Rian, seorang pendaki gunung dari Yogya, tak pernah menyangka petualangannya akan berakhir tragis. Sebuah kecelakaan di lereng membuatnya kehilangan kesadaran. Namun saat terbangun, ia mendapati dirinya bukan lagi di zaman modern, melainkan dalam tubuh seorang pejuang republik di era Agresi Militer Belanda. Dengan ingatan masa kini yang masih utuh, Rian harus beradaptasi di tengah hutan jati yang dipenuhi dentuman senjata, pasukan gerilya yang terdesak, dan strategi perang yang mustahil dimenangkan.
View MoreRian mengira itu suara guntur. Namun, begitu ia membuka mata, ia sadar kalau ia salah besar.
Serangkaian letusan senjata menggema, asap dan api membumbung ke udara, tanah bergetar seperti dilanda gempa, dan dari kejauhan terdengar raungan pesawat tempur yang menukik tajam... "Apa yang terjadi?" Refleks pertama Rian adalah berdiri untuk memeriksa keadaan. Namun, sebelum ia sempat bangkit, tubuhnya ditubruk oleh seseorang hingga terjatuh. "Tiaraaaap!" teriak pria itu. Ia berwajah penuh debu, janggut tak terurus, dengan beberapa bercak darah mengering di pipinya. "Apa kau gila?" bentak pria berjanggut itu sambil menahan Rian, "Tetap tengkurap kalau nggak mau mati!" Rian tercengang. Ia ingat terakhir kali dirinya masih mendaki di puncak Gunung Lawu, lalu entah bagaimana kini ia berada di tengah tempat asing ini. Ia melirik ke sekeliling. Dalam hati, ia berharap semua ini cuma mimpi buruk. Namun suara peluru melesat, siulan tajam pecahan logam, serta cipratan darah yang beterbangan membuatnya sadar… ini nyata. "Di mana ini?" seru Rian panik pada pria berjanggut itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Perang, Nak!" jawab pria itu cepat. "Musuh sudah datang!" Perang? Musuh? Rian menatap pria itu, lalu menunduk melihat dirinya sendiri. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa mereka berdua memakai seragam tentara ala zaman penjajahan dan semua orang di sekelilingnya juga sama. Tiba-tiba, seseorang melayang di udara… atau lebih tepatnya terhempas. Kaki orang itu sudah hancur, tubuhnya berlumuran darah, dan matanya penuh putus asa. Dengan sisa tenaga, ia meraih ke arah Rian, tapi hanya sempat memuntahkan darah sebelum terkulai. Tidak… ini bukan hal yang sanggup ia lihat! Rian tak berani menutup mata, namun juga tak kuasa memandang. Ia hanya meringkuk, berusaha menekan tubuhnya sedalam mungkin ke tanah, mencoba menghilang dari dunia. Suaranya tercekat, mengerang tanpa sadar. Entah berapa lama, suara ledakan akhirnya reda. Berganti dengan jeritan minta tolong dan rintihan kesakitan di segala arah. Rian mengira semuanya sudah berakhir. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi ia keliru. "Musuh datang! Musuh datang!" Refleks, Rian mengangkat kepala. Benar saja sekumpulan tentara bersenjata laras panjang bergerak dari kejauhan, maju dengan formasi tempur di tengah kabut asap. Awalnya Rian tak peduli. Namun, ketika pria berjanggut di sampingnya menggenggam senapannya erat-erat, barulah ia sadar ini pertempuran hidup dan mati. Dan ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. "Ini bukan pertempuranku!" batin Rian kesal. Ia tak berpihak pada siapa pun, apalagi di tempat dan waktu seperti ini. Maka ia hanya menunduk, berharap semua cepat berlalu… kalau saja kakinya tak lemas atau ia yakin aman melarikan diri, ia pasti sudah kabur dari parit ini. Seorang perwira berseragam rapi dengan tanda pangkat di kerahnya berhenti ketika melihat Rian. Ia menatap tajam lalu memerintah tegas, "Angkat senjatamu, prajurit!" "Dia cuma terluka ringan, Pak! Biar istirahat," sela pria berjanggut itu sambil menyodorkan senapan pada Rian. Perwira itu tak banyak bicara. Ia mengeluarkan kartu identitas militer dari saku dada Rian, menatap sebentar, lalu mengembalikannya. "Kalau lain kali kulihat kau diam tanpa senjata, kepalamu akan bolong!" katanya dingin sambil mengangkat pistol. Rian tercekat. Bukan hanya karena ancaman itu, tetapi karena tatapan sang perwira sama sekali tak menunjukkan emosi seolah menembak seorang prajurit hanyalah hal biasa. Saat itulah ia sadar… ini benar-benar dunia yang berbeda. Sejak saat itu, Rian paham satu hal: ini adalah medan