Aku berdiri di balkon gedung kantor, merasakan hembusan angin menerpa wajah dan menerbangkan helaian rambutku. Berada di lantai empat membuatku merasakan ketinggian yang menyadarkanku akan satu hal penting. Kalau berada di atas tidak selalu menyenangkan. Sewaktu-waktu kita bisa terjatuh jika tidak berhati-hati. Mungkin aku memang bisa menikmati pemandangan jalan raya padat kendaraan dan rumah-rumah yang bagaikan sebuah kubik kecil. Atau, toko-toko yang terlihat jauh berbeda dari sini. Seperti mainan miniatur rumah yang dibelikan oleh ibuku dulu. Sejujurnya, aku mempunyai trauma pada ketinggian. Tapi, Kak Panggih bilang segala sesuatu yang kita takutkan bisa diatasi. Asalkan kita mencoba dan berusaha sekeras mungkin.“Masih takut, Dik?” suara Kak Panggih yang berdiri persis di belakangku menggelitik telinga.Aku merasa bertambah deg-degan karena ia menjagaku dari belakang. Memposisikan tubuhnya berada dekat denganku dan menaruh kedua tangannya persis di sebelahku. Namun, kami tidak
Aku baru saja pulang kantor dan bergegas menuju apotek kimia farma yang berada di perempatan Jalan WR. Supratman menuju arah daerah Batubulan. Kemarin, aku menelepon Dokter tempat konseling setiap satu bulan sekali. Memang keluhan yang dirasakan olehku tidak banyak. Hanya merasa sedikit malas untuk makan. Padahal dulu aku sering sekali makan malam dan menyukai berbagai macam cemilan. Apalagi cemilan manis. Sekarang saja berat badanku kembali turun.Jam delapan malam, aku akhirnya sampai di parkiran motor. Membuka helm dan hoodie berwarna abu-abu yang cukup untuk membuatku merasa hangat. Dari tadi pagi hujan terus turun. Aku awalnya mengira kalau janji dengan dokter psikiaterku akan dibatalkan. Untunglah menjelang sore hujan sudah berhenti dan menyisakan seberkas warna-warni di langit yang dikenal dengan sebutan pelangi. Aku memandangi melalui balkon kantor sebelum akhirnya pergi karena Kak Panggih tiba-tiba ada di sebelahku. Sampai sekarang pun aku terus saja menghindar. Tidak be
Aku menghentikan laju motor di depan warung kecil, di dekat jembatan di Pasar Katrangan. Ada sebuah warung makan langganan tempatku membeli makan. Di sini menjual berbagai makanan. Seperti nasi kuning dan nasi campur. Tapi, favoritku adalah nasi kuning. Selain karena nasinya yang gurih. Aku menyukai lauk-lauknya. Ayam sisit, mi goreng, saur, dan juga tahu dengan bumbu balado. Aku tersenyum saat pedagang itu menyapaku. Seorang ibu berumur di awal empat puluhan yang mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Hal ini kuketahui setelah beberapa kali menyapa anaknya yang ikut membantu di warung. Aku menyukai semangat mereka dalam membantu orangtua. Tapi, kedua anak itu sudah tidak ada di sini sekarang. Kurasa karena sudah jam sembilan malam. Dan, biasanya mereka akan bersekolah keesokan harinya.“Bu, pesan nasi kuning pedas dua ya,” ucapku menyebutkan pesanananku. Kemudian, mataku memandangi deretan jajanan lain. Selain menjual nasi di sini, terdapat banyak sekali cemilan maupun bua
Aku berpura-pura sibuk dengan banyaknya laporan di meja kerja. Anggreni tadi permisi pulang lebih dahulu untuk mengantarkan kakaknya ke rumah sakit. Sedangkan, atasanku Pak Johny juga sudah pulang. Jam pulang kantor adalah jam lima sore. Harusnya sekarang aku juga pulang karena hari sudah malam. Sudah pukul tujuh malam. Dulu, mungkin aku akan takut. Apalagi saat melihat di sekitar sudah gelap. Dari tangga menuju lantai tiga sampai jendela di depan pintu yang mengarah langsung ke jalan sebelah kantor.Untuk hari ini, ada baiknya aku tidak berkuliah. Apa pun yang dikatakan dosen pasti tidak dapat kupelajari dengan serius. Kemarin hari terberat untukku. Dwiyan mengatakan perpisahan, hingga kurasa membuat jarak kami semakin jauh. Tidak ada lagi kita. Hanya ada aku dan dia yang berbeda. Tanpa ada canda tawa seperti dulu. Aku kadang-kadang merindukan masa-masa itu. Bagaimana hidup kami dipenuhi oleh canda tawa dan mimpi-mimpi yang nantinya akan diwujudkan bersama. Sama seperti sebuah mim
Hujan mengguyur dengan derasnya pada sore hari. Aku sudah tidak bisa kembali ke rumah, karena sudah terlanjur basah kuyup. Tas selempang kutaruh di dalam jok motor. Namun, dalam posisi ponselku dimatikan. Aku tidak ingin suatu hal buruk terjadi jika sampai ponselku dalam posisi menyala kuletakkan di dalam. Kalau berbelok ke kanan dari lampu merah ini, sudah sampai ke tempat kerjaku. Karena hari sabtu aku selalu libur. Aku tidak akan pergi bekerja hari ini. Namun, berniat mengunjungi kekasihku. Kosnya berada tidak jauh dari kantor. Sudah dua bulan kami berpacaran. Semenjak terakhir kali aku menangis di hadapannya. Ibu dan bapakku belum tahu. Menurutku, jika masih baru-baru pacaran akan lebih sulit mendapatkan restu. Jadi, aku memilih diam sampai hubungan kami berjalan lebih lama. Tentu saja aku sudah berpamitan tadi pada orangtuaku sebelum berangkat. Alasannya berkunjung ke rumah teman.Tubuhku menggigil kedinginan. Aku mengusap mataku untuk menyingkirkan air hujan yang terus mene
Pagi hari senin, aku harus segera bergegas ke kantor karena sudah terlambat lima menit. Kurasa aku akan mendapat ceramah di pagi hari. Tidak biasanya aku terlambat kerja kecuali disebabkan insiden kemarin lusa. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata kecuali setelah pagi menjelang. Aku bahkan melewatkan sarapan. Sesampainya di kantor, aku mengabaikan semua teman yang menyapaku dan menaiki tangga secara terburu-buru. Sewaktu bertemu Kak Panggih, aku pun sengaja mengabaikan. Rasanya masih seperti mimpi. Aku bahkan belum benar-benar bisa membedakan kenyataan dan mimpi. Dan hal terpenting aku masih malu. Kemarin lusa, setelah insiden ciuman itu. Aku buru-buru pamit pulang. Kebetulan hujan juga sudah berhenti.Aku melangkahkan kaki perlahan ketika hendak memasuki ruangan. Seluruh pegawai sudah berada di meja masing-masing. Baik itu atasan langsungku Pak Denny yang memiliki kulit hitam terbakar sinar matahari. Dan juga Pak Johny duduk tepat berada di depan meja Dian –sebelumnya pimpin
Akhir-akhir ini karena sibuk dengan pekerjaan di kantor, aku bahkan lupa untuk mengabari sahabatku, Yanti. Untung saja ia mengerti dan memaklumi kesibukanku. Hari ini Yanti menyempatkan diri untuk datang ke rumahku. Karena hari minggu adalah hari liburku. Sedangkan Yanti sedikit santai karena tidak mempunyai tugas kuliah.Yanti merupakan keturunan Cina asli dari bapaknya. Meskipun ibunya berasal dari Klungkung, Bali. Itulah alasan Yanti memiliki mata sipit kecil yang dimiliki oleh orang-orang Cina. Warna kulitnya pun kuning langsat. Ketika berjalan-jalan denganku, banyak yang menyangka kalau kami saudara kembar. Karena wajah yang dikatakan mirip. Kalau menurut Yanti, karena sudah bersahabat sejak tujuh tahun lalu, membuat kami terlihat mirip. Jauh berbeda dengan teman-teman semasa SMP. Seringkali kami akan diledek karena kemana saja selalu berdua. Bisa dibilang sangat kompak. Di galeri fotoku dan Yanti tidak berbeda jauh. Banyak sekali foto pada waktu masih di bangku sekolah.Bi
Semenjak bekerja, aku merasa terbantu karena adikku, Maha, karena adikku selalu mengerjakan pekerjaan di rumah. Setidaknya aku tidak perlu repot untuk membereskan rumah setelah pulang kerja.Setiap pulang sekolah, Maha pasti menyempatkan diri untuk bersih-bersih di rumah. Tugas itu sekarang dikerjakannya setiap hari. Karena baik aku dan orangtuaku harus bekerja sampai sore. Jadi, Maha akan membersihkan rumah sebelum makan siang. Aku terbiasa masak di pagi hari, menyiapkan nasi dan lauk untuk keluargaku. Maka dari itu Maha akan membantu urusan bersih-bersih. Setelah semua sudah dikerjakan, barulah Maha akan makan siang.Sudah jarang ada suara berisik dari dapur saat pagi-pagi buta. Atau, ledekan kecil yang selalu dilontarkannya kepadaku. Aku merindukan masa-masa itu. Ketika Maha terbangun di malam hari, aku biasanya akan direpotkan dengan memasak nasi goreng telur untuknya. Dengan bumbu yang pedas sekali. Jauh berbeda denganku. Aku lebih menyukai makanan manis. Namun, adik kandungk