Share

Siapa menghamili Aida?

2.Di balik kematian adikku yang idiot

2. Siapa yang menghamili Aida?

Kabar kehamilan Aida berhembus kencang terbawa angin. Kasak kusuk tetangga mulai terlihat nyata di depan atau di belakangku. Tatap mata curiga, menghina, jijik, iba, dan lain-lain bisa kubaca dari setiap yang sorot mata yang kutemui.

Aku harus gimana? Rasanya beban ini terlalu berat untuk kupikul sendiri. Aku menghela nafas. Kusandarkan punggung di kursi dan menatap kosong layar komputer yang menyala di hadapanku. Huh! Berkali-kali menghela nafas, tak juga mampu meringankan sesak di dadaku.

"Ibu, Bapak ... Maafkan Anna yang tidak mampu menjaga Aida dengan baik ..." Mulutku berkata lirih. Tanganku meraih tissue di meja untuk menghapus pipi yang basah.

"Anna, kalau Ibu sama Bapak sudah tidak ada nanti, titip Aida ya?"

"Ibu ini ngomong apa sih?" Aku menoleh wanita paruh baya di sampingku. Ibu tersenyum, tangannya dengan cekatan melipat baju-baju yang barusan dia angkat dari jemuran.

"Kalau kamu menikah nanti, pilihlah lelaki yang tidak hanya menyayangimu saja, tetapi juga menyayangi adikmu."

Lagi-lagi Ibu ngomong nggak jelas. Aku tidak menanggapinya serius. Mataku kembali fokus pada layar ponsel di tanganku. Menikah itu urusan nanti. Aku bahkan belum memikirkannya. Usiaku baru enam belas tahun dan masih duduk di kelas satu SMA.

Itu adalah percakapanku dengan Ibu, sekitar empat tahun yang lalu. Beberapa tahun kemudian sebuah peristiwa nahas terjadi. Ibu dan bapakku terlibat sebuah kecelakaan maut yang menewaskan keduanya. Ibu meninggal di tempat dan Bapak menyusul tiga hari kemudian di rumah sakit. Itu adalah tragedi paling menyedihkan dalam hidupku!

"Anna, sudah selesai ngetiknya?"

"Eh, uh, a_anu, Pak ... Itu b_belum, Pak," jawabku gugup. Gegas aku menyentuh keyboard dan segera melanjutkan mengetik.

Astaga! Bukannya aku tadi disuruh mengetik laporan oleh Pak Budi supervisor_ku dan itu ditungguin.

"Gimana sih? Ditunggin dari tadi, malah ngelamun! Kalau nggak niat kerja, di rumah saja!" Pak Budi berdiri di samping kursiku. Dia mengawasi.

"M_maaf, Pak ...." Kupercepat jari ini mengetik. Nggak sampai lima menit, hasil ketikan sudah aku print dan kuberikan pada supervisor galak itu. Pak Budi membaca sekilas empat lembar kertas yang kuberikan, setelah itu dia pergi. Hhh ....

**

Turun dari angkot, aku berjalan beberapa meter ke pangkalan ojek.

"Ojek, Mbak?"

Aku mengangguk. Seorang anak muda seusiaku bergegas mengeluarkan sepeda motor dari parkiran. Segera aku naik di boncengan.

"Kampung Peteng, Mas," kataku.

Aku bekerja di tempat yang jauh dari desaku. Dua jam perjalanan dan dua kali ganti angkot masih ditambah ojek. Dari pangkalan ojek masih enam kilometer lagi jauhnya. Sekitar lima belas sampai dua puluh menit perjalanan. Melewati kawasan hutan jati dan makam kuno yang sepi. Dari kantor aku pulang setengah lima. Kalau cepat dapat angkot, sampai rumah biasanya sehabis Maghrib. Tapi, kalau angkotnya lama bisa selepas Isya baru masuk rumah.

**

"Aida, makan dulu."

Kutaruh piring berisi nasi dan lauk di meja. Adikku ini bisa makan sendiri. Ibu dulu melatihnya untuk mandiri. Aida dulu pernah bersekolah di SLB, Ibu yang mengantar jemput sendiri. Salut buat ibuku yang tidak pernah malu mengakui Aida yang idiot sebagai anaknya. Terkadang beliau menggendong Aida berangkat dan pulang sekolah. Biar cepat katanya, karena Aida kecil jalannya lambat dan kadang rewel.

Kutatap Aida yang sedang makan. Belepotan. tak sadar aku mengelus kepalanya. "Siapa yang tega memperkos*mu Aida ..." Gumamku lirih.

"Akk, uhh, akk."

Seperti tahu isi hatiku, Aida menoleh dan melihatku. sambil berkata tidak jelas, dia mengusap pipinya sendiri. Aku mengerti maksudnya. Aida bertanya mengapa aku menangis. Hidup bertahun-tahun dengan adikku yang berkebutuhan khusus, membuatku mengerti bahasa dan maksud Aida. Oh ya, Aida tidak menggunakan bahasa isyarat. IQ nya terlalu rendah untuk mempelajari bahasa isyarat.

"Kakak gapapa," jawabku sembari mengusap kasar bulir bening yang menetes di pipi.

"Habisin makannya."

Aku berdiri dan meninggalkan Aida. Duduk sendiri di ruang tamu, otakku berpikir keras. Aku harus berbuat sesuatu sebelum perut Aida semakin membesar.

Bagaimana kalau lapor Polisi? Biar polisi yang menyelidiki kasus ini. Aku yakin, Polisi punya metode untuk memecahkan kasus ini. Tapi, apakah ini ide yang baik? Aku takut bila nanti Aida malah ketakutan melihat Polisi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti Polisi mengintrogasi Aida?

Tapi, kalau aku tidak melakukan apa-apa, bagaimana aku bisa mendapatkan keadilan untuk Aida? Orang yang memperkos* akan tertawa tawa di belakangku karena tidak tersentuh hukum. Paling tidak, kalau dia tidak mau menikahi Aida, dia harus bertanggung jawab atas anak yang dikandung Aida.

Ya! Aku akan lapor Polisi saja!

**

Pagi menjelang siang, dengan mantap aku berjalan menuju rumah Pak RT. Keputusanku sudah bulat, aku akan lapor polisi. Karena aku sudah tidak punya orang tua, kuputuskan meminta tolong Pak RT untuk melakukan pendampingan ke kantor Polisi.

"Jadi kau akan lapor Polisi?"

"Iya, Pak."

Pak RT dan Bu RT yang menemuiku terdiam. Bu RT menatapku dengan tatapan kasihan. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Usiaku baru dua puluh, tapi sudah menghadapi peristiwa yang sangat berat ini sendirian.

"Saya akan mengantarmu, Anna. Tapi tidak hari ini. Ini hari Minggu, saya ada acara dengan Istri saya. Besok Senin saja di hari kerja, bagaimana?" jawab Pak RT.

"Gapapa, Pak. Biar besok saya izin bekerja," jawabku. Setelah itu, aku berpamitan dengan Pak dan Bu RT.

Malamnya ...

"Akk, piph!"

Aida keluar dari kamarnya dan memanggilku. Dia mau pipis.

"Ayo."

Kuantar Aida ke kamar mandi, kemudian menutup pintunya. Aida bisa sendiri. Paling nanti aku yang akan menyiram lantai kamar mandi.

"Assalamualaikum!"

Terdengar suara salam dari luar. Kedengarannya suara laki-laki karena lantang.

"Waalaikumsalaam," jawabku sembari berjalan ke depan. Ada tiga orang lelaki berdiri di teras rumahku.

Pak RT, Pak Kadus dan Pak Karto. Aku tersenyum pada mereka. Mereka semua orang penting di desaku.

"Silakan masuk," kataku.

Ketiga lelaki seusia Bapakku itu masuk dan duduk di ruang tamu sederhana rumahku. Sebelum duduk, Pak Karto tampak mengamati suasana rumahku. Matanya nyalang seperti mencari sesuatu. Mungkin dia sedang berpikir, rumah kok jelek dan kecil sekali. Secara dia orang kaya, rumahnya besar dan mewah.

"A_ada apa, ya, Bapak-bapak?" Tanyaku grogi. Belum pernah rumahku didatangi petinggi desa seperti ini. Apalagi ada Pak Karto, dia adalah orang terkaya dan berpengaruh di desa ini. Semua orang segan padanya. Hampir semua bisnis di desa ini adalah miliknya.

"Begini Anna ... Mengenai laporan Polisi yang akan kamu ajukan besok, saya sudah membicarakan dengan Pak Kadus dan Pak Karto. Keputusannya adalah ..."

"Whuaaa!!"

Suara jeritan parau terdengar. Itu Aida! Gadis itu berdiri di depan kamarnya yang ada di dekat ruang tamu. Raut wajah penuh ketakutan terpancar di sana.

"Whaaaaaa!!"

Kembali jeritan parau Aida terdengar. Gegas aku bangkit dan berlari. Kupeluk adikku yang histeris. Dalam keadaan genting dan ketakutan, Aida bisa berteriak dan mengeluarkan suara dari tenggorokannya.

"Tenang Aida, ada apa?!" Tanyaku bingung. Aida masih menjerit. Kali ini dia menunjuk nunjuk ruang tamu. Aku semakin bingung, karena di sana masih duduk tiga orang lelaki dewasa. Pak RT, Pak Kadus dan Pak Karto juga melihat Aida yang berteriak histeris dengan mata melotot. Mungkin mereka juga bertanya tanya, Aida kenapa?

"Masuk!"

Kubawa Aida masuk kamarnya.

"Hhh hhh hhh!"

Aida menangis keras, tangannya tetap menunjuk keluar. Dada Aida sampai naik turun emosional, dan keningnya pun berkeringat. Ada apa?

Tak lama, adikku berlari ke sudut tembok yang terhalang lemari kayu. Aida bersembunyi di sana sambil menutup wajahnya. Kenapa dia? Aneh!

"Anna! Anna!"

Kudengar suara orang memanggil. Gegas aku keluar. Hanya ada Pak RT di ruang tamu. Pak Kadus dan Pak Karto sudah tidak ada.

"Kami pamit dulu Anna. Besok, sebelum ke kantor Polisi, kamu ke rumah saya dulu, ya?"

"Baik, Pak."

Sepeninggal Pak RT, aku kembali ke kamar Aida. Adikku itu sekarang posisinya duduk di lantai dengan memeluk kedua lututnya. Aida masih menangis

"Aida, kenapa?" Tanyaku lembut. Aku berjongkok di depannya.

"Aut, uuh ... aut ..."

"Takut dengan siapa?"

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eka Sari
Pemerkosanya Pak Karto sepertinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status