Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.
Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih dahulu di depan jalan. Tepat saat itu kesialan mulai muncul. Siapa lagi kalau bukan si Ibu Kumala, bos-nya para penggosip.Wajahnya begitu terkejut melihatku yang sedang melakukan gerakan pemanasan, seakan-akan dia baru saja melihat seorang artis muncul di komplek. Uhuy!“Duh, buat kaget saja! Saya pikir siapa yang pagi-pagi lagi gerak-gerak aneh di depan jalan!” celetuk Ibu Kumala sambil mengusap dadanya.Ya, elah! Biasa saja kali! Harusnya, aku yang kaget melihat wajahnya yang menggunakan masker seputih tepung.“Lagi pemanasan, Bu! Mau olahraga,” jawabku singkat.Ibu Kumala menatapku dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Mungkin, dia heran melihatku bangun sepagi ini.“Oh, bagus itu! Memang kamu harusnya mulai sadar untuk bangun lebih pagi, dan olahraga! Apa lagi, kamu kan jarang sekali kena sinar matahari! Cuma di dalam kamar saja kerjanya! Baguslah, sudah sadar!” Panjang lebar Ibu Kumala mulai menceramahiku.Kan, sudah kubilang! Ucapan ibu di rumah tadi mirip dengan si penggosip ini. Dan, aku terlalu malas untuk berdebat dengannya di pagi hari yang indah ini. Masih pagi, udaranya masih segar, begitu juga pikiranku. Jangan sampai dikotori kata-kata negatif dari Ibu Kumala. Pergi, pergilah wahai vibes negatif!“Pamit dulu, Bu!” sahutku, sambil berlalu melewatinya.Aku merasakan tatapan tajam yang menusuk punggungku. Berani bertaruh, dia pasti langsung menuju ke rumah kedua sahabat penggosipnya, untuk menggosipkan diriku yang tiba-tiba berolahraga.Bodoh amat! Aku enggak peduli! Segera aku memasang earphone, dan mulai berjoging.Hari ini, suasana lapangan dekat kompleks lumayan ramai oleh pengunjung. Beberapa orang tua terlihat sibuk berolahraga, tapi ada juga anak-anak yang sedang asyik bermain. Aku mulai berjalan menyusuri area joging sekeliling lapangan. Untuk permulaan, tiga putaran cukuplah menurutku.Selesai berjoging, aku mengambil tempat di atas rerumputan, untuk mengistirahatkan tubuh sejenak."Hai, kakak! Beli nasi kuningnya?"Aku menengadahkan kepala, menatap seorang pria yang sedang memegang dua bungkusan nasi. Wajahnya tampan sekali untuk ukuran penjual nasi kuning. Kulitnya putih bersih, memakai topi dan kaos lucu bergambar Pokemon. Aku bertanya-tanya, berapa usia pria ini? Karena zaman sekarang, yang tampang imut-imut begini biasanya sudah kepala tiga. Jangan tertipu tampangnya!"Halo, kakak?" Pria itu membuyarkan penilaiankan atas dirinya.Aku mengalihkan pandangan sekejap, pura-pura mengelap keringatku, lantas kembali menatap pria itu sambil tersenyum."Ehm, terima kasih untuk tawarannya. Tapi, maaf aku enggak beli," jawabku terdengar seperti sedang menjawab pertanyaan seorang bos saja.Pria itu tersenyum, lantas berlalu begitu saja dari hadapanku. Huh, setidaknya dia menanyakan namaku, kek! Eh, tapi kenapa aku berharap sekali? Dia kan hanya penjual makanan biasa! Bisa-bisanya aku terpesona hanya karena wajahnya.Aku memutuskan untuk duduk beberapa menit lagi, sebelum pulang. Tapi, tidak disangka jika pria penjual nasi kuning itu kembali menemuiku. Dia bahkan duduk di sampingku, dengan dua bungkus nasi di tangannya."Makan, kak?" tawar si pria yang belum aku tahu namanya.Dengan cepat, aku menggelengkan kepala dan tangan. Meski tampan, aku tidak bisa menerima begitu saja makanan dari orang asing. Jangan-jangan, dia punya maksud terselubung? Atau, bisa saja dia adalah utusan salah satu Medusa, untuk mencelakaiku? Mungkin, di dalam nasinya sudah dicampur sianida? Kan, siapa tahu?!"Enggak ada racunnya, kok!" celetuk pria itu seakan mampu membaca pikiranku. "Ah, mungkin karena belum kenalan ya, jadi kakak enggak mau menerima pemberianku?""Bukan, bukan begitu!" sahutku cepat. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba ngasi makanannya ke aku? Apa aku kelihatan seperti anak-anak terlantar yang butuh makanan, ya?"Pria itu terkikik di sampingku. "Enggak, kok! Cuma pengen ngajak kakak makan sama-sama saja! Soalnya, malas banget makan sendirian."Aku menyipitkan mata, sambil memandangi si penjual nasi kuning. Ada dua orang di sana. Seorang ibu dan bapak."Kan ada orang tuamu! Kenapa enggak makan sama mereka?" tanyaku sambil menunjuk ke arah penjual nasi kuning itu."Mereka bukan orang tuaku, kak! Tadi, aku cuma bantuin mereka jualan saja! Soalnya, banyak cewek yang antre pas aku jualan, jadi dimintai tolong sama ibunya," jawab pria itu enteng.Aku mencibir. Terdengar seperti sedang membanggakan diri sekali pria ini. Yah, memang tampan sih! Tapi, ogah banget kalau narsis begini."Ngomong-ngomong, aku Lionel," ucap pria itu. "Boleh tahu nama kakak?""Mendy," jawabku singkat. Dari pada dibilang sombong, kalau memberitahu nama tak apalah!Lionel mengangguk sambil tersenyum. "Cantik seperti orangnya, ya!"Apa? Apa yang baru dia katakan? Cantik? Apakah dia sedang merayuku? Bergombal ria? Huh, aku tidak suka pria seperti ini. Mudah sekali mengumbar pujian pada wanita yang baru ditemuinya. Tipe playboy kelas kakap pastinya!"Jadi, kamu mau terima ini atau tidak?" tanya Lionel sambil menyodorkan sebungkus nasi kuning padaku. Dia tak lagi memanggilku kakak. Apa dia berpikir aku lebih muda darinya?Meski enggan, aku akhirnya menerima pemberian Lionel. Aku sudah memutuskan dalam hati, akan memberi nasi kuning itu pada bapak yang sedang menyapu jalanan."Enggak dimakan?" tanya Lionel."Enggak," sahutku."Kalau gitu, aku makan punyaku, ya!" ucap Lionel.Mau makan ya makan saja! Kenapa harus minta izin padaku, sih?!Aku mengalihkan pandangan pada penunjuk waktu di ponsel. Sudah hampir jam delapan, jadi aku harus segera pulang."Maaf, aku harus pulang!" ucapku seraya bangkit dari duduk."Besok joging lagi?" tanya Lionel yang juga sudah ikut berdiri.Aku belum tahu, apakah aku akan bangun pagi lagi atau tidak. Jadi, aku hanya mengedikkan bahu. Tapi, aku bisa melihat raut kecewa di wajah Lionel."Kenapa dia harus kecewa jika aku tidak datang?" batinku.Aku pun berbalik dan mengambil langkah untuk pulang. Tapi, samar-samar aku mendengar teriakan Lionel."Senang berkenalan denganmu, Mendy!"Ish, apa-apan, sih?! Pasti dia tipe pria yang baik hati pada semua wanita! Seperti pria-pria yang pernah menjadi karakter utama novelku. Dan, aku sangat menghindari pria-pria seperti itu. Hobinya membuat para wanita salah tingkah, tapi kemudian di-ghosting. Kesel, kan!Maaf saja ya, Lionel! Ini pertama dan terakhir kali kita bertemu!