Tepat pukul delapan, aku sudah kembali ke rumah, dan mengistirahatkan tubuhku lagi sebelum mandi. Aku memilih duduk di pekarangan sebelah kanan, yang bersebelahan dengan pagar rumah Ibu Kumala. Tempat itu tertutup dari jalanan, jadi tak akan ada yang melihatku sedang beristirahat di sana.
Aku memang sengaja duduk di sana, karena aku yakin sebentar lagi Ibu Kumala akan berkumpul dengan dua penggosip lainnya di lapak Mang Al. Aku mau mendengar apa yang akan dia bahas kali ini. Dan, benar saja dugaanku.“Eh, tahu gak! Tadi pagi si Mendy joging, lho! Pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala setengah berbisik.Aku mengamati dari celah-celah pagar yang terhalang tanaman sirih. Aku bisa melihat wajah Ibu Kumala yang terkesan mengejek apa yang aku lakukan.“Eh, jinja?” celetuk Ibu Yoona dengan aksen Korea dibuat-buat.Jinja, jinja! Jijay sama kalian!“Yang benar saja, kakak ibu? Perempuan pemalas begitu juga bisa bangun pagi dan olahraga? Tumben sekali!” timpal Ibu Sharlotta Mersedes.Astaga! Bisa-bisanya aku dibilang perempuan pemalas!Seketika, aku mendengar Ibu Kumala terkekeh. “Nah, bener kan! Malah pakai pakaian olahraga SMA lagi! Aku kok curiga, ya!”Aku melihat wajah Ibu Yoona dan Ibu Sharlotta tampak penasaran dengan ucapan Ibu Kumala barusan.“Curiga kenapa, eonni?” tanya Ibu Yoona.Ibu Kumala menatap ke arah pintu pagarku, mungkin memastikan jika ibu belum keluar untuk membeli sayur.“Aku curiga, dia itu sedang ketemu laki-laki! Berlagak jadi anak SMA! Mungkin, mau menggaet cowok SMA atau kuliahan!” jawab Ibu Kumala dengan bibir berkelok-kelok.Aku memejamkan mata dengan perasaan kesal. Sudah dituduh pengangguran, pemalas, sekarang malah mengatakan aku menjebak laki-laki! Mereka benar-benar sinting!Bagaimana kalau mereka tahu tadi pagi aku baru saja berkenalan dengan seorang pria tampan? Tapi, bukan aku yang mendekati pria itu, melainkan dia yang datang padaku? Bisa-bisa aku dibilang pakai pelet!“Eh, masa?!” celetuk Ibu Sharlotta. “Tidak mungkin lah! Perempuan pemalas begitu, laki-laki tidak suka! Biar dia pakai seragam SD juga, tidak akan ada yang melirik! Tampang tidak bisa berbohong!”“Bener itu, eonni!” sahut Ibu Yoona menyetujui.Seketika, aku semakin kesal mendengar ucapan kedua ibu itu. Apa mereka pikir, aku tidak bisa memiliki pacar? Huh! Lihat saja, suatu saat aku akan punya pacar tampan, berkulit putih dan membuat kalian semua iri! Eh, kok ciri-cirinya mirip Lionel, ya! Yah, kecuali si Lionel! Sekali lagi, dia bukan tipeku!“Duh, untung saja Britney-ku tidak seperti dia! Britney anak yang pintar, cantik, dan pekerja keras! Britney juga tampil seperti usianya! Bahkan, begitu saja banyak yang memuji dia seperti anak SMA! Bukan memancing dengan pakaian SMA!” ucap Ibu Kumala.Ya, Tuhan! Sabarkanlah aku agar tidak mencaci-maki mereka, karena kesabaranku tidak seluas samudera, tapi hanya selebar daun kelor dan setipis tisu toilet.“Aku yakin, kalau pun misalnya si Mendy itu punya pacar, paling juga orang enggak jelas pekerjaannya kayak dia! Berbeda dengan Britney, sekarang saja yang antre sudah banyak! Dan semuanya rata-rata PNS!”Bangga sekali Ibu Kumala mengatakan hal itu. Aku hanya memutar bola mataku dengan malas. Kalau banyak yang mengantre, kenapa tidak pernah melihat Britney membawa pacarnya?“Iya lah, eonni! Perempuan macam si Mendy, enggak mungkin lah ada anak orang kaya yang bakal melirik! Entar kalau sudah nikah, cuma bisa habiskan duit suami saja!” timpal Ibu Yoona, lantas mereka tertawa bersama.Aku mengintip Mang Al yang sejak tadi hanya menggelengkan kepala, mendengar gosip TTM itu.Tunggu saja! Kalau aku sudah punya pacar tampan dan kaya raya, akan kuajak dia berpawai keliling kompleks! Biar mata kalian terbuka! Kalian terlalu memandang rendah diriku!Tak berapa lama, aku melihat ibu sudah bergabung dengan para TTM itu. Seperti biasa, mereka akan tersenyum ramah ketika ada ibu.