“Ta –tapi dia penjahat, Tuan!” Manajer yang melihat Alan menghentikan polisi untuk membawa Aksa segera berlari menghampiri salah satu eksportir besar itu.
Maha Group adalah salah satu perusahaan kesayangan dari pelayanan pengiriman karena selalu mengekspor barang dalam jumlah besar.“Penjahat?” Sebelah alisnya terangkat heran dengan tuduhan sang manajer.“Aksa hanya menjatuhkan kotak seafood. Ia bahkan sudah bersedia mengganti rugi walau dengan dicicil. Bagaimana itu bisa disebut penjahat?” Alan berkata dengan mimik wajah dingin dan menyeramkan membuat nyali sang manajer ciut.“Biar aku yang mengganti kerugian anda. 20 juta, kan?” Alan berujar kepada pemilik seafood. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi m-bankingnya.Ia masukkan nomor rekening dan juga nominal uang yang akan dikirim. Aksa maju beberapa langkah mendekati Alan dan berbisik memberikan perintah. “Aku kirimkan 50 juta. 30 juta hadiah dari tuan Dimas Mahardika untuk anda.” Alan menunjukkan layar ponselnya memberikan bukti jika ia sudah mengirimkan uang itu.Si pemilik seafood tersenyum sumringah mendapat uang dadakan yang cukup besar. Ia menjabat tangan Alan, menggoyangkannya penuh semangat dan menitipkan salam untuk Dimas.“Mari, Tuan.” Alan mempersilahkan Aksa masuk ke dalam mobil mewah milik Mahardika. “Apa data yang kau kumpulkan sudah benar? Kau yakin Aksa ternyata ini?” Kening Aksa berkerut membaca lembar demi lembar informasi yang Alan berikan kepadanya. Sesekali pria itu menggeleng kepalanya setelah membaca bagaimana sulitnya hidup Aksa. Mungkin satu-satunya hal baik yang terjadi dalam hidup Aksa adalah menikah dengan Dara. Ayah seorang sopir, ibu tukang jahit, kuliah dengan beasiswa sekarang bekerja sebagai buruh angkat di bandara. “Bukan naif, Tuan. Tetapi Aksa itu jarang sekali berpikir jelek tentang orang lain Jadi mudah dimanfaatkan.” Alan yang duduk di bagian mobil depan mengoreksi Dimas. Aksa meletakkan kertas-kertas itu di sampingnya. Dengan jari tengah, ia memijat pangkal hidung. Ia tidak bisa mencari garis merah kenapa bisa masuk ke dalam tubuh Aksa. Ia dan Aksa dua orang yang sangat berbeda. Bagai siang dan malam. Bukan hanya status sosial tetapi juga sifat dan cara berpikir. “Bawa aku ke rumah sakit, Alan.” Aksa memberi perintah. Ia membuang pandangannya melihat keluar jendela, bersiap melihat dirinya sendiri.Aksa tinggal beberapa langkah lagi sampai ke pintu ruang ICU, namun ia menghentikan langkahnya melihat dua orang yang berdiri di depan jendela.Bersamaan dengan itu Dewa – ayah Dimas berbalik. Ia menatap Aksa yang masih mengenakan seragam jumper berwarna oranye. Bagian atasnya dilepas dan diikat di pinggang.“Siapa dia, Al?” Dewa beralih menatap Alan yang berdiri di belakang Aksa.“D – dia teman tuan muda.” Pria itu menjawab singkat. Aksa bisa melihat kening Dewa berkerut. Ia memperhatikan penampilan Aksa mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Melihat itu, Aksa ikut melihat dirinya merasa ada yang salah dengan penampilannya.“Tumben sekali Dimas mau berteman dengan orang miskin.” Dewa menjawab acuh. Ia memanggil sang istri yang masih enggan meninggalkan Dimas di rumah sakit. Wanita itu mengusap air mata dipipi. Ia kemudian merangkul tangan Dewa dan mengikuti langkah suaminya.“Jangan ijinkan dia masuk ke dalam, Al. Kotor begitu, nanti Dimas kena bakteri.” Sambil berlalu meninggalkan ruang ICU, Dewa masih sempat memberikan perintah.Aksa maju mendekati jendela besar tidak menghiraukan ucapan papanya. Ia melihat Dimas, dirinya sendiri terbaring di sana dengan alat penopang hidup.Baru beberapa hari saja, Dimas sudah lebih kurus dan sangat pucat. Janggut dan kumis tipis mulai tumbuh.