Share

Mata-Mata

4.Di balik kematian adikku yang idiot

Mata-mata

Seperti biasa, setiap pagi aku berangkat bekerja. Setengah tujuh pagi, tukang ojek langganan yaitu Mas Beni, sudah siaga di jalan depan rumah. Mas Beni memang bukan murni tukang ojek, dia hanya narik jika dibutuhkan, karena angkutan umum di desa ini sangat jarang. Mas Beni anak orang berada, bapaknya punya sawah dan kebun yang lumayan luas. Status Mas Beni adalah mahasiswa.

"Bentar, Mas," kataku pada lelaki yang usianya lebih tua satu tahun dariku itu. Mas Beni mengangguk, pria itu turun dari motor dan duduk di beton pendek jalan masuk halaman rumahku. Mas Beni sudah biasa menungguku yang sering ngaret. Sebabnya karena aku harus mengurus Aida dulu sebelum aku titipkan ke Bu Salamah. Mandiin Aida, gantiin baju sama nyiapin sarapan buat dia.

Membonceng ojek Mas Beni, kami berdua tidak memakai helm hehe. Jarang ada operasi lalu lintas di jalur ini. Jarak enam kilometer ke terminal membuat kami punya waktu untuk mengobrol.

"Gimana kabar Aida, Ann?" Mas Beni bertanya.

"Baik, Mas," jawabku.

"Ann, bener nggak sih yang gossip tentang adikmu itu?"

"Gossip yang mana, Mas?" Aku pura-pura bego.

"Tentang adikmu yang hamil."

"Iya, Mas,"

"Kasian banget sih. Iblis itu yang tega berbuat tak senonoh pada Aida."

Aku terdiam. Kalau ngomongin tentang Aida, hatiku rasanya perih. Beberapa kali aku bertanya pada Aida siapa yang telah berbuat jahat padanya, tapi jawabannya tidak pernah jelas. Terkadang Aida hanya bengong, terkadang tertawa sendiri atau malah menangis seperti anak kecil.

"Sudah lapor polisi, Ann?"

"Belum,"

"Kenapa? Harusnya kamu sudah lapor dong?"

"Lha itu, Mas ... Sebenarnya aku mau bikin laporan kemarin, tapi tidak diperbolehkan sama dewan desa," kataku kesal.

"Lho kok aneh?"

"Katanya kalau sampai kasus ini viral akan mempermalukan seluruh warga desa."

"Jelas viral itu."

Mas Beni memperlambat laju motornya. Di perempatan pasar ini tidak ada lampu merah, jadi para pengendara sendiri yang harus waspada. Depan perempatan sana terminal, bentar lagi sampai.

"Makasih ya, Mas!"

Aku turun dari motor Mas Beni dan bersiap untuk berlari ke peron, aku tadi melihat bis merapat.

"Tunggu, Ann!"

Sesuatu menahan tanganku. Saat kulihat itu adalah tangan Mas Beni, aku berhenti bergerak.

"Kenapa, Mas?" Netraku menatap.

"Beberapa hari yang lalu, aku mendengar kedua orang tuaku membicarakan sesuatu," Mas Beni membalas tatapanku.

Aku diam menunggu kalimat selanjutnya dari Mas Beni.

"Katanya, orang yang telah menghamili adikmu adalah orang yang paling ditakuti oleh warga desa."

"Maksudnya, Mas?" Keningku mengerut.

"Aku tidak tahu, tapi aku hanya menghubungkan dengan omonganmu tadi," kata Mas Beni.

"Yang mana?"

"Tentang dewan desa yang melarangmu melapor ke polisi."

Keningku mengerut dalam, mendengar omongan Mas Beni. Masuk akal juga teorinya. Tapi aku tidak bisa berpikir sekarang, sebab waktu berangkat kerjaku sudah mepet.

"Mas, kita bicarakan nanti. Aku kerja dulu."

"Ok!"

**

Setelah menemani Aida hingga tertidur, aku keluar dari kamarnya. Hari ini Aida tidur lebih awal. Bu Salamah bilang, tadi Aida muntah-muntah beberapa kali.

Aku memang belum pernah hamil, tapi aku tahu itu adalah gejala morning sickness yang biasa dialami oleh orang hamil muda.

Huh! Tambah pusing kepalaku bila melihat perut Aida yang semakin membuncit. Yang aku heran, tidak ada tetangga di sini yang secara terang-terangan menanyakan kehamilan Aida. Bila bertemu, mereka hanya mencuri pandang ke perut Aida. Aku memang tidak pernah peduli dengan gossip yang beredar tentang adikku. Terkadang, memang lebih baik bila tidak mendengar sesuatu yang bisa menyakiti diri kita sendiri.

Sehari-hari, Aida memang memakai daster, aku yang membelikannya. Pertimbanganku adalah daster itu nyaman, tidak ribet makainya, juga tidak panas kainnya. Aida juga suka memakai daster yang coraknya warna warni. Aida berkulit putih bersih. Badannya bagus, rambutnya lebat. Dia cantik, hanya sayang wajahnya menunjukkan kalau dia adalah penderita down syndrom. Waktu kecil, liurnya sering menetes, tapi sekarang tidak.

Jendela kaca samping rumah belum ditutup, aku berjalan ke sana. Kulihat dari jendela, pawon ~dapur orang desa~ rumah Bu Salamah masih menyala lampunya. Dari sela-sela dinding bambu kulihat api tungku juga menyala. Bu Salamah belum tidur rupanya.

Kulihat jam di ponsel, masih jam sembilan lebih sedikit. Aku ingin ngobrol dengan Bu Salamah. Menutup jendela dan mengunci pintu depan, aku berjalan ke dapur. Lewat pintu belakang, aku bisa langsung menuju halaman belakang rumah Bu Salamah. Tetangga terdekatku adalah Bu Salamah. Tetangga yang lain, jaraknya cukup jauh.

"Bu Salamah?" Panggilku pelan. Kudorong pintu papan di belakang rumah Bu Salamah, dan langsung terbuka. Bu Salamah tidak mendengar panggilanku, tapi aku melihatnya sedang sibuk di depan tungku api yang menyala. Aku mendekat.

"Bu?"

"Eh, Mbak Anna!"

Bu Salamah mendongak dan kaget. Aku tersenyum. Perempuan tua itu lalu berdiri dan berjalan ke samping.

"Duduk sini, Mbak," dia menaruh dingklik kayu di depan perapian. Aku mengangguk. Rasa hangat langsung menjalar di tubuhku. Bu Salamah memasukkan beberapa potong kayu bakar di tungku. Aku memperhatikan.

Setelah itu, Bu Salamah membuka panci besar yang ada di atas tungku. Asap putih membumbung saat tutup panci terbuka. Dengan sendok kayu besar, Bu Salamah mengaduk beras lembek yang dia tanak di dalamnya. 'Ngaru' begitu orang Jawa bilang.

"Ada pesanan, ya, Bu?"

"Iya, Mbak. Arem-arem dua ratus biji. Dibungkusi sekarang, besok tinggal ngukus," jawabnya.

Bu Salamah tinggal sendirian. Anak lelaki satu-satunya merantau ke tempat yang jauh, di luar pulau. Pardi nama anaknya, dia menikah dengan perempuan sebrang. Pardi hanya pulang kalau Iedul Fitri saja. Terkadang juga tidak pulang. Entah lah apa yang ada di pikiran seorang anak. Ketika orang tuanya ada, mereka tidak peduli. Tapi, saat orang tuanya meninggal mereka bilang menyesal dan menangisi.

"Bu, boleh saya tanya sesuatu?" Tanyaku saat kami merasa nyaman dengan kehangatan yang tercipta dari api tungku.

"Apa, Mbak?"

Bu Salamah mendekatkan kedua telapak tangannya ke api.

"Apa yang Ibu tahu sebelum menyadari kalau Aida hamil?"

Netraku melihat Bu Salamah. Perempuan itu terdiam dan menghela nafas.

"Ibu tidak tahu, Mbak," jawabnya lirih.

"Kalau begitu, tolong ceritakan yang Ibu tahu saja."

Bu Salamah kembali memasukkan kayu bakar ke tungku. Api membesar, lalu Bu Salamah berdiri dan mengangkat panci berisi karon ke lobang tungku belakang yang apinya lebih kecil. Mengambil panci lain yang berisi air, Bu Salamah menaruhnya di tungku depan tadi. Aku sabar menanti.

"Waktu itu, Aida sedang tidur siang," Bu Salamah memulai ceritanya. Kupasang telinga baik-baik untuk mendengar.

"Ibu mau cari kayu bakar di hutan, biasanya Aida ikut. Tapi, karena lagi tidur, jadi Ibu tinggal."

Bu Salamah menatap nanar pada api yang menyala. Terang cahaya api, membuatku bisa melihat raut wajah sesal dan sedih dari wajah keriput Bu Salamah.

"Habis asar, ibu pulang. Naruh kayu di situ," Bu Salamah menunjuk sudut ruangan, "setelah itu, Ibu ke rumah Aida mau ngecek dia sudah bangun apa belum." Bu Salamah menjeda ceritanya dengan menelan ludah.

"Terus, Bu?"

"Ternyata Aida nggak ada di kamar,"

Mataku menatap lekat Bu Salamah. Dari awal bercerita, perempuan ini tidak pernah menoleh padaku.

"Ke mana Aida, Bu?"

"Ibu cari ke mana-mana tapi tidak ketemu ..." Bu Salamah mengusap ujung hidungnya. Apa Bu Salamah menangis? Aku tidak begitu jelas karena Bu Salamah menengok ke samping sana.

"Sekitar jam limaan, saat ibu kebingungan, ada motor berhenti di depan rumah Aida."

"Motor siapa?" Potongku cepat.

"Orang laki-laki, Mbak. Ibu ngintip dari sini ~rumahnya maksudnya ~ orang laki itu, nganterin Aida sampai teras rumah, terus pergi cepat-cepat."

"Siapa laki-laki itu, Bu?!" Nada suaraku meninggi. Apakah dia manusia setan yang telah memperkos* Aida?

"Ibu tidak tahu, Mbak ..." Kali ini, Bu Salamah menoleh padaku. "Tapi, kalau ketemu orangnya, Ibu masih ingat wajahnya. Badannya gede, kaosnya item, celananya juga item. Serem, Mbak."

Pakaian i tem-item? Aku jadi ingat dengan penjaga dan pengawal di rumah Pak Karto, semuanya memakai baju item-item! Apakah ini artinya ....

Brakkk!!

Buk!

Pyarr!!

Tap

Tap

Tap

Refleks aku berlari setelah mendengar suara ribut dari belakang rumah Bu Salamah. Seperti suara sesuatu yang jatuh, pecah, dan suara langkah kaki berlari!

"Siapa itu?!" Teriakku. Bu Salamah mengikuti di belakang.

Tak ada siapa-siapa. Menggunakan senter HP, aku dan Bu Salamah memeriksa keadaan.

"Padasannya (tempat air wudhu dari tanah liat) pecah, Mbak!"

Aku mendekati Bu Salamah yang sedang berjongkok. Senter aku arahkan ke bawah. Puing-puing tanah liat dan air menggenang, ada di tanah.

Nyala senter ku arahkan ke sekeliling. Sepi! Hanya suara binatang malam saja terdengar.

Perasaanku bilang, ada orang barusan di sini. Tapi, apa tujuannya? Apakah aku sedang dimata-matai, atau kah ada yang menguping pembicaraanku dengan Bu Salamah?

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status