“Bagaimana, Bu? Persiapannya sudah selesai?” tanya Mendy yang sudah bersiap dengan kopernya. Tampak Ibu Ida keluar dari kamar, dengan membawa sebuah koper juga. Bahkan, Ibu Ida sudah mengenakan sebuah blus bercorak pantai, seakan mau menunjukkan kalau Ibu Ida mau ke pantai. Ya, pantai-pantai di Bali. “Sudah! Semua beres!” jawab Ibu Ida. Mendy terkejut dengan pakaian yang digunakan mamanya, juga kacamata hitam serta topi bundar. Benar-benar kayak orang mau piknik ke pantai. “Aduh, Bu! Bajunya diganti saja, deh!” ucap Mendy yang memikirkan bagaimana tanggapan komplotan Ibu Kumala nantinya. “Lho, kita kan mau ke Bali, jadi ibu pakai baju pantai, dong! Memangnya salah?” Mendy menepuk jidatnya. Pasalnya kan, ke Bali masih naik pesawat, bukan tiba-tiba langsung sampai saja di Bali. Mendy enggak mau ibunya jadi bahan tertawaan para tetangga Medusa, atau penumpang pesawat lainnya. “Bu, please deh!” celetuk Mendy. “Pakai baju biasa saja. Kan kita masih naik pesawat. Nanti, kalau sudah d
“Duh, kalau anak saya mah pagi gini sudah bangun, sudah rapi dan langsung pergi kerja! Kok anaknya Bu Ida betah molor sampai siang gini, ya? Pantes aja, lho, rezekinya dipatok ayam! Lagi pula, Bu Ida terlalu manjain anak ibu, deh, mentang-mentang anak gadis satu-satunya!” “Iya, bener! Terus, nih, Bu ... Kalau ibu enggak ajarin dia bangun pagi dan ngurusin rumah, bakal susah dapet suami, lho! Emang mau anaknya jadi perawan tua?!” “Iya, betul ibu! Saya punya anak saja, si Maria Mersedes itu – baru SMP, tapi yang antre mau lamar dia sudah 5 orang! Dia itu saya sudah ajar kerja rumah tangga dari SD! Saya curiga, anak ibu jomblo salah satunya karena itu, MALAS?!” Sindiran demi sindiran terdengar dari balik kaca jendela kamarku, yang berbatasan dengan pagar rumah. Dan di depan pagar rumah itulah, para ibu-ibu kompleks sering berdiri untuk belanja sayuran di pagi hari, sambil bergosip tentunya. Tiada hari tanpa gosip atau nyinyirin orang lain. Bahkan, kalau disuruh memilih masak dulu atau
Aku baru saja selesai mandi, dan mulai duduk di meja makan. Seperti biasa, aku akan menikmati sarapan dengan ibu.Meski sudah agak terlambat, ibu selalu menungguku. Padahal, sering kali aku meminta ibu untuk sarapan lebih dahulu, mencegah ibu dari sakit akibat terlambat sarapan.Ngomong-ngomong, di rumah ini memang hanya ada aku dan ibu. Ayahku bertugas di kota lain, karena beliau adalah seorang tentara. Tapi, ayah tidak sendirian. Ayah bersama kakak laki-lakiku – Andi, yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor pemerintahan.Ibu memilih untuk tinggal di rumah bersamaku, karena ibu memiliki usaha butik di Surabaya, yang tak bisa ditinggalkan. Tapi, meski begitu, kami sering mengunjungi ayah dan kakak, atau sebaliknya. Namun, aku senang karena tahun depan ayah sudah pensiun, artinya ayah akan berkumpul dengan kami di rumah.Selain kakak laki-laki, aku juga memiliki adik laki-laki – Roy – yang saat ini sedang mengambil kuliah di luar negeri. Roy adalah anak yang cerdas, sehingga dia m
Aku menguap lebar sambil menyeret langkah keluar dari OmegaMart di pinggir jalan raya, dekat dengan kompleks perumahan kami, pada sore harinya, sepulang mengambil uang dari bank. Baru saja aku membeli beberapa camilan dan pesanan ibu. Aku memang senang membeli camilan sehat ketika menerima upah kerjaku. Dari pada membeli camilan yang membuat berat tubuhku meningkat, apalagi aku selalu begadang. Lebih baik, membeli camilan sehat untuk menunjang aktivitasku.Aku selalu menikmati perjalanan keluar rumah di sore hari, karena lingkungan kompleks sore hari cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain di jalanan. Senang sekali melihat kebahagiaan mereka. Terkesan jujur menurutku. Apa lagi, aku baru selesai berkutat di depan komputer, senang rasanya melihat keceriaan seperti ini. Seakan sedang nostalgia.Kulihat, ada yang bermain sepeda, ada juga yang bermain tali. Semua dipenuhi aura keceriaan. Kecuali ....Mataku tertuju pada TTM yang sedang duduk depan rumah Ibu Yoona, sambil menikmati
Hari ini aku bangun lebih pagi, tepatnya di pukul 06.00. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, tadi malam aku tidur lebih cepat karena telah menyelesaikan beberapa bab untuk novel online-ku pada hari sebelumnya. Terlebih, belum ada proyek desain yang masuk. Jadi, minggu ini aku bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi.Karena sudah bangun sepagi ini, aku berencana untuk berolahraga. Apa lagi, aku sadar jika aku tak begitu banyak bergerak ketika sedang fokus bekerja. Ini saatnya aku membiarkan tubuhku, agar tidak cepat dibilang sobat jompo.Selesai menggunakan pakaian olahraga semasa SMA – karena kebetulan aku tidak punya pakaian olahraga lain – aku pun pamit pada ibu yang terlihat sedang menyiapkan sarapan.“Kamu harus rajin-rajin olahraga, biar tubuhmu sehat! Apa lagi, kamu jarang kena sinar matahari. Cuma di dalam rumah saja,” celetuk ibu terdengar seperti para penggosip itu.Aku hanya mendengus dan berlalu dari hadapan ibu.Sebelum mulai berlari, aku melakukan pemanasan lebih da
Tepat pukul delapan, aku sudah kembali ke rumah, dan mengistirahatkan tubuhku lagi sebelum mandi. Aku memilih duduk di pekarangan sebelah kanan, yang bersebelahan dengan pagar rumah Ibu Kumala. Tempat itu tertutup dari jalanan, jadi tak akan ada yang melihatku sedang beristirahat di sana.Aku memang sengaja duduk di sana, karena aku yakin sebentar lagi Ibu Kumala akan berkumpul dengan dua penggosip lainnya di lapak Mang Al. Aku mau mendengar apa yang akan dia bahas kali ini. Dan, benar saja dugaanku.“Eh, tahu gak! Tadi pagi si Mendy joging, lho! Pakai pakaian olahraga SMA!” ucap Ibu Kumala setengah berbisik.Aku mengamati dari celah-celah pagar yang terhalang tanaman sirih. Aku bisa melihat wajah Ibu Kumala yang terkesan mengejek apa yang aku lakukan.“Eh, jinja?” celetuk Ibu Yoona dengan aksen Korea dibuat-buat.Jinja, jinja! Jijay sama kalian!“Yang benar saja, kakak ibu? Perempuan pemalas begitu juga bisa bangun pagi dan olahraga? Tumben sekali!” timpal Ibu Sharlotta Mersedes.Asta
Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba. Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk. Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu. “Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku. Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu. “Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti hari sebelumnya, dikarenakan jadwal tidur yang mulai membaik. Aku bersyukur, sih karena aku bisa memulai hidup sehat. Aku tidak mau bersakit-sakit di usia lanjut. Makanya, aku memutuskan untuk joging seperti hari sebelumnya. Ku lirik jarum jam di weker yang terletak di atas meja. Pukul setengah enam. “Baiklah!” seruku. Aku berencana untuk berjoging di tempat lain, bukan di lapangan dekat kompleks. Alasannya hanya satu! Aku tidak ingin bertemu Lionel! Bukan hanya Lionel saja orang yang tidak ingin kutemui, tapi juga para penggosip. Aku yakin, mereka akan menggosipkan yang tidak-tidak, jika melihatku joging lagi. Maka dari itu, selesai bersiap, aku segera keluar. Biasanya, pukul begini Ibu Kumala belum terlihat di luar rumah. Cepat-cepat aku melangkahkan kakiku, melewati rumah Ibu Kumala. Tapi, oh betapa sialnya aku! Selamat dari mulut singa, masuk ke mulut buaya. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba saja Ibu Yoona sudah berada di belakan