“Apa kata dokter?” Suara Aksa bergetar. Entah mengapa ia merasa hidupnya Dimas yang sedang berbaring tidak akan lama lagi.Menurut dokter, Dimas dalam keadaan koma. Beberapa organ tubuhnya cedera karena kecelakaan yang ia alami. Hanya keajaiban yang mampu membuat pria itu bertahan. Lutut Aksa mendadak lemas mendengar penjelasan Alan. Membayangkan dirinya bisa meninggal kapan saja. “Tuan muda, jangan berpikir yang tidak-tidak. Mungkin menjadi Aksa adalah kesempatan kedua untuk anda.” Alan berusaha menghibur. Ia tahu dari wajah Aksa, pria itu pasti sedang sangat terbebani. Kening Aksa berkerut mendengar ucapan Alan barusan. “Memangnya aku salah apa sampai perlu kesempatan kedua?”Alan langsung menyesali ucapannya. Ia lupa, Jiwanya tetap Dimas yang tidak mau salah dan disalahkan. “Maaf, Tuan Muda.” Alan menunduk. Walau tidak melihat secara langsung, ia tahu Aksa sedang memelototinya. Puas melihat dirinya yang sedang berbaring tidak berdaya, Aksa meminta Alan untuk mengantarkannya pulang. Ia meminta Alan untuk berhenti agak jauh dari rumah Bambang. Ia sedang malas meladeni pertanyaan orang yang penasaran kenapa ia bisa bersama dengan Alan, orang kepercayaan Maha Group. “Tuan, ini kartu anda.” Alan menyerahkan kartu mengkilap milik Alan. “Anda masih ingat PIN-nya, kan?”Alan menerima kartu debitnya. Ia menolak ponsel dari Alan dan memilih memakai ponsel Aksa yang nyaris rusak. “Apa ponsel itu masih bisa digunakan?” Alan menunjuk ponsel yang layarnya sudah retak, warna casingnya sudah pudar bahkan baterainya sedikit kembung. Aksa mendelik kesal melihat Alan yang berkomentar tentang ponselnya. Ia menyerahkan ponsel itu kepada Alan. Setelah beberapa saat, ia turun dari mobil dan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Ia tiba di rumah bertepatan dengan mobil Bambang yang baru saja tiba. Mertuanya itu keluar dari mobil pun begitu dengan Dara. “Dara, kamu dari mana?” Aksa menghampiri istrinya, istri Aksa yang asli. “Itu…” Wajah Dara berubah gugup. Ia menoleh melihat ayahnya. “Tadi Dara ikut ayah, Mas. Dara tadi ke —” Dara menjadi gugup. Haruskah ia memberitahukan yang sebenarnya kepada Aksa?“Tadi ayah bawa Dara ketemu sama Salim. Besok dia sudah mulai kerja dengan Salim.” Bambang mengatakan itu dengan santai. Ia menutup pintu mobilnya kemudian masuk meninggalkan Aksa dan Dara. Aksa menoleh, ia melihat tangannya yang ditarik oleh Dara. Ketika mendongak, Aksa mendapati wanita itu tengah menahan tangis dengan bibir dilipat ke dalam. Aksa melepaskan Dara, dengan langkah cepat menyusul Bambang masuk ke dalam rumah.“Ayah, saya tidak setuju Dara kerja sama Salim. Tolong bilang sama Salim, kalau Dara gak jadi kerja sama dia.” Aksa berkata terus terang dan tanpa basa basi seperti halnya Dimas.Dara yang menyusul suaminya segera menegur Aksa. Ia menggeleng pelan, meminta Aksa tidak perlu memperdebatkan masalah ini.“Mana bisa begitu! Kalau Dara berhenti sekarang, dia harus bayar pinalti karena melanggar kontrak.”Bambang meneruskan, “Kamu itu harusnya bersyukur. Suami sampah gak berguna kayak kamu tapi bisa punya istri yang bisa kerja.”“Menikah sama Dara derajatmu yang hanya