“Masak apa hari ini, Bu?” tanya Ibu Kumala berbasa-basi.“Masak cah kangkung saja, kesukaannya Mendy,” jawab ibuku santai.“Oh, iya Bu Ida! Kok tiba-tiba Mendy joging tadi pagi? Apa dia sudah mulai berubah, ya?” tanya Ibu Kumala.Kulihat ibu hanya tersenyum. “Tidak masalah kan, Bu!”Jawaban Ibu berhasil membungkam mulut Ibu Kumala, walau untuk sesaat saja. Karena, seakan lidahnya tak bisa diam sebentar, Ibu Kumala kembali berkotek tentang diriku.“Tapi, Bu. Kayaknya ibu harus hati-hati, deh! Soalnya nih, ya! Kalau tiba-tiba anak perempuan kita yang biasanya di rumah saja, keluyuran pagi-pagi sekali, kemungkinan dia bertemu cowok, lho! Apa lagi, Mendy pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala sok tahu sekali. Dan lagi-lagi, dia selalu menekankan seragam olahraga SMA!“Iya benar, Bu Ida! Apa lagi, Mendy kan sudah lama menjomblo! Takutnya, ada cowok tak jelas minta kenalan, dia langsung mengiyakan karena ingin punya pacar!” timpal Ibu Yoona.Ya, Tuhan! Apakah hina sekali diriku yang lama menjomblo, sehingga mereka berpikir sampai seperti itu tentangku? Semoga mereka tidak mengetahui tentang Lionel.Tapi, aku benar-benar sudah gerah! Aku tak bisa lagi membiarkan mereka terus membicarakan diriku yang tidak-tidak.Aku sudah akan bangkit berdiri untuk membalas ucapan mereka, tapi aku menghentikan niatku karena jawaban ibu pada mereka.“Maaf ya, Bu-ibu! Mungkin anak-anak Bu-ibu yang seperti itu, jadi perlu diwaspadai. Tapi, Mendy saya tidak sembarangan seperti itu. Saya kenal anak saya lebih dari Bu-ibu. Terus tentang pakaian olahraganya, itu karena dia tidak punya pakaian olahraga lain, makanya dia memakai pakaian SMA-nya. Banyak kok yang begitu, kenapa harus dipermasalahkan? Permisi, ya! Saya duluan!" ucap Ibu sambil tersenyum ramah, lalu pergi dari hadapan para penggosip itu, setelah ibu selesai membeli bahan-bahan untuk dimasak.Sejujurnya, aku benar-benar terharu dengan ucapan ibu. Meski beliau terlihat tenang, tapi kata-katanya terkadang menusuk. Buktinya, aku bisa mendengar cibiran Ibu Kumala yang tak terima dengan perkataan ibuku.“Halah, sok membela anaknya yang tak tahu diri! Memangnya dia bersama anaknya? Dia tahu apa kalau anaknya keluar sendiri?!” gerutu Ibu Kumala.“Tapi, memangnya kakak ibu tahu, apa yang Mendy lakukan sendiri? Kakak ibu selalu ikuti si Mendy?” Ku dengar Ibu Sharlotta menanyakan sesuatu yang cukup menggelitikku.“Ya, enggaklah! Memangnya aku kurang kerjaan ikuti dia?!” sahut Ibu Kumala terdengar judes.“Makanya, kalau enggak tahu apa-apa, jangan sok tahu, Bu!” timpalku sambil keluar dari persembunyian.Aku bisa melihat keterkejutan di wajah Ibu Kumala bersama kedua rekannya, juga Mang Al.“Dari pada Ibu sibuk urusi hidup saya, mending Ibu urusi anak Ibu si Britney! Tanyain dia, mau enggak jadi babu saya! Saya masih buka lowongan, lho! Atau ibu aja, biar ada kesibukannya?!” imbuhku sambil berlalu dari hadapan mereka.“KURANG AJAR! JAGA MULUT KAMU, YA!”Aku mendengar teriakan Ibu Kumala padaku, tapi aku tetap berlalu. Biar saja! Jika dia bisa dengan seenaknya mengatakan yang tidak-tidak tentangku dan ibu, aku pun bisa melakukan hal yang sama pada anaknya.Maaf saja! Aku bukan wanita-wanita lemah dan baik hati seperti di sinetron, yang hanya masuk ke kamar dan menangisi perkataan orang lain.Kalian jual, aku beli, sayang!***Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba. Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk. Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu. “Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku. Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu. “Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti hari sebelumnya, dikarenakan jadwal tidur yang mulai membaik. Aku bersyukur, sih karena aku bisa memulai hidup sehat. Aku tidak mau bersakit-sakit di usia lanjut. Makanya, aku memutuskan untuk joging seperti hari sebelumnya. Ku lirik jarum jam di weker yang terletak di atas meja. Pukul setengah enam. “Baiklah!” seruku. Aku berencana untuk berjoging di tempat lain, bukan di lapangan dekat kompleks. Alasannya hanya satu! Aku tidak ingin bertemu Lionel! Bukan hanya Lionel saja orang yang tidak ingin kutemui, tapi juga para penggosip. Aku yakin, mereka akan menggosipkan yang tidak-tidak, jika melihatku joging lagi. Maka dari itu, selesai bersiap, aku segera keluar. Biasanya, pukul begini Ibu Kumala belum terlihat di luar rumah. Cepat-cepat aku melangkahkan kakiku, melewati rumah Ibu Kumala. Tapi, oh betapa sialnya aku! Selamat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja Ibu Yoona sudah berada di belakan
“Kau mau tidak menjadi pacarku? Ini serius lho! Bukan sedang mengerjai dirimu atau sejenisnya. Apa kau mau?” tanya Lionel begitu entengnya, seperti dia sedang menawari jasa gali sumur padaku. “Pacar?” ulangku dengan mimik tak percaya. “Aku, menjadi pacarmu?” Kali ini mimik wajahku berubah kesal, karena merasa pria ini sedang mempermainkan diriku. Mungkin, dia sedang melakukan tantangan entah dengan siapa, di mana jika dia berhasil mengajak seorang perempuan menjadi kekasihnya maka dia yang menang. Lionel mengangguk mantap, sambil memamerkan senyum manisnya, seolah dia yakin aku pasti menerimanya. Ya, memang aku akui senyumannya begitu manis. Wajahnya juga. Hidung yang mancung, rahang tegas, alis tebal nan indah. Dia seperti pria blasteran, dengan mata berwarna cokelat yang indah. Ta – tapi, bukan itu masalahnya! Aku tidak suka dengan karakter seperti dia! Karakter pria yang ramah pada semua wanita. Aku membuang napas kasar. “Hei, bocah!” Kulihat, Lionel cukup terkejut karena
“Baiklah, aku akan ikut arisan itu!” ucapku penuh semangat pada sambungan telepon. Hari ini, sahabat masa SMA yang bernama Amelia menelepon untuk mengajakku ikut serta dalam arisan teman-teman SMA. Dengan sukacita, aku menyetujuinya agar bisa berkumpul kembali dengan teman-masa SMA, setidaknya sebulan sekali dalam arisan ini. Ya, hitung-hitung biar mewaraskan pikiranku juga, yang tiap hari dipenuhi omongan para penggosip. “Arisan?” Rupanya, ibu mendengarkan ketika aku bicara dengan Amelia. “Iya, Bu! Amelia mengajakku ikut arisan dengan teman-teman SMA. Ibu tahu Amelia, kan?” tanyaku, karena bisa saja Ibu sudah lupa wajah Amelia. Aku bisa melihat kerut di kening Ibu, karena berusaha mengingat-ingat yang mana namanya Amelia. “Itu, lho! Yang kulitnya putih karena ada turunan Jepang! Yang nama panggilan di sekolahnya Ichi!” ucapku, dan Ibu langsung menjentikkan jari. “Ah, ibu tahu! Kalau Ichi ya ibu tahu! Ternyata namanya Amelia, ya!” seru Ibu. Aku terkekeh melihat ibuku, yang
“Mendy, jangan makan yang pedas terlalu banyak. Nanti perutmu sakit, lho! Dibilangin kok susah sekali kamu, Nak!” Ibu memang akan selalu rewel, kalau menyangkut makanan pedas. Masalahnya, aku sangat menyukai makanan pedas, tapi ibu tidak mau aku sakit karena kesukaanku itu. Kalau kata ibu, aku suka sekali mencari penyakit. “Sukanya begadang, makan makanan pedas! Kamu ini, sukanya cari penyakit saja, Mendy! Buat orang tua khawatir!” Begitulah kata ibu waktu itu. Aku paham dengan kekhawatiran ibu. Soalnya, dulu sekali, aku pernah masuk rumah sakit karena penyakit lambung atau yang terkenal dengan nama ‘maag’, kumat. Kata dokter, salah satu penyebabnya karena aku sering makan makanan pedas. Belum lagi kebiasaan burukku, begadang dan minum kopi. Tapi, begitulah manusia. Semakin dilarang, malah semakin dilakukan. Rasanya hambar sekali kalau makan tak pakai sambal. Juga, hidup ini seakan tidak 'estetik' kalau belum ngopi-ngopi cantik. Makanya, aku masih setia dengan tingkah laku burukku.
