Share

Ancaman

3.Di balik kematian adikku yang idiot

3. Ancaman

Hari masih pagi, tapi aku sudah bersiap untuk ke kantor polisi. Pikirku, kalau nanti selesai buat laporan, aku mau langsung berangkat kerja. Lumayan setengah hari, dari pada bolos.

"Aida, kakak mau pergi, ntar langsung kerja. Kamu di rumah sama Bu Salamah," kataku pada Aida. Adikku itu tidak menggubris, dia asyik menonton televisi. Entah dia ngerti apa nggak acaranya. Mata Aida yang kocak memandang televisi, kepalanya sampai miring-miring. Dia tertawa-tawa sendiri. Terkadang bertepuk tangan meriah sambil berteriak ah uhh gitu. Aku meliriknya. Sungguh tega dan tidak punya hati orang yang telah memperkos*nya. Aida tidak mengerti apa itu diperkos*. Sekarang pun dia tidak mengerti kalau sedang berbadan dua. Miris. Tekadku sudah bulat, aku akan menyelesaikan kasus ini ke Polisi!

"Assalamualaikum, Pak Bandi," ucapku saat datang ke rumah Pak RT. Pak RT yang bernama Bandi itu kebetulan sedang ada di teras rumahnya. Menggunakan HP dan minum teh.

"Waalaikumsalaam, Anna. Sudah siap?" Pak RT melihat jam di HP-nya. Masih sekitar jam delapan pagi.

"Iya, Pak ... Kalau cepat selesai, nanti saya bisa berangkat kerja,"

"Oh gitu ... Ya sudah, duduk dulu Anna."

Setelah mempersilakan duduk, Pak RT memasuki rumahnya. Aku duduk dan menunggu di teras. Sayup-sayup tapi jelas, aku mendengar suara Pak Bandi berbicara dengan seseorang di telepon.

"Anaknya sudah datang, Pak."

"Oh ya, bawa ke situ?"

Aku menunduk melihat sepatu yang menutup kakiku. Tidak bermaksud nguping sih, lagian aku juga tidak tahu siapa anak yang dimaksud Pak RT.

"Ayo, Ann,"

Tiba-tiba Pak Bandi muncul dari balik pintu dan mengajakku pergi. Aku berjalan di belakang Pak Bandi. Lelaki itu menaiki sepeda motor kemudian menyalakan mesinnya. Dengan isyarat mata, Pak Bandi menyuruhku naik ke boncengan.

Sepeda motor mengitari jalan desa. Hamparan sawah menghijau terpampang di kanan dan kiri. Hawa segar khas pegunungan di pagi hari terasa segar. Bebas dari polusi.

Beberapa orang yang berpapasan dengan kami memberikan senyuman, ada juga yang memanggil nama Pak Bandi. Mereka adalah penduduk desa kecil ini yang akan berangkat ke sawah atau ke pasar. Aku pun sesekali tersenyum.

Sampai di pertigaan tugu desa, sepeda motor Pak Bandi berjalan lurus. Aku membatin, kenapa tidak belok kiri? Bukannya arah kota dan kantor polisi ke kiri? Tapi, aku diam saja tidak bertanya apapun.

Sepeda motor kemudian memasuki halaman sebuah rumah besar dengan pagar bumi memutar, dengan pekarangan yang sangat sangat luas. Rumah tiga lantai ditopang dengan pilar besar-besar menjulang. Seperti rumah di sinetron.

Aku turun dari motor. Tubuhku memutar melihat sekeliling. Banyak lelaki berkaos hitam-hitam berkeliaran di setiap sudut rumah ini. Mereka berwajah garang, tanpa senyum. Tiga mobil mulus berjajar di dalam garasi tanpa pintu. Bukan kah ini rumah Pak Karto?

Mengekor Pak Bandi, aku memasuki rumah besar ini. Di dalam lain lagi, banyak perempuan muda yang berkeliaran di dalam rumah ini. Mereka rata-rata berwajah cantik, berkulit putih. Tapi perempuan-perempuan itu tidak sedang menganggur. Aku menghitungnya, ada delapan perempuan di sini. Masing-masing bekerja, ada yang ngepel, nyapu, membersihkan perabot, dan lain-lain. Mereka melihat kedatanganku.

Sempat aku melihat ke jendela dalam rumah, di sana terlihat halaman belakang. Beberapa perempuan juga tampak di sana sedang menjemur pakaian. Kudengar, Pak Karto memiliki bisnis PJTKI, yaitu Perusahaan jasa tenaga kerja, khususnya untuk TKW. Tidak heran di rumahnya banyak perempuan. Mereka ini ditampung dulu di sini sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Sepertinya begitu.

"Anna, duduk dulu situ," kata Pak RT sembari menunjuk kursi tamu yang ukurannya jumbo. Aku mengangguk.

"Kita tunggu Pak Karto dan Pak Kadus dulu sebelum ke kantor Polisi. Ada yang perlu dibicarakan. Kemaren tidak jadi karena adikmu nangis," kata Pak RT. Kembali kepalaku mengangguk.

Tak lama, dua orang lelaki yang kami tunggu datang. Pak Kadus dan Pak Karto. Keduanya langsung duduk di kursi yang berhadapan denganku dan Pak RT. Pak Karto melihatku sekilas. Pandangannya sinis. Entah, apa itu mungkin perasaanku saja. Secara aku ini tidak mengenal Pak Karto. Hanya tahu karena dia adalah orang terkaya, berpengaruh dan berkuasa di desa ini. Kudengar, para perangkat desa pun, tunduk kepadanya.

"Begini Mbak Anna," Pak Kadus membuka pembicaraan. Aku menatapnya.

"Setelah melalui rapat desa, kami semua sepakat untuk melarang Mbak Anna melaporkan kasus ini ke Polisi," ujar Pak Kadus padaku, tapi kulihat dia sempat melirik Pak Karto yang duduk di sebelahnya.

Jujur aku terkejut. Kenapa mereka membuat keputusan begitu? Bukankah seharusnya mereka sebagai petinggi desa harusnya mendukung langkahku?

"K_kenapa, Pak?" Tanyaku tidak mengerti.

"Kami tidak ingin desa ini tercemar karena peristiwa memalukan ini, Ann," lanjut Pak kadus. Sementara, Pak Karto menatapku tajam sembari bersandar pada kursinya.

"Ini tidak masuk akal, Pak!" Aku menggeleng. Aku ini sedang mencari keadilan, kenapa dilarang?

"Ini memang peristiwa memalukan. Memalukan sekali! Ada orang tidak waras yang tega memperkos* adik saya yang berkebutuhan khusus! Ini harus diusut, Pak!"

Tidak terima rasanya hati ini. Suaraku serak karena menahan tangis. Bapak-bapak ini otaknya di mana? Tidak kah mereka iba dengan adikku? Gadis yatim piatu yang cacat mental dan sekarang lagi hamil entah anak siapa?

"Begini Anna, kita tetap akan membantu mengusut peristiwa ini dengan membentuk tim desa. Tim ini akan menyelidiki siapa yang telah memperkos* adikmu," lanjut Pak Kadus.

Mulutku menganga mendengar penjelasan Pak Kadus barusan. Dagelan apa pula ini? Mereka ini bukan aparat, mereka bukan penegak hukum. Untuk apa membentuk tim khusus? Ah! Sudah gila semua.

"Tidak bisa begitu, Pak! Ini urusan polisi. Biadab itu harus dihukum. Bila perlu hukuman mati atau kebiri!" Teriakku lantang. Aku tidak takut lagi. Demi Aida, aku akan melakukan apapun, meski berhadapan dengan Pak Kadus.

"Ehem!"

Suara deheman berat dari Pak Karto terdengar. Pak Kadus dan Pak RT terdiam. Aku menoleh.

"Tolong Pak Karto, sebagai orang yang berpengaruh di desa ini, saya mohon Bapak menolong saya," ucapku terisak. Emosi di dada terasa menyesakkan.

"Lha ya itu tadi, kamu tidak boleh lapor polisi. Tim desa yang akan menyelidiki," sahut Pak Karto enteng. Aku terdiam. Sebuah konspirasi sedang berlangsung sepertinya.

"Satu desa sudah sepakat, tidak mau peristiwa ini viral. Itu akan mempermalukan desa kita yang damai ini. Nanti banyak wartawan datang. Beritanya dimuat di mana-mana. Semua orang akan menanggung malu, hanya gara-gara adikmu yang idiot itu!" Ujar Pak Karto dengan nada sinis.