“Kamu bisa terus berkhayal!” Bambang membersihkan ujung bibirnya dengan serbet. “Dara, nanti siang kamu makan siang dengan Salim. Suamimu yang gak berguna ini gak akan bisa dapat uangnya!” Bambang menatap Dara dengan tajam, tidak ingin dibantah.Dara yang melihat sang ayah hanya bisa menunduk tidak berani mengatakan apapun. Tak lama Dara berdiri, menyusul Bambang meninggalkan ruang makan.Aksa ikut menyudahi sarapannya. Ia yang merasa wanita itu sedang marah segera menyusul Dara masuk ke dalam kamar.“Aku pasti bisa bayar tagihan listriknya. Jangan khawatir.” Aksa meyakinkan. Ia mengambil tas yang biasa ia bawa bekerja bersiap untuk berangkat.Dari tidak menjawab, namun Aksa bisa merasakan manik wanita itu menatapnya dalam mencoba membaca apa yang sedang ia pikirkan.Satu hembusan nafas panjang keluar dari bibir Dara. Tangannya bergerak membuka laci meja rias, mengambil buku kecil dan meletakkannya di atas meja.“Aku akan pergi sama ayah, Mas,” ujarnya pasrah. Aksa tahu, Dara ingin
“Dasar suami Gak berguna!” Bambang yang ikut turun memaki Aksa di depan orang banyak yang menonton keributan antara Aksa dan petugas SPBU.“Masa uang bensin aja minta sama istrimu? Beli bensin saja gak mampu apalagi beli skin care. Pantas saja putriku jadi lusuh setelah menikah sama kamu,”hardik pria tua itu lagi.Orang-orang yang menonton pertengkaran itu saling berbisik, membicarakan Aksa. Ada juga yang merekam dan mengunggahnya ke sosial media. Mereka melihat Aksa penuh iba, ada pula yang menggunjingkan Aksa sebagai suami yang tidak bertanggung jawab.“Sudah, biarkan saja dia!” Bambang menarik tangan Dara, mengajak putrinya kembali masuk ke dalam mobil.“Kamu mau kemana, Dek?” Aksa baru menyadari kalau penampilan Dara sangat rapi. Gaun terusan selutut berwarna krem.“Makan siang dengan Salim, Mas.” Dara yang tidak tega melihat Aksa, mengambil uang Dari dalam tasnya dan memberikan kepada Aksa.“Buat beli bensin.”Dara mengambil tangan Aksa dan meletakkan uang itu di telapak tangan
“Tuan muda.”Petugas resepsionis mendadak lemas setelah mendengar Alan memanggil Aksa — pria yang ia kira tukang servis dengan sebutan tuan muda. Alan menelpon ke resepsionis untuk memastikan jika Aksa memang berada di bawah. Ia langsung turun ketika petugas resepsionis mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. “Saya akan mengurus dia, Tuan. Tuan ingin bicara di atas atau di mobil?” tawar Alan. Petugas resepsionis yang berdiri tidak. jauh dari Aksa dan Alan hanya bisa menunduk takut, pasrah dengan nasibnya. Aksa naik ke lantai 35 bersama Alan lewat lift khusus yang hanya digunakan oleh manajer ke atas. “Aku butuh uang, Al.” ucap Aksa getir. Batu kali ini seorang Dimas Mahardika membutuhkan uang sampai seperti ini. Aksa duduk di ruang kerjanya. Merasakan nyamannya kursi kebesaran tempatnya dulu duduk. Di ruangan ini, Aksa menghabiskan hampir lebih 10 jam sehari untuk bekerja dan juga bermain wanita. Ia menatap setiap sudut, mengingat semua yang dulu dilakukan di r
“Payah! Suami macam apa kamu itu! Tugas suami itu menafkahi istri. Masa bayar listrik aja gak sanggup!” Tangan Aksa mengepal kuat mendengar hinaan Bambang. Otaknya masih berpikir keras, ia ingin sekali menjawab ejekkan Bambang. TING! ~ Tuan, saya sudah kirimkan 100 juta ke rekening Aksa. ~ Aksa membaca pesan dari Alan. Tidak menunda, mengecek rekening Aksa melalui ponselnya. Ia masuk dengan mudah. Entah bagaimana, ia seperti tahu sandi m-banking Aksa. Tak sampai satu menit, Aksa berhasil melakukan pembayaran listrik lewat aplikasi perbankan. “Nih! Sudah saya bayar, Yah.” Aksa menunjukkan layar ponselnya. Membiarkan Bambang membaca sendiri bukti pembayaran. “Mas, mas dapat uang dari mana?” Dara ikut melihat layar ponsel Aksa. Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya melihat transaksi sebesar 15 juta untuk pembayaran listrik. “Yang pasti bukan uang pinjaman. Sudah, besok kembalikan barang-barang ini. Kalau Salim gak mau terima, biar mas bayar semuanya.” Aksa berdiri dari duduknya.