Seperti yang sudah aku katakan, kalau aku akan berjoging di sore hari. Jadi, tepat pukul 15.00, aku sudah melakukan pemanasan.Kali ini, aku mengenakan pakaian olahraga yang siang tadi kubeli di pasar. Dari pada aku dibilang sengaja menggunakan pakaian olahraga anak SMA, demi memancing pria-pria muda.Agak kesal juga, punya tetangga kok sukanya ghibah. Tapi, mau dikata apa. Mulut kan mulut mereka. Dibungkam berapa kali pun, toh kebiasaan mereka tak juga hilang.Ah, dari pada memikirkan mereka, mending aku langsung ke lapangan kompleks buat joging. Kali ini, aku yakin bisa berjoging dengan damai, karena tak ada si penguntit – Lionel.Tiba di lapangan kompleks, aku mengamati sekeliling, memastikan situasi benar-benar aman. Ok, tak ada tanda-tanda Lionel. Lagi pula, kalau tiba-tiba dia muncul sore begini, bukankah sangat aneh? Segera aku memasang earphone, dan mulai aktivitas olahragaku. Tiga putaran, cukuplah! Tapi, belum juga satu putaran, aku melihat sosok yang sejak tadi beru
“Diminum dulu, Nak.” Tak menyetujui ucapanku yang ‘mengusir’ Lionel, ibu langsung membuatkan minuman untuknya.Aduh, ibu! Kenapa beramah-tamah dengan dia, sih? Ibu tidak tahu saja dia ini selalu menguntit anak ibu?! Untung hari ini dia menolongku, jadi aku biarkan saja dia menikmati minumannya dulu. Tapi, tidak akan berlaku untuk hari-hari selanjutnya.“Terima kasih, Bu!” Lionel meraih segelas teh hangat yang dibuatkan ibu, dan meminumnya. Aku menyipitkan mata memandanginya, seakan-akan ingin dia segera menghabiskan teh itu dan pulang!“Mendy, kok kamu ngelihatnya begitu, sih?! Lionel pasti enggak nyaman!” bisik ibu sambil menyikut lenganku.Memang aku sengaja mau membuatnya tidak nyaman, biar cepat-cepat pulang. Apa lagi, aku melihat Ibu Kumala sudah bertandang ke rumah Ibu Sharlotta. Sebentar lagi, tinggal menunggu sedikit lagi.“Setelah ini, mending kamu pulang, deh! Nanti keburu gelap! Enggak enak dilihat tetangga,” ucapku ketus.Lionel mengangguk, dan saat itu juga dia lang
“Katanya tadi malam ada cowok ganteng yang anterin kamu pulang, ya?!”Suara Britney yang sangat kukenali, mulai terdengar ketika aku sedang membersihkan halaman rumah pagi ini. Tanpa berbalik menatapnya, aku bisa merasakan jika dia sedang memandangiku dengan tatapan sinis dari teras rumahnya.Aku yakin sekali, Ibu Kumala sudah menceritakan yang bukan-bukan tentangku dan Lionel. Pasti sudah ditambah bumbu bermacam-macam jenis!“Katanya, kamu dianterin pakai motor yang ... Itu tuh, biasa dipakai abang-abang buat anterin galon, ya!” ujar Britney lagi, terdengar mengejek."Emang cocok banget sama kamu!"Aku tak menjawab. Aku masih sibuk dengan aktivitasku. Kalau dijawab, tak akan ada habisnya.Mungkin, karena merasa kesal semua ocehannya tidak aku ladeni, Britney memasuki halaman rumahku. Kulihat dia mengenakan celana denim sepaha, dengan kaos kutang. Apa dia sengaja mau memamerkan bodynya yang – katanya – bercahaya bak artis Korea.Ya, setelah pertemuan dengan Amelia beberapa waktu l