Kenapa malah jadi menghina adikku? Aida itu korban! Di mana keadilan kalau pejabat desa dan orang kaya bersikap seperti ini? Malangnya Aida.

"Kok jadi adik saya yang dianggap mempermalukan desa? Ini kebalik, Pak! Setan yang telah memperkos* adik saya itu yang biadab! Dia harus bertanggung jawab!"

Hening ...

Tak ada yang menyangka aku seberani ini. Aku sendiri pun tidak menyangka.

"Baiklah Bapak-bapak, saya akan tetap ke kantor polisi. Saya akan mencari keadilan untuk adik saya!"

Berdiri, aku melangkah meninggalkan kumpulan bapak-bapak tak berguna itu. Aku akan ke kantor Polisi sendiri!

"Tunggu!"

Itu suara berat Pak Karto lagi. Aku menghentikan langkah, tetapi tidak menoleh.

"Kalau kau nekat, kau akan dapat hukuman!"

"Hukuman apa?!" Kuputar badanku menghadap mereka. Aku tidak takut dengan ancaman.

"Kau akan dikucilkan! Seluruh penduduk desa tidak akan ada yang mendukungmu!" Ujar Pak Karto sambil berdiri.

Bibirku mencibir. Aku tidak percaya orang desa akan mengucilkan aku. Secara aku ini korban.

Melangkah pasti, aku keluar dari rumah Pak Karto. Di luar, para centeng yang berbaju hitam-hitam mengawasiku. Sepertinya, mereka hanya menunggu perintah dari Bossnya. Aku tidak peduli! Keluar gerbang, aku berjalan cepat untuk kembali ke rumah.

Bu Salamah sedang duduk di teras rumahku saat aku kembali. Dia menatapku.

"Di mana Aida, Bu?"

"Di dalam, sedang bermain karet," jawab perempuan tua itu. Aku duduk di kursi sebelah meja. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Pusing kepalaku. Bu Salamah masuk dan keluar lagi dengan segelas air putih.

"Minum dulu, Mbak Anna," ditaruhnya gelas di meja. Aku menyambarnya. Sekali teguk, tandas air dari gelas.

"Bagaimana tadi di kantor polisi, Mbak?" Tanya Bu Salamah. Aku terdiam, kemudian menggeleng.

"Nggak jadi ke sana, Bu,"

"Kenapa?" Alis Bu Salamah menaut, heran dia.

"Nggak boleh, sama Pak Kadus, sama Pak Karto!" Jawabku jengkel. Hhh, kudengar Bu Salamah menghela nafas. Aku kembali diam. Mataku menatap jalan beton di depan rumahku.

"Lawannya gajah, sih ..."

Kudengar Bu Salamah bergumam. Bola mataku bergerak cepat ke arahnya.

"Maksudnya apa, Bu?" Tanyaku cepat. Lawan gajah? Artinya apa?

"Ng_nggak, Mbak!" Bu Salamah menggeleng cepat, kelima jari tangannya bergerak ke kiri kanan.

"Tadi bilang lawan saya gajah, apa maksudnya Bu?" Mataku melebar.

"Ibu nggak ngomong apa-apa, kok," elaknya.

Brrmmmm brrmmmm

Sebuah sepeda motor melintas pelan, tetapi ngegas. Aku dan Bu Salamah menyatukan pandangan pada motor itu. Dua orang berjaket hitam dengan helm cakil dan kaca riben menutup seluruh muka, menoleh ke arah kami. Siapa mereka?

"Ayo masuk, Mbak!"

Bu Salamah menarik lenganku dan mengajakku masuk rumah. Kedua pengendara motor tadi berlalu dari jalan depan rumahku.

"Siapa mereka, apa Ibu kenal?" Tanyaku.

"Tidak, Mbak. Tapi, sebaiknya kita masuk saja biar aman." Bu Salamah mengunci pintu, lalu berjalan masuk ke ruang tengah menghampiri Aida.

Dari balik korden, aku melihat ke jalan lagi. Kenapa perasaanku tidak enak ya? Siapa pengendara motor tadi, orang baik atau orang jahat? Mencurigakan!

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status