudian menoleh melihat Aksa menunggu sesuatu.“Kalau mas Aksa ijinin Dara kerja, Dara gak masalah walau harus jadi stafsus-nya Salim,” ucap Dara lesu.Tunggu!Apa yang Bambang maksud adalah Salim Dirga?Gigi Aksa bergemeretak, ia kembali kesal.Siapa yang tidak kenal Salim Dirga? Pebisnis yang masuk politik. Pria itu terkenal sebagai casanova, suka berganti teman wanita.Wanita manapun yang dekat dengannya pasti sudah pernah ‘dipakai’.“Saya tidak setuju, Pak. Saya tidak bersedia jika istri saya harus dikorbankan karena saya.” Aksa menyela dan langsung menolak ide Bambang. Dara memang bukan istrinya tetapi ia tidak mau mengorbankan wanita itu hanya demi 20 juta.“Ya sudah, selamat menikmati tidur di penjara.” Bambang pergi begitu saja padahal Dara belum selesai bicara.Aksa tidak tega melihat tatapan melas Dara, ia kemudian berdiri dan mengatakan akan mencari jalan lain.Ia bangkit dari duduk dan masuk ke dalam kamar. Otak Dimas berputar mencari jalan lain untuk mendapatkan uang 20 juta.“‘Gimana, Mas?” Dara masuk dan duduk di sebelah Aksa.Ia hanya bisa menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Dara barusan. Wanita itu kembali menggenggam tangan Aksa, memberi semangat kepadanya.“Sudah kita terima saran ayah. Aku gak mau mas masuk penjara.” Suara lembut Dara mengisi pendengaran Dimas.“Aku gak apa-apa, kok Mas.” sambung Dara dengan senyum tulus yang mengembang di bibir.“Mas pikirkan dulu.” Dimas menjawab sebisanya. Ia berbaring dan membiarkan otaknya terus bekerja mencari jalan sambil memejamkan mata.Sampai waktunya berangkat, Dimas belum juga mendapatkan uang. Ia kesal kepada dirinya sendiri. Sulit sekali menjadi orang miskin, mencari uang 20 juta saja sampai membuatnya tidak bisa tidur.“Mana uangnya?” Manajer operasional langsung memanggil Aksa ke ruang kerja begitu pria itu tiba di terminal barang.Di ruangan itu bukan hanya ada sang manajer tetapi juga kapten tim dan pemilik barang yang terlihat kesal.“Kau tahu, gak? Saya rugi puluhan juta karena kehilangan barang bagus seperti kemarin.” Ia melotot kepada Aksa.“Maaf, Tuan.” Aksa hanya bisa menunduk. Ia tidak menatap mata pria itu bukan karena ia takut hanya saja tidak ingin masalahnya semakin besar kalau pria itu salah sangka.“A – apa bisa saya mengembalikannya dengan cara mencicil?” tanya Aksa. Itu satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Semoga saja pria itu setuju dengan idenya.“Cicil? Enak saja! ? Kamu pikir uangku banyak? Itu semua modal, tahu! Kalau kamu cicil, aku gak bisa putar uangnya.” Tangan pria itu di pinggang. Dadanya naik turun saking kesalnya dengan Aksa.“Makanya kalau miskin itu kerja yang benar!” Orang itu kembali berteriak. Wajahnya semakin tegas setelah Aksa meminta melunasi ganti rugi dengan mencicil.“Sudah, kita panjangin aja ini. Lanjut di polisi aja. Nama saya juga jadi jelek gara-gara barang yang datang jadi kurang.”Manajer mengangguk. Ia mengangkat telepon, menghubungi polsek terdekat untuk memproses Aksa.Tidak sampai 30 menit beberapa polisi tiba di kantor. Mereka mengambil keterangan beberapa orang termasuk pemilik barang.“Ayo ikut ke kantor!” Polisi memegang tangan Aksa dan memasang borgol.Aksa mendelik, ini pertama kali dalam hidupnya diborgol dan ditangkap seperti ini.“Lepaskan saya!” Aksa menarik tangannya enggan dipegang oleh para polisi itu.Namun, tenaga Aksa kalah kuat. Dua orang polisi memegangi Aksa, membawanya pergi dengan paksa ke luar kantor.Aksa meronta, kakinya berusaha menendang para polisi tetapi gagal. Ia juga mencoba untuk melepaskan tangannya yang ditarik paksa. Tetapi hanya beberapa detik Aksa kembali tertangkap.“Jangan melawan atau hukumanmu semakin berat!” ujar salah satu polisi.“Saya bukan penjahat, dan bukan pencuri.” Aksa berusaha untuk tetap tenang.“Diam! Orang miskin gak usah banyak ngomong! Sebaiknya siapkan uang yang banyak supaya hukuman diringankan.” Seorang polisi berteriak kepadanya.Aksa diseret, dipaksa berjalan mengikuti petugas itu masuk ke mobil patroli mereka.“Berikan saya waktu, saya bisa ganti rugi uangnya.” Aksa kembali berontak.PLAK!Seorang polisi menampar Aksa untuk menenangkan pria itu,“Masuk!” Ia bahkan mendorong dan menendang Aksa agar masuk ke mobil.Aksa hanya bisa menahan sakit juga menahan kakinya agar tidak masuk ke dalam mobil. Ia tahu begitu ia masuk, ia akan sulit keluar dan menghubungi Alan.Polisi yang lain menekan kepala Aksa, sedang polisi yang lain mendorong tubuh Aksa dari belakang. Ia sudah tidak bisa lagi menghindar.“Tunggu! Jangan bawa dia!”“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman