Aku menanti dengan sabar di depan teras rumah sore harinya. Pasalnya, sesuai jadwal yang aku lihat di aplikasi belanja, hari ini pesanan laptopku akan tiba.
Sengaja aku membelinya secara daring, karena setelah perhitungan panjang lebar, belanja daring lebih murah dibanding offline. Meski, agak waswas jika yang datang malah zonk.
Tapi, sebelum memutuskan belanja di toko itu, aku sudah lebih dahulu melihat ulasan dari pembeli-pembeli sebelumnya. Karena tidak ada ulasan negatif, aku menjalankan niat membeli laptop di toko online itu.
“Belum datang juga?” tanya ibu sambil membawa nampan berisi teh tawar panas dan pisang goreng kesukaanku.
Sore-sore begini, aku dan ibu memang selalu menikmati pisang goreng dan teh tawar di teras rumah. Rasanya nikmat, apa lagi kalau tidak ada tiga Medusa itu.
“Iya, Bu! Mungkin, masih dalam perjalanan. Pasti banyak yang diantar, bukan punya aku saja,” jawabku, sembari mencomot salah satu pisang goreng yang masih panas. Aku meringis karena hawa panas mengenai jemariku.
“Makanya, hati-hati! Sudah lihat asapnya mengepul begitu, masih nekat,” ceramah ibu, dan aku hanya cemberut.
Baru saja tadi aku mengatakan nikmatnya nge-teh sore bersama ibu tanpa gangguan para Medusa, seketika muncullah Ibu Kumala entah dari mana. Aku bertaruh, dia akan menghampiri kami demi pisang goreng ini.
“Selamat sore Bu Ida!” sapa Ibu Kumala dengan wajah riangnya. Dia tak menyapaku, mungkin masih kesal dengan kata-kataku tadi pagi.
“Selamat sore Bu Kumala! Mau ke mana?” tanya ibu ramah seperti biasanya.
Tanpa malu-malu, Ibu Kumala langsung menghampiri kami, dan duduk di salah satu kursi. Kebetulan, di teras terdapat empat kursi, karena jika ada ayah dan kakak, kami berempat biasa menghabiskan sore hari dengan nge-teh sambil bercerita.
“Mau joging sore sebenarnya! Tapi, pas ngelihat Ibu Ida sedang menikmati pisang goreng, entah kenapa kok saya jadi tergiur!” jawab Ibu Kumala tanpa malu-malu. Memang dasar kulit badak sekali orang ini!
Ibu tersenyum tipis sambil melirik ke arahku yang acuh tak acuh. Aku dengan santai tetap menikmati pisang goreng buatan ibu.
“Mari, Bu! Silakan dimakan, mumpung masih hangat,” ujar ibu mempersilakan.
Tak perlu menunggu lama, Ibu Kumala yang bertubuh gempal itu langsung mengambil dua buah pisang goreng, dan melahapnya. Aku melongo melihat wanita itu. Apakah dia belum pernah memakan pisang goreng?
“Aduh, memang rezeki saya, ya! Padahal, mau joging tapi diajak makan pisang goreng!” seru Ibu Kumala, lantas kembali mengambil pisang goreng di atas meja.
Sadar, Bu, sadar! Ibu itu enggak diajak! Ibu yang tiba-tiba menyelonong ke rumah orang, dan berharap ditawari!
Ingin sekali aku berkata demikian, tapi aku bisa melihat raut wajah ibuku yang seolah memperingatkanku untuk bersabar.
“Bu Kumala, saya buatkan teh, ya?” tawar ibu yang bak ibu peri di sinetron bidadari. Ah, kenapa sih ibu harus beramah-tamah pada wanita ini!
“Aduh, repot sekali Ibu Ida ini! Saya kan jadi malu,” jawab Ibu Kumala dengan sebelah tangan lagi-lagi mencomot pisang goreng kami. Aku menghitung, sisa pisang goreng itu lima potong. Awas saja kalau dia habiskan semuanya!
“Ya sudah, Bu! Kalau begitu, saya enggak usah buat,” ujar Ibu. Tapi, buru-buru Ibu Kumala meralat ucapannya.
“Eh, enggak kok, Bu! Saya mau dong dibuatin! Masa makan pisang goreng enggak ada minumnya,” sahut Ibu Kumala enteng.
Wah, lihat ini! Tidak ada urat malunya lagi wanita ini! Padahal, pagi tadi dia baru saja mencemooh kami, tapi sore ini dia sudah minta dibuatkan teh dan makan makanan orang lain!
Karena kesal, aku langsung mengambil tiga potong pisang goreng dan memegangnya. Satu per satu aku melahapnya, disaksikan oleh Ibu Kumala.
“Eh, Mendy! Kalau jadi anak perempuan, jangan makan seperti itu! Nanti dilihat cowok-cowok, enggak ada yang bakal mau sama kamu, lho!” ucap Ibu Kumala melihatku dengan sewot.
“Lalu, Ibu boleh makan seperti tadi dan saya enggak boleh? Bodo amat dilihat cowok-cowok! Saya enggak peduli!” jawabku ketus.
Aku bisa melihat bibir Ibu Kumala menggerutu tanpa suara. Bahkan, setelah menikmati makanan kami pun, dia masih bisa menggerutu seperti itu pada pemberi makanan.
Tak berapa lama, ibu tiba dengan nampan berisi segelas teh manis untuk Ibu Kumala. Bertepatan dengan itu, si kurir yang membawa pesananku juga tiba. Bergegas aku menemui si kurir di samping kursi Ibu Kumala.
“Atas nama kakak Mendy?” tanya si kurir.
“Iya, saya sendiri!” jawabku tak sabaran ingin membuka paketku.
Setelah menandatangani formulir, dan diambil gambar oleh si kurir, aku kembali duduk di samping ibu dengan wajah semringah. Aku sampai lupa kalau Ibu Kumala juga ada di situ dan sedang penasaran sekali dengan paketku.
“Apa itu?” tanya Ibu Kumala. “Besar sekali paketnya? Dikirimi keluarga, kan?!” tanya Ibu Kumala sangat kepo.
Padahal, aku belum bilang apa-apa, tapi dia sudah menyimpulkan jika paketku dikirim oleh keluarga. Apa mungkin, dia pikir aku tidak bisa membeli sesuatu sendiri? Ah, mungkin saja dia berharap isinya adalah sesuatu yang bisa dibagi padanya juga?
“Oh, ini laptop, Bu! Mendy beli secara online. Soalnya, kalau ke mana-mana, bisa dia bawa untuk memudahkan pekerjaannya,” jawab ibu menggantikanku.
Aku bisa melihat jelas wajah penuh kedengkian dari Ibu Kumala.
“Oh, laptop toh! Saya pikir apaan! Padahal, kalau Mendy mau beli laptop, bisa beli punya Britney saja! Toh dia baru pakai 1 bulan, dan katanya mau diganti!” Seketika, Ibu Kumala mulai terdengar membanggakan si anak.
“Memangnya, berapa harga laptopnya si Britney?” tanyaku ogah-ogahan.
Ibu Kumala tak mengetahui harga pastinya, jadi dia meraih ponsel dan menghubungi Britney menanyakan harga laptop milik Britney.
“Ah, laptop mahal rupanya! Mungkin kamu enggak bisa beli, jadi beli online saja,” ucap Ibu Kumala sambil menutup telepon.
“Iya, mahal itu berapa?!” tanyaku kesal. Memangnya seharga iPhone 14 kah?
Ibu Kumala memandangku dengan remeh. “Harganya 4 juta! Jadi, si Britney jualnya 3.8 juta, karena baru dipakai 1 bulan!” jawab Ibu Kumala sambil terkekeh.
Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. “Ya ampun, Bu! Aku kira lebih dari 10 juta! Cuma 4 juta doang!”
Ibu Kumala tampak tak terima dengan perkataanku.
“Eh, kamu berani ngomong begitu, memangnya berapa sih harga laptop kamu? Paling juga beli yang dua jutaan, makanya lewat online!” balas Ibu Kumala.
Aku tak mau menjelaskan tanpa bukti. Jadi, segera aku menunjukkan harga laptop yang tertera di aplikasi belanja itu.
“Lihat, Bu!” perintahku, dan Ibu Kumala melebarkan matanya kala menatap harga yang tertera di sana.
“Maaf saja, ya, Bu! Kebutuhanku untuk desain, berbeda dengan Britney yang pakai buat ngetik sama nonton drakor doang! Makanya, aku harus beli yang harganya 12 jutaan! Aku mau yang paling oke!” jawabku ketus, sembari bangkit dari duduk.
“Bu, aku ke dalam dulu! Mau nyobain laptopnya!” ujarku pada ibu, lantas masuk ke dalam rumah meninggalkan Ibu Kumala yang masih melongo.
Dia pasti syok berat! Biar saja! Selalu membandingkan aku dan anaknya! Apa dia pikir hanya Britney yang bisa segala-galanya di dunia ini?! Huh!
***
“Bagaimana, Bu? Persiapannya sudah selesai?” tanya Mendy yang sudah bersiap dengan kopernya. Tampak Ibu Ida keluar dari kamar, dengan membawa sebuah koper juga. Bahkan, Ibu Ida sudah mengenakan sebuah blus bercorak pantai, seakan mau menunjukkan kalau Ibu Ida mau ke pantai. Ya, pantai-pantai di Bali. “Sudah! Semua beres!” jawab Ibu Ida. Mendy terkejut dengan pakaian yang digunakan mamanya, juga kacamata hitam serta topi bundar. Benar-benar kayak orang mau piknik ke pantai. “Aduh, Bu! Bajunya diganti saja, deh!” ucap Mendy yang memikirkan bagaimana tanggapan komplotan Ibu Kumala nantinya. “Lho, kita kan mau ke Bali, jadi ibu pakai baju pantai, dong! Memangnya salah?” Mendy menepuk jidatnya. Pasalnya kan, ke Bali masih naik pesawat, bukan tiba-tiba langsung sampai saja di Bali. Mendy enggak mau ibunya jadi bahan tertawaan para tetangga Medusa, atau penumpang pesawat lainnya. “Bu, please deh!” celetuk Mendy. “Pakai baju biasa saja. Kan kita masih naik pesawat. Nanti, kalau sudah di
Aku baru saja menyelesaikan desain milik Tuan Lime, setelah beberapa hari berkutat dengan revisi. Pada akhirnya, hari ini Tuan Lime menerima hasil desainku. Dan, upah yang sudah kunantikan dibayar lunas. Aku berlari keluar dari kamar mencari ibu yang sedang mencuci piring di dapur. “IBU, IBU!” seruku, membuat ibu terkejut menatapku. “Duh, Mendy! Kalau kamu selalu teriak begini, bisa-bisa ibu jantungan, lho!” jawab ibu. Aku langsung memeluk ibu dengan erat, membuat ibu bertanya apa yang terjadi padaku. “Selesai ini, ibu ganti baju! Lalu, siapkan beberapa pakaian, dan kita akan ke Bali selama 3 hari!” ucapku membuat ibu melongo. “Bali? Kita ke Bali?” tanya ibu seakan tidak percaya dengan kata-kataku barusan. Aku berputar di hadapan ibu seperti permainan gasing, karena geregetan dengan ibu. “Iya, Bu! Ke Bali! Mendy akan pesankan tiketnya hari ini juga!” seruku tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Tak menjawabku, ibu malah membilas tangannya, dan menarikku ke meja makan. “Jelask
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00. Para Medusa, Britney dan Edy sudah pulang sejak pukul 12:00 tadi. Kini, hanya aku bersama Ibu dan Lionel. Mbak Dewi juga sudah disuruh ibu untuk pulang. "Hari ini sampai di sini saja dulu, ya! Nak Lionel, kamu boleh pulang. Biar ibu dan Mendy yang melanjutkan sisanya," ucap ibu pada Lionel yang baru selesai memajang beberapa pakaian.Aku hanya terdiam dengan tampang cemberut level dewa. Bisa-bisanya dia masih di sini, setelah tadi dia berbisik manja dengan Britney! Dasar pengkhianat! Padahal, hari-hari sebelumnya, dia menempel padaku! Bahkan, sedetik sebelum berbisik dengan Britney, dia masih tersenyum padaku! Tapi, dalam sekejap dia sudah beralih pada Britney! Huh!Eh, tapi kok aku kesal, ya? Seharusnya kan aku senang, karena si Lionel bersatu dengan sejenisnya! Dengan begitu, dia tak lagi menggangguku! Tetap saja! Selama dia masih berkeliaran di dekat ibu, aku tak rela! Kalau mau mengikuti Britney, jangan ada lagi di sekitarku maupun ibu! Berg
“Wah, wah! Tumben sekali melihat kamu di sini!” sindirku pada Britney yang sedang asyik membantu Lionel.Mendengar suaraku, Britney dan Lionel langsung mengangkat kepalanya, dan menatapku. Sejurus kemudian, Britney sudah berdiri di sampingku sambi tersenyum, diikuti Lionel. Aku berkacak pinggang melihat keduanya.“Kamu juga di sini? Harusnya, aku yang heran lihat kamu di sini!” Entah kenapa Britney terlihat heran karena kehadiranku.“Biasanya kamu enggak ada, tuh! Kok, tumben banget hari ini kamu di sini?” tanya Britney lagi.Aku mengerutkan kening. Apa artinya ini? Memangnya, Britney selalu ke sini?“Kenapa? Ada yang salah?” balasku ketus. “Ini kan butik ibuku! Aku mau ke sini kapan saja, terserah aku, dong! Kok situ yang sewot? Kecuali, aku yang menanyakan kehadiran kamu?! Untuk apa ke sini? Buat ngutang?!” Terang-terangan aku bertanya di depan Lionel. Wajah Britney seketika memerah dan gelagapan.“Aduh, Mendy ini suka bercanda! Jangan dengarkan dia, Lionel!” jawab Britney sam
“Pergi!” Aku membuka pintu keluar, dan menyuruh Lionel untuk segera keluar dari butik ibu. Siapa dia, sih sampai ibu bela-belain dia untuk membantu ibu? Padahal, dia tidak punya hubungan apa-apa dengan kita! Cuma karena pernah menolongku sekali, ibu langsung menganggap Lionel adalah orang yang baik. Padahal, ibu tidak tahu saja kalau si Lionel itu penguntit! Aku yakin, dia punya rencana busuk mendekati ibu! Atau, jangan-jangan .... Aku menggelengkan kepalaku, tak mau memikirkan apa yang baru terlintas. Enggak, enggak! Enggak mungkin kan, Lionel suka sama ibuku? Dia mendekati ibu, supaya bisa meraup keuntungan dari bisnis ibu?! Aku semakin kesal pada Lionel, karena pikiranku sendiri. “Mendy, kamu ini kenapa, sih?” tanya ibu sembari mendekatiku. Di belakang ibh, Lionel sedang menundukkan kepala, seperti seorang bocah yang kena tangkap mencuri. “Bu, dia siapa sih, sampai ibu selalu bersama dia?! Pakai minta bantuan dia buat beres-beres begini?!” jawabku, sesekali menunjuk ke arah
“Selamat pagi, Kak Mendy.”Aku mengangkat wajahku pada sumber suara. Tampak Edi – anak kedua Ibu Kumala, yang entah kenapa berbeda 180 derajat dengan Ibu Kumala dan Britney – menyapaku.Yang aku tahu, Edi bekerja di luar kota sebagai karyawan asuransi. Mungkin, saat ini dia sedang cuti jadi pulang ke rumah.Edi adalah sosok yang jarang bicara. Yah, tipe introvert begitu lah! Tapi, itu dulu. Ketika dia masih jadi anak sekolah, setiap melihatku maka Edi akan pura-pura mencabut rumput. Dia tak menegurku sama sekali.Tapi, setelah bekerja, dia mulai jadi orang yang ramah pada semua tetangga. Berbeda dengan ibu dan sang kakak.Kalau si anak ketiga – Heri – sikapnya rada-rada mirip Britney alias suka pamer. Saat ini, Heri yang berbeda 5 tahun dariku, sudah bekerja di salah satu kantor pemerintahan di kota lain. Setelah tamat SMA waktu itu, dia mengikuti tes yang dibuka, dan rupanya dia lulus.Bayangkan bagaimana senangnya Ibu Kumala dan Britney. Selama satu bulan, pembicaraan mereka h