perang, dan ada hukumnya sendiri. Siapa pun yang melanggarnya, nyawanya bisa melayang kapan saja. Memikirkan itu, ia hanya bisa diam-diam mengangkat senapan di tangannya, membidik ke kejauhan. Namun pria berjanggut di sebelahnya buru-buru mengingatkan, “Astaga, Rian! Senjatamu belum diisi peluru. Mau mati konyol, hah?” Rian tersentak. Ya ampun… ia benar-benar lupa. Padahal di masa kini ia penggemar militer dan pernah latihan menembak di lapangan tembak modern. Tapi sekarang ia sadar lapangan tembak dan medan perang nyata adalah dua dunia yang sama sekali berbeda. Saat ia kembali mengokang senjata, musuh sudah tinggal 500 meter dari posisi mereka. Tentara Belanda itu tampak terlatih. Mereka bergerak dalam tim-tim kecil saling melindungi, sementara penembak senapan mesin dan mortir menempati ketinggian gedung dan bukit dengan perlindungan infanteri di bawah. Hal itu membuat Rian tiba-tiba merasa bersalah. Di antara para pejuang yang ada di sini, masih banyak yang baru, bahkan mungkin sama tak berpengalamannya dengan dirinya. Empat ratus meter. Seorang komandan berdiri tegak di belakang parit, meniup peluit kecilnya dan berteriak lantang, “Saudara-saudara! Musuh datang menyerbu tanah kita dengan licik. Mereka pikir kita akan mundur. Ingat! Parit ini benteng kalian!” Namun, belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, beberapa mortir menghantam tepat di dekatnya. Ledakan itu melontarkan sang komandan dan beberapa pejuang lain ke udara, menghantam tanah dengan keras. Suara teriakannya tadi telah memberi tahu posisi mereka dan tentara Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memukul mental para pejuang. Tiga ratus meter. Langkah kaki musuh terdengar jelas, tapi komandan baru belum juga memberi perintah menembak. Napas Rian semakin berat. Tangan yang menggenggam senapan sudah basah oleh keringat dingin. Ia mengerti bahwa sang komandan ingin musuh semakin dekat baru ditembak, supaya tembakan para pejuang tak meleset. Banyak dari mereka memang baru belajar menembak. Tapi Rian tahu… itu justru berbahaya. Saat kuliah dulu, ia pernah mempelajari sejarah pertempuran zaman Agresi Militer Belanda, termasuk taktik dan perlengkapan mereka. Ia tahu bahwa tiap regu Belanda membawa mortir jarak sedang, dengan jangkauan efektif hingga 500 meter. Bagi penembak mortir yang terlatih, jarak 300 meter adalah “pesta tembak”. Mereka bisa dengan mudah mematikan senapan mesin para pejuang sebelum sempat menembak balik. Ledakan yang barusan merenggut nyawa komandan mereka adalah bukti nyata. Kemungkinan besar, sang komandan baru tidak menyadari hal ini. Ia malah berharap musuh lebih dekat lagi. Memikirkan itu, Rian tak lagi ragu. Ia mengangkat senapannya, mengarahkan bidikan ke seorang serdadu Belanda yang sedang menyerbu, lalu menarik pelatuk."Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh. "Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih. "Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka." "Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu. Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!" "Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring. Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama. Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran. "In
"Saudara-saudara sebangsa!" suara bergetar dari radio tua di pos pertahanan:"Pukul empat pagi ini, tanpa pernyataan perang maupun ultimatum, pasukan Belanda melancarkan serangan ke berbagai kota penting di Jawa dan Sumatra. Pesawat-pesawat mereka telah membombardir Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Surabaya. Serangan Belanda yang begitu mendadak ini adalah sebuah pengkhianatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa beradab..."Semua orang mendengarkan dengan tegang. Suara radio itu akhirnya berakhir dengan beberapa kalimat penyemangat, sebelum berganti menjadi suara "gemerisik" yang mengganggu."Itu tadi suara Komite Luar Negeri Republik yang bicara!" jelas Mayor Wiratmaja dengan wajah muram.Mendengar kata-kata itu, ruangan seketika sunyi.Surya menarik napas lega.Pidato itu memang tidak menyebutkan bahwa pasukan kita di garis depan terdesak mundur... tentu saja, hal seperti itu tak boleh diumumkan terbuka, apalagi dalam siaran untuk seluruh rakyat.Namun, ada