***“Bagaimana, Bu? Persiapannya sudah selesai?” tanya Mendy yang sudah bersiap dengan kopernya. Tampak Ibu Ida keluar dari kamar, dengan membawa sebuah koper juga. Bahkan, Ibu Ida sudah mengenakan sebuah blus bercorak pantai, seakan mau menunjukkan kalau Ibu Ida mau ke pantai. Ya, pantai-pantai di Bali. “Sudah! Semua beres!” jawab Ibu Ida. Mendy terkejut dengan pakaian yang digunakan mamanya, juga kacamata hitam serta topi bundar. Benar-benar kayak orang mau piknik ke pantai. “Aduh, Bu! Bajunya diganti saja, deh!” ucap Mendy yang memikirkan bagaimana tanggapan komplotan Ibu Kumala nantinya. “Lho, kita kan mau ke Bali, jadi ibu pakai baju pantai, dong! Memangnya salah?” Mendy menepuk jidatnya. Pasalnya kan, ke Bali masih naik pesawat, bukan tiba-tiba langsung sampai saja di Bali. Mendy enggak mau ibunya jadi bahan tertawaan para tetangga Medusa, atau penumpang pesawat lainnya. “Bu, please deh!” celetuk Mendy. “Pakai baju biasa saja. Kan kita masih naik pesawat. Nanti, kalau sudah di
Aku baru saja menyelesaikan desain milik Tuan Lime, setelah beberapa hari berkutat dengan revisi. Pada akhirnya, hari ini Tuan Lime menerima hasil desainku. Dan, upah yang sudah kunantikan dibayar lunas. Aku berlari keluar dari kamar mencari ibu yang sedang mencuci piring di dapur. “IBU, IBU!” seruku, membuat ibu terkejut menatapku. “Duh, Mendy! Kalau kamu selalu teriak begini, bisa-bisa ibu jantungan, lho!” jawab ibu. Aku langsung memeluk ibu dengan erat, membuat ibu bertanya apa yang terjadi padaku. “Selesai ini, ibu ganti baju! Lalu, siapkan beberapa pakaian, dan kita akan ke Bali selama 3 hari!” ucapku membuat ibu melongo. “Bali? Kita ke Bali?” tanya ibu seakan tidak percaya dengan kata-kataku barusan. Aku berputar di hadapan ibu seperti permainan gasing, karena geregetan dengan ibu. “Iya, Bu! Ke Bali! Mendy akan pesankan tiketnya hari ini juga!” seruku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Tak menjawabku, ibu malah membilas tangannya, dan menarikku ke meja makan. “Jelask
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00. Para Medusa, Britney dan Edy sudah pulang sejak pukul 12:00 tadi. Kini, hanya aku bersama Ibu dan Lionel. Mbak Dewi juga sudah disuruh ibu untuk pulang. "Hari ini sampai di sini saja dulu, ya! Nak Lionel, kamu boleh pulang. Biar ibu dan Mendy yang melanjutkan sisanya," ucap ibu pada Lionel yang baru selesai memajang beberapa pakaian.Aku hanya terdiam dengan tampang cemberut level dewa. Bisa-bisanya dia masih di sini, setelah tadi dia berbisik manja dengan Britney! Dasar pengkhianat! Padahal, hari-hari sebelumnya, dia menempel padaku! Bahkan, sedetik sebelum berbisik dengan Britney, dia masih tersenyum padaku! Tapi, dalam sekejap dia sudah beralih pada Britney! Huh!Eh, tapi kok aku kesal, ya? Seharusnya kan aku senang, karena si Lionel bersatu dengan sejenisnya! Dengan begitu, dia tak lagi menggangguku! Tetap saja! Selama dia masih berkeliaran di dekat ibu, aku tak rela! Kalau mau mengikuti Britney, jangan ada lagi di sekitarku maupun ibu! Berg
“Wah, wah! Tumben sekali melihat kamu di sini!” sindirku pada Britney yang sedang asyik membantu Lionel.Mendengar suaraku, Britney dan Lionel langsung mengangkat kepalanya, dan menatapku. Sejurus kemudian, Britney sudah berdiri di sampingku sambi tersenyum, diikuti Lionel. Aku berkacak pinggang melihat keduanya.“Kamu juga di sini? Harusnya, aku yang heran lihat kamu di sini!” Entah kenapa Britney terlihat heran karena kehadiranku.“Biasanya kamu enggak ada, tuh! Kok, tumben banget hari ini kamu di sini?” tanya Britney lagi.Aku mengerutkan kening. Apa artinya ini? Memangnya, Britney selalu ke sini?“Kenapa? Ada yang salah?” balasku ketus. “Ini kan butik ibuku! Aku mau ke sini kapan saja, terserah aku, dong! Kok situ yang sewot? Kecuali, aku yang menanyakan kehadiran kamu?! Untuk apa ke sini? Buat ngutang?!” Terang-terangan aku bertanya di depan Lionel. Wajah Britney seketika memerah dan gelagapan.“Aduh, Mendy ini suka bercanda! Jangan dengarkan dia, Lionel!” jawab Britney sam
“Pergi!” Aku membuka pintu keluar, dan menyuruh Lionel untuk segera keluar dari butik ibu. Siapa dia, sih sampai ibu bela-belain dia untuk membantu ibu? Padahal, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Cuma karena pernah menolongku sekali, ibu langsung menganggap Lionel adalah orang yang baik. Padahal, ibu tidak tahu saja kalau si Lionel itu penguntit! Aku yakin, dia punya rencana busuk mendekati ibu! Atau, jangan-jangan .... Aku menggelengkan kepalaku, tak mau memikirkan apa yang baru terlintas. Enggak, enggak! Enggak mungkin kan, Lionel suka sama ibuku? Dia mendekati ibu, supaya bisa meraup keuntungan dari bisnis ibu?! Aku semakin kesal pada Lionel, karena pikiranku sendiri. “Mendy, kamu ini kenapa, sih?” tanya ibu sembari mendekatiku. Di belakang ibh, Lionel sedang menundukkan kepala, seperti seorang bocah yang kena tangkap mencuri. “Bu, dia siapa sih, sampai ibu selalu bersama dia?! Pakai minta bantuan dia buat beres-beres begini?!” jawabku, sesekali menunjuk ke arah
“Selamat pagi, Kak Mendy.”Aku mengangkat wajahku pada sumber suara. Tampak Edi – anak kedua Ibu Kumala, yang entah kenapa berbeda 180 derajat dengan Ibu Kumala dan Britney – menyapaku.Yang aku tahu, Edi bekerja di luar kota sebagai karyawan asuransi. Mungkin, saat ini dia sedang cuti jadi pulang ke rumah.Edi adalah sosok yang jarang bicara. Yah, tipe introvert begitu lah! Tapi, itu dulu. Ketika dia masih jadi anak sekolah, setiap melihatku maka Edi akan pura-pura mencabut rumput. Dia tak menegurku sama sekali.Tapi, setelah bekerja, dia mulai jadi orang yang ramah pada semua tetangga. Berbeda dengan ibu dan sang kakak.Kalau si anak ketiga – Heri – sikapnya rada-rada mirip Britney alias suka pamer. Saat ini, Heri yang berbeda 5 tahun dariku, sudah bekerja di salah satu kantor pemerintahan di kota lain. Setelah tamat SMA waktu itu, dia mengikuti tes yang dibuka, dan rupanya dia lulus.Bayangkan bagaimana senangnya Ibu Kumala dan Britney. Selama satu bulan, pembicaraan mereka h