Share

Bab 4. Berkenalan dengan Lionel

Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.

Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.

Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.

“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.

Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.

Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih dahulu di depan jalan. Tepat saat itu kesialan mulai muncul. Siapa lagi kalau bukan si Ibu Kumala, bos-nya para penggosip.

Wajahnya begitu terkejut melihatku yang sedang melakukan gerakan pemanasan, seakan-akan dia baru saja melihat seorang artis muncul di komplek. Uhuy!

“Duh, buat kaget saja! Saya pikir siapa yang pagi-pagi lagi gerak-gerak aneh di depan jalan!” celetuk Ibu Kumala sambil mengusap dadanya.

Ya, elah! Biasa saja kali! Harusnya, aku yang kaget melihat wajahnya yang menggunakan masker seputih tepung.

“Lagi pemanasan, Bu! Mau olahraga,” jawabku singkat.

Ibu Kumala menatapku dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Mungkin, dia heran melihatku bangun sepagi ini.

“Oh, bagus itu! Memang kamu harusnya mulai sadar untuk bangun lebih pagi, dan olahraga! Apa lagi, kamu kan jarang sekali kena sinar matahari! Cuma di dalam kamar saja kerjanya! Baguslah, sudah sadar!” Panjang lebar Ibu Kumala mulai menceramahiku.

Kan, sudah kubilang! Ucapan ibu di rumah tadi mirip dengan si penggosip ini. Dan, aku terlalu malas untuk berdebat dengannya di pagi hari yang indah ini. Masih pagi, udaranya masih segar, begitu juga pikiranku. Jangan sampai dikotori kata-kata negatif dari Ibu Kumala. Pergi, pergilah wahai vibes negatif!

“Pamit dulu, Bu!” sahutku, sambil berlalu melewatinya.

Aku merasakan tatapan tajam yang menusuk punggungku. Berani bertaruh, dia pasti langsung menuju ke rumah kedua sahabat penggosipnya, untuk menggosipkan diriku yang tiba-tiba berolahraga.

Bodoh amat! Aku enggak peduli! Segera aku memasang earphone, dan mulai berjoging.

Hari ini, suasana lapangan dekat kompleks lumayan ramai oleh pengunjung. Beberapa orang tua terlihat sibuk berolahraga, tapi ada juga anak-anak yang sedang asyik bermain. Aku mulai berjalan menyusuri area joging sekeliling lapangan. Untuk permulaan, tiga putaran cukuplah menurutku.

Selesai berjoging, aku mengambil tempat di atas rerumputan, untuk mengistirahatkan tubuh sejenak.

"Hai, kakak! Beli nasi kuningnya?"

Aku menengadahkan kepala, menatap seorang pria yang sedang memegang dua bungkusan nasi. Wajahnya tampan sekali untuk ukuran penjual nasi kuning. Kulitnya putih bersih, memakai topi dan kaos lucu bergambar Pokemon. Aku bertanya-tanya, berapa usia pria ini? Karena zaman sekarang, yang tampang imut-imut begini biasanya sudah kepala tiga. Jangan tertipu tampangnya!

"Halo, kakak?" Pria itu membuyarkan penilaiankan atas dirinya.

Aku mengalihkan pandangan sekejap, pura-pura mengelap keringatku, lantas kembali menatap pria itu sambil tersenyum.

"Ehm, terima kasih untuk tawarannya. Tapi, maaf aku enggak beli," jawabku terdengar seperti sedang menjawab pertanyaan seorang bos saja.

Pria itu tersenyum, lantas berlalu begitu saja dari hadapanku. Huh, setidaknya dia menanyakan namaku, kek! Eh, tapi kenapa aku berharap sekali? Dia kan hanya penjual makanan biasa! Bisa-bisanya aku terpesona hanya karena wajahnya.

Aku memutuskan untuk duduk beberapa menit lagi, sebelum pulang. Tapi, tidak disangka jika pria penjual nasi kuning itu kembali menemuiku. Dia bahkan duduk di sampingku, dengan dua bungkus nasi di tangannya.

"Makan, kak?" tawar si pria yang belum aku tahu namanya.