“Omong kosong! Tak tahu malu kau, Surya!”Tiba-tiba sang instruktur meledak, memecah keheningan yang menekan ruangan. “Ulahmu jelas! Dugaan penuh motif busuk, akhirnya kelihatan juga ekor rubahmu. Kau ini pengkhianat, budak Belanda, pendosa tanah air!”Sambil berteriak, ia langsung mencabut pistol dari pinggangnya.“Joko!” Mayor Wiratmaja menahan gerakannya dengan satu tangan, menepis moncong pistol agar tak diarahkan ke Surya.“Mayor, apa kau tidak mengerti?” sang instruktur hampir berteriak histeris. “Bukti sudah jelas! Orang ini pasti dibeli Belanda! Dia sengaja menyebar kepanikan supaya kita meninggalkan benteng. Begitu kita kabur, Belanda tinggal masuk tanpa perlawanan!”“Tapi kita tidak tahu itu!” jawab Wiratmaja, matanya menatap tajam.“Mana mungkin pasukan kita sudah mundur total? Baru beberapa jam sejak serangan dimulai! Ingat, pasukan Divisi Militer dan barisan laskar rakyat juga ditempatkan di sekitar sini!”Wiratmaja mengeraskan suaranya: “Kalau begitu, kenapa sampai sekar
"Dia hanya tersihir oleh orang Polandia!" Mayor Wiratmaja menyela instruktur itu. "Dan, sebenarnya, saya tidak yakin, karena kita tidak tahu apa-apa!""Mayor!" Instruktur itu merendahkan suaranya dan berkata kepada Mayor Wiratmaja:"Meski kita tidak tahu, kita tidak bisa menoleransi pernyataan seperti ini..."Mayor Wiratmaja berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Setelah terdiam beberapa saat, dia menoleh ke Surya lagi."Namamu Surya, bukan?""Ya, Mayor!""Aku bisa mengerti pikiranmu, Surya!" kata Mayor Wiratmaja."Aku bahkan berpikir kau benar, pertempuran ini belum akan berakhir secepat ini. Tapi... kau tahu, ini masa yang luar biasa, kita tidak bisa berkata seperti itu, mengerti?""Ya!" jawab Surya. "Saya mengerti, Mayor!""Bagus sekali!" Mayor Wiratmaja mengangguk. "Kalian boleh kembali!""Tapi Mayor..." Instruktur itu tidak puas dengan keputusan Mayor Wiratmaja."Ini keputusan saya, Komandan Joko!" kata Mayor Wiratmaja dengan nada tegas."Jika ada masalah, saya akan bertanggu
Surya dikawal ke markas oleh dua prajurit sinyal, satu di depan dan satu lagi di belakang.Mayor Wiratmaja ternyata cukup sopan. Ia mempersilakan Surya duduk di kursi, menuangkan segelas air, lalu berkata sambil menenangkan,"Tenang saja, Nak. Saya cuma mau tanya beberapa hal. Biar jelas untuk kita semua.""Baik, Mayor," jawab Surya, meski matanya masih gelisah melirik ke arah Komandan Joko yang berdiri di samping Mayor Wiratmaja.Komandan itu kelihatan puas, jelas dari wajahnya ia merasa sudah membuktikan sesuatu."Saranmu itu bagus sekali!" ujar Mayor Wiratmaja sambil mondar-mandir di depannya. "Maksud saya, jarak 500 meter itu. Kami pakai sarannya waktu menahan serangan terakhir Belanda kemarin!""Itu memang kewajiban saya, Komandan Mayor," jawab Surya cepat.Benar juga, pikirnya. Kalau serangan Belanda waktu itu tidak berhasil dihalau, ia sendiri mungkin sudah tewas."Tapi..." Mayor Wiratmaja menyipitkan mata, "kenapa kamu bisa tahu detail perlengkapan Belanda? Bahkan soal jangkau
“Ini bentengnya! Ini bentengnya! Bertahan... tunggu bantuan, tunggu bantuan!”Seorang prajurit komunikasi terus mencoba mengirimkan sinyal lewat radio usang yang sudah berderak-derak. Namun hasilnya nihil, tak ada jawaban, hanya suara desis.Mayor Wiratmaja, yang berjaga di pos radio, menghela napas panjang. Keningnya berkerut dalam. Ia tahu ini perang, ia tahu lawannya Belanda dengan persenjataan modern. Tapi pertanyaan di kepalanya tak berhenti berputar di mana pasukan kita yang lain? Kapan bala bantuan datang? Apa langkah berikutnya?Segalanya serba tak pasti.“Aku rasa ini bukan serangan kecil, Mayor,” ujar instruktur lapangan, “Benteng ini jalur penting. Kalau Belanda bisa merebutnya, mereka bisa langsung menekan pasukan kita di pedalaman.”“Kita tidak bisa memastikan, Joko,” jawab Mayor Wiratmaja singkat, “Yang jelas kita dalam masalah besar... dan butuh bantuan secepatnya.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tapi itu jangan pernah kau bilang ke anak-anak prajurit.”M
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments