9.Di balik kematian adikku yang idiotBiarkan anak itu mati "Bu Salamah, titip Aida dulu sampai aku pulang, ya?"Dengan menggendong tas mungil di punggung, aku bersiap pergi lagi. Kali ini, aku akan ke rumah sakit untuk memastikan Mas Beni baik- baik saja. "Mau ke mana, Mbak?" "Ke rumah sakit, Bu,""Ini sudah sore, Mbak, besok saja,""Nggak bisa, Bu. Saya harus melihat Mas Beni," "Nanti pulangnya susah, nggak ada angkot, Mbak," Aku diam saja tak menjawab. Selesai menali sepatu, aku melihat Bu Salamah. "Mbak ..." Panggilnya. Aku menggeleng. "Nggak bisa, Bu, aku harus ke rumah sakit sekarang!" Setelah tali sepatu beres, aku bersiap membuka pintu. "Apa benar tadi Mbak Anna ke rumah Pak Karto?" Pertanyaan Bu Salamah membuatku kaget. Dari mana dia mengetahui cerita itu?"Iya. Ibu tahu dari mana?" Jawabku berbalik badan."Beritanya sudah menyebar ke mana-mana, Mbak."Berjalan ke kursi tamu, aku duduk di salah satu kursi. Kutunda dulu perginya, aku lebih tertarik dengan berita yang
10.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah "Maafkan Ibu, Mbak Anna. Tapi, tolong lihat keadaan Aida," Bu Salamah berjalan ke dapur meninggalkan aku yang sedang kesal. Memasuki bulan ke tiga kehamilan adikku, aku memang jarang menemuinya. Aku sibuk bekerja dan menyelidiki siapa yang tega memperkos* adikku. Pertimbangan lain adalah, kepalaku pusing tiap melihat Aida. Kasihan, bingung, kesal, marah, semuanya jadi satu. Yang paling membuatku putus asa adalah, sampai saat ini aku belum bisa berbuat apapun untuk Aida. Keadilan yang kuperjuangkan seakan membentur batu cadas, keras dan sudah dihancurkan. Niatku melapor Polisi kemarin gagal, bahkan malah membuat Mas Beni celaka. Apakah benar, keadilan hanya berpihak pada orang yang berduit saja? Hukum tumpul ke atas dan hanya tajam bagi mereka yang dijuluki wong cilik? Entahlah ...Melangkah pelan, aku memasuki kamar Aida. Gadis itu sudah tidur dengan selimut membalut tubuhnya. Tak bersuara, aku duduk di sisi ranjangnya. Ku
11.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian Bu Salamah 2Bu Salamah meremas kain daster yang dipakainya. Aku melihat aura kecemasan di sana. Beberapa kali dia menatapku kemudian menunduk lagi. "Katakan siapa dia, Bu. Tidak usah takut, aku akan melindungi Ibu," kataku meyakinkan.Bu Salamah melempar pandangan ke belakang punggungku. "Tidak ada siapa-siapa di luar, Bu," Aku berdiri dan berjalan ke ruang depan. Mengecek pintu dan memastikan sudah terkunci, lalu aku merapatkan semua korden jendela. Kembali aku duduk di depan Bu Salamah. Pukul sepuluh malam saat ini. "Sudah aman, teruskan ceritanya," "Ibu sangat takut waktu itu, tapi Ibu berusaha untuk menajamkan pengelihatan. Ibu mengenali sosok yang berjalan cepat itu, dia adalah ...""Siapa, Bu?" Aku tak sabar. Perasaanku pun tak kalah tegang dengan Bu Salamah. "P_Pak Karto," Meski pelan saat menyebut nama Pak Karto, tapi di telingaku cukup jelas. Tidak ada keterkejutan yang kuperlihatkan. Dari semula kasus ini bergulir, nam
12.Di balik kematian adikku yang idiotKebakaran "Ya, Allah!" Turun dari motor, aku berlari ke depan rumah yang hangus tak berbentuk. Puing-puing kayu yang masih menyala, sisa bara api dan asap panas yang masih mengepul masih terlihat. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangis dan rasa sesak di dada yang kurasa saat ini. Orang-orang masih banyak berkerumun melihat sisa-sisa kebakaran. Mas Beni mendekat dan merangkulku dari belakang. Aku menoleh, mata Mas Beni memandang ke depan, pada bangunan rumah yang sudah habis tak bersisa. "Mas, di mana, Aida?!" Aku berlari memasuki rumahku. Mencari adikku itu. "Aida! Aida!" Masuk ke kamar Aida, tak kutemui siapa pun. Berlari ke kamarku juga kosong. Di mana adikku?! Aku mulai panik. "Ann, tenang, Aida ada di rumahnya Pak RT," Mas Beni tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?!" Kejarku dengan banyak pertanyaan. Mas Beni tersenyum tipis. "Aida baik-baik saja,"Huh! Syukur lah. Aku baru bisa ber
13.Di balik kematian adikku yang idiotHilangnya satu saksi DugDugDugSuara langkah Bu Salamah memasuki dapur. Aku menahan nafas. Benakku bertanya-tanya, ada apa Bu Salamah ke mari diantar anak buah pak Karto? Langkah Bu Salamah terdengar melewati depan kamarku, selanjutnya seperti memasuki kamar sebelah, yaitu kamarnya Aida. "Tunggu sebentar, Mas," kataku pada Mas Beni. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, aku keluar kamar dan menyelinap masuk ke kamar Aida. Bu Salamah tampak sedang mencari sesuatu di laci meja Aida. "Bu," panggilku pelan. Perempuan itu berbalik, sedikit berjingkat karena kaget melihatku."Mbak Anna!" Seru Bu Salamah. Aku mengangguk kemudian bertanya," cari apa, Bu?" Perempuan tua itu kemudian duduk di tepi tempat tidur Aida. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Sejenak terdiam, tiba-tiba kudengar suara isak tangis. "Bu, kenapa menangis?" Tanyaku sembari berusaha melihat wajah Bu Salamah yang ditutupi dengan tangannya. Bu Salamah menghapus air matanya kemu
14.Di balik kematian adikku yang idiotMenyusun rencana "Iwan!" Aku memanggil lelaki yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu. Lelaki bernama Iwan itu menoleh dan memandangku. "Apa cantik?" Tanyanya. Bibirnya senyam-senyum melihatku. Genit sekali!""Kau kenal adikku?" Aku menatapnya tajam. Dahi Iwan mengerut, bola matanya bergerak kesana-kemari. "Adikmu siapa?" Kedua alis Iwan terangkat ke atas. "Ini!" Kutarik tangan Aida yang berdiri di belakangku. Bisa kulihat wajah Iwan yang terkejut saat melihat Aida. Sedangkan Aida melihat Iwan dengan kepala miring. "Aku tidak mengenal anak idiot ini!" Kata Iwan. Kulihat matanya melihat perut Aida sekilas. "Jangan hina adikku!" Mataku mendelik. Hahaha, Iwan tertawa, temannya juga ikut menertawakan Aida. Brengsek!"Memang dia idiot hahaha, lihat saja mukanya," tunjuk Iwan pada Aida. Seakan lelucon, Iwan dan teman-teman tertawa ngakak. "Ahat, akk, akut," kata Aida sembari bersembunyi di belakang punggungku. Mendadak Iwan menghentik
15.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorTenggelamkan!Pria berbadan tegap dan gempal itu melangkah mantap memasuki rumah mewah berlantai tiga. Pria yang akrab disapa Baron itu terus melangkah melewati deretan meja kursi kayu berukir klasik yang memenuhi ruangan. Hingga sampai lah dia di depan pintu sebuah kamar. Pintu kayu jati super berpelitur mengkilap itu dia ketuk. "Masuk!"Suara berat dan serak terdengar dari dalam. Baron mengambil nafas, lalu menghembuskan kasar. Pria berbaju serba hitam itu membuka pintu dan melangkah masuk. Seorang pria tua menunggunya di dalam. Baron berdiri tegak di depan meja yang menghalangi dirinya dengan Karto Dimedjo, lelaki yang selama ini menjadikan dirinya seorang abdi dan dibalasnya dengan kesetiaan. "Apa yang kau dapat?" Karto menatap lurus Baron, orang kepercayaannya. "Gadis idiot itu ... Hamil, Pak."'Huh! Hembusan nafas berat Karto keluar. Masalah yang ditimbulkan anaknya mengusik kehormatan dirinya sebagai orang kaya, terpandang d
16.Di balik kematian adikku yang idiotPengakuan si Bejad PoV Author[Bersiap!] Pesan WA Beni kepada Riko. [Ok]Balas Riko.Beni membuntuti sepeda motor Iwan dengan jarak yang tidak mencurigakan. Rumah pacar Iwan ada di kota, jadi dia harus melewati hutan jati. Beni sedikit curiga kenapa malam Minggu jalanan tidak seramai biasanya. Karena Beni tidak mengetahui, Pak Karto memberlakukan jam malam di desa. Iwan cuek saja mau keluar, dia bebas menolak perintah ayahnya. Jalan hutan jati berkelok-kelok. Di tikungan ke tiga adalah tempat yang paling tepat untuk menjerat Iwan. Tikungan itu gelap, tak ada lampu penerangan dan rerumputan di hutannya rimbun, bisa untuk sembunyi Riko dan Bayu. Dari kejauhan sorot lampu sepeda motor sudah terlihat. Riko dan Bayu bersiap dengan jeratnya. Riko di sisi kanan jalan dan Bayu di sisi kiri jalan, berseberangan. Keduanya saling memegang ujung tali jerat. Motor Iwan semakin dekat, saat yang tepat, Riko dan Bayu bersamaan berdiri dari rimbunnya semak