Dengan cepat, aku menggelengkan kepala dan tangan. Meski tampan, aku tidak bisa menerima begitu saja makanan dari orang asing. Jangan-jangan, dia punya maksud terselubung? Atau, bisa saja dia adalah utusan salah satu Medusa, untuk mencelakaiku? Mungkin, di dalam nasinya sudah dicampur sianida? Kan, siapa tahu?!

"Enggak ada racunnya, kok!" celetuk pria itu seakan mampu membaca pikiranku. "Ah, mungkin karena belum kenalan ya, jadi kakak enggak mau menerima pemberianku?"

"Bukan, bukan begitu!" sahutku cepat. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ngasi makanannya ke aku? Apa aku kelihatan seperti anak-anak terlantar yang butuh makanan, ya?"

Pria itu terkikik di sampingku. "Enggak, kok! Cuma pengen ngajak kakak makan sama-sama saja! Soalnya, malas banget makan sendirian."

Aku menyipitkan mata, sambil memandangi si penjual nasi kuning. Ada dua orang di sana. Seorang ibu dan bapak.

"Kan ada orang tuamu! Kenapa enggak makan sama mereka?" tanyaku sambil menunjuk ke arah penjual nasi kuning itu.

"Mereka bukan orang tuaku, kak! Tadi, aku cuma bantuin mereka jualan saja! Soalnya, banyak cewek yang antre pas aku jualan, jadi dimintai tolong sama ibunya," jawab pria itu enteng.

Aku mencibir. Terdengar seperti sedang membanggakan diri sekali pria ini. Yah, memang tampan sih! Tapi, ogah banget kalau narsis begini.

"Ngomong-ngomong, aku Lionel," ucap pria itu. "Boleh tahu nama kakak?"

"Mendy," jawabku singkat. Dari pada dibilang sombong, kalau memberitahu nama tak apalah!

Lionel mengangguk sambil tersenyum. "Cantik seperti orangnya, ya!"

Apa? Apa yang baru dia katakan? Cantik? Apakah dia sedang merayuku? Bergombal ria? Huh, aku tidak suka pria seperti ini. Mudah sekali mengumbar pujian pada wanita yang baru ditemuinya. Tipe playboy kelas kakap pastinya!

"Jadi, kamu mau terima ini atau tidak?" tanya Lionel sambil menyodorkan sebungkus nasi kuning padaku. Dia tak lagi memanggilku kakak. Apa dia berpikir aku lebih muda darinya?

Meski enggan, aku akhirnya menerima pemberian Lionel. Aku sudah memutuskan dalam hati, akan memberi nasi kuning itu pada bapak yang sedang menyapu jalanan.

"Enggak dimakan?" tanya Lionel.

"Enggak," sahutku.

"Kalau gitu, aku makan punyaku, ya!" ucap Lionel.

Mau makan ya makan saja! Kenapa harus minta izin padaku, sih?!

Aku mengalihkan pandangan pada penunjuk waktu di ponsel. Sudah hampir jam delapan, jadi aku harus segera pulang.

"Maaf, aku harus pulang!" ucapku seraya bangkit dari duduk.

"Besok joging lagi?" tanya Lionel yang juga sudah ikut berdiri.

Aku belum tahu, apakah aku akan bangun pagi lagi atau tidak. Jadi, aku hanya mengedikkan bahu. Tapi, aku bisa melihat raut kecewa di wajah Lionel.

"Kenapa dia harus kecewa jika aku tidak datang?" batinku.

Aku pun berbalik dan mengambil langkah untuk pulang. Tapi, samar-samar aku mendengar teriakan Lionel.

"Senang berkenalan denganmu, Mendy!"

Ish, apa-apan, sih?! Pasti dia tipe pria yang baik hati pada semua wanita! Seperti pria-pria yang pernah menjadi karakter utama novelku. Dan, aku sangat menghindari pria-pria seperti itu. Hobinya membuat para wanita salah tingkah, tapi kemudian di-ghosting. Kesel, kan!

Maaf saja ya, Lionel! Ini pertama dan terakhir kali kita bertemu!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status