“Lepaskan aku!” Aksa berteriak, meronta ketika satpam showroom menyeretnya keluar atas permintaan Salim.“Bawa gembel ini jauh-jauh!” Manajer showroom langsung menuruti permintaan pelanggan VIP mereka. Ia memerintah satpam mengusir Aksa. Aksa didorong dengan tongkat satpam, kadang terkena pukulan di kakinya. Satpam itu mengangkat tongkat seperti sedang mengusir seekor anjing. Salim memegang tangan Dara, melarang wanita itu menolong Aksa. Ia sudah mendapatkan kebebasan dari Bambang untuk bersama dengan Dara. Bagi Salim dan Bambang status Dara yang sudah bersuami hanya di atas kertas. Dengan terpaksa Aksa kembali melanjutkan perjalan ke Maha Group. Kali ini, Aksa tidak kesulitan untuk menemui Alan. Ia bahkan memiliki kartu pass lift khusus pemberian Alan. Ia mampir ke meja resepsionis untuk menandatangani buku tamu dan mengambil kartu pengenal. Ia sedang mengalungkan tanda pengenal, berdiri di depan lift saat beberapa orang karyawan wanita keluar dari lift yang lain. “Pak Dimas
“Saya OB baru,” Aksa segera menjawab, memotong ucapan Alan. “Maaf, Pak Alan. Lain kali saya tidak akan membuat kesalahan. Saya permisi dulu.” Aksa keluar dari ruang rapat, meninggalkan Aksa yang terheran-heran melihat Aksa. Dulu, tatanan rambutnya diejek orang saja bisa membuat Dimas murka. Tetapi kali ini, Dimas yang sedang berada dalam tubuh Aksa bisa pergi begitu saja tanpa merasa tersinggung sama sekali. Aksa menyelinap ke ruang kerja Alan begitu keluar dari ruang rapat. Ia duduk di meja kerja Alan, menyalakan laptop dan mencari tahu bisnis yang hendak ditawarkan oleh kedua orang tadi. Ia baru berhenti membaca berkas di laptop Alan setelah sang asisten datang. “Tuan, maaf atas kesalahpahaman tadi. Tapi, kalau aku boleh tahu kenapa tahu biarkan mereka berpikir kalau tuan itu OB?” Alan mengambil tempat di sebelah Aksa. Tempat biasa ia selalu berdiri saat menemani bosnya itu. Aksa menggerakan tangan tanda ia tidak mempermasalahkan kejadian di ruang rapat.Ia menutup laptop lalu
“Mas gak akan mampu cari uang segitu.” Dara yang frustasi dengan sikap Aksa menjatuhkan diri di ranjang. Ia duduk di tepi ranjang menatap suaminya iba. “15 juta mungkin mas bisa pinjam, tapi enam miliar? Siapa yang minjemin kamu uang segitu, Mas?” Dara menutup wajah dengan kedua tangan. Isakan samar terdengar dari balik tangan Dara. Aksa menarik kursi dari meja rias, meletakkannya tepat di depan Dara. Menatap Dara dengan serius sampai wanita membuka tangannya. “Memang kamu mau jadi wanitanya Salim?” Dara menggeleng. Tangan Aksa menangkup wajah Dara, dengan ibu jarinya ia mengusap lembut air mata Dara. “Kalau begitu mas akan dapatkan uang itu bagaimanapun caranya.” Dengan mata sembab, Dara membalas tatapan Aksa membuat pria itu salah tingkah. Aksa sudah setuju akan mengembalikan semua uang yang Salim sudah keluarkan untuk Dara dalam tiga hari. Aksa mengeluarkan buku catatan hutang dari laci. Ia mencoret ‘hutang kasbon di kantor’. Satu hutang sudah terbayar lunas. Ia membaca