Sebagai putri kedua keluarga Mordie, Evora selalu merasa tersisihkan. Semua orang bilang bahwa Evora selalu berada di bawah bayangan kakaknya. Hidup Evora jauh dari kata sempurna jika dibanding dengan kakaknya. Evora selalu bertahan hingga tiba-tiba pacarnya berkhianat dengan kakak Evora. Perlahan, Evora bangkit dan mencari tujuan hidupnya sendiri.
Lihat lebih banyak"Kenapa pesanku nggak dibalas? Dia sibuk atau sengaja mengabaikanku?”
Evora menatap ponselnya dengan kesal. Ia gelisah menunggu kabar dari Vernon, kekasihnya. Sepulang lembur dan mampir sebentar ke minimarket, ia duduk di bangku depan, menyesap soda dingin yang sudah tak berasa. “Besok ulang tahunku... apa dia sengaja bikin kejutan? Atau malah lupa?” gumamnya. Namun, ia masih berpikir positif. “Tapi, tidak biasanya dia sibuk sekali sampai tidak mengingatku.” Ia menghela napas lalu beralih menatap jalan raya di depannya. Di antara lampu-lampu di pinggir jalan tampak seorang pria dan wanita sedang berjalan bergandengan dengan mesra. Awalnya Evora tak menghiraukannya, sampai ia mengenali kemeja yang dikenakan pria itu. “Vernon…?” Evora lantas terpaku saat menyadari siapa wanita yang sedang dirangkul pria itu di pinggang. Itu adalah Kakak Evora. "Kenapa Vernon bersama … Kak Lizi?” Apakah ini sebuah kebetulan? Evora pun bangkit dan melangkah pelan ke arah mereka. Tanpa ia sangka, Vernon mengusap rambut Lizi. Wanita itu berbisik, membuatnya tersenyum sebelum mengecup keningnya. Dada Evora mencengkeram sakit, tangannya mengepal erat ponselnya. Lalu, tanpa ragu, Vernon menunduk dan mencium bibir Lizi. Dunia Evora runtuh. Kaleng soda yang terlepas dari tangannya berguling di trotoar, tumpah seperti isi hatinya yang tak bersisa. Kukunya menancap di telapak tangan, tapi nyerinya tak sebanding dengan perih di dadanya. Cukup! Evora tak tahan lagi. Dengan langkah berat, ia mendekati Vernon dan Lizi, lalu berhenti tepat di belakang mereka. “Vernon….” Suara lirih itu membuat keduanya menoleh. Wajah Vernon langsung berubah kaku. Lizi tampak kaget, tapi itu tidak bertahan lama. Tubuh Evora gemetar. Air mata sudah mengalir tanpa ia sadari. “Apa yang kalian lakukan?” tanyanya pelan. Vernon tak langsung menjawab. Ia memasukkan tangan ke saku celana. "Ngapain kamu di sini?” Evora menatapnya tajam. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu berduaan dengan Kak Lizi? Kau mengabaikanku seharian hanya untuk ini?" "Aku sibuk," Vernon menjawab tanpa ekspresi. "Lalu kebetulan bertemu dengannya." Evora tertawa pendek. "Kebetulan? Aku melihat kalian berciuman, Vernon." Ekspresi Vernon menegang, tetapi ia segera menatap Evora dengan dingin. "Jangan berlebihan. Pulanglah, ini sudah malam." Lizi melipat tangan di dada. "Evora, kamu tidak perlu bersikap dramatis." "Dramatis?" Evora mengepalkan tangannya. "Apa aku harus diam melihat pacarku berselingkuh dengan kakakku sendiri?” Vernon mendesah, lalu menatap Evora dengan sorot dingin. "Sudah cukup, Evora. Kamu mempermalukan dirimu sendiri." "Malu?" Evora tertawa miris. "Kamu yang ketahuan berselingkuh, aku yang harus malu?" "Vernon… kenapa kamu tega menyembunyikan semua ini? Mana semua janji manis yang dulu kamu ucapkan?" Suara Evora terdengar pilu. "Kalian tak tahu betapa hancurnya aku melihat ini?” Lizi pun segera menyahut, “Evora, dengarkan aku! Kami tidak pernah bermaksud menyembunyikan hal ini. Kami sudah cukup lama saling menyayangi. Maaf kalau kenyataannya terlalu pahit untukmu.” Evora terdiam. Matanya bergantian menatap Vernon dan Lizi yang bahkan tidak terlihat menyesal sedikitpun. “Jika seandainya sekarang aku tidak memergoki kalian, apakah kalian akan tetap menyembunyikannya?” Evora berujar dengan tangan terkepal. “Kebetulan, kami memang sudah bosan menyembunyikan ini semua,” sahut Lizi. Sedangkan Vernon justru membuang muka, seolah tidak ingin melihat wajah Evora. “Kalian benar-benar pantas bersama,” kata Evora dingin. Vernon kini menatap Evora, seolah terkejut. “Kalian benar-benar ingin bersama, kan? Aku akan mundur dan aku tidak akan memaksa. Selamat atas hubungan kalian yang baru.” Evora segera berbalik badan dan melangkah pergi. Namun Vernon hanya menatap kepergiannya tanpa berniat menyusul Evora. Ia terus melangkah di trotoar yang dingin. Tapi rasa di hatinya jauh lebih beku dari udara malam itu. Wajah Vernon dan Lizi silih berganti menghantui pikirannya. Senyum mereka, sentuhan mereka, semua terasa seperti belati yang menari-nari di dalam dadanya. “Apa aku nggak cukup baik buat dia…?” gumamnya lirih. Langkahnya mulai limbung. Ia tidak sadar telah berjalan ke tengah jalan. TIIIN!! Cahaya terang dari arah kanan menyilaukan matanya. Suara klakson menggelegar. Brak! Mobil berhenti mendadak, bannya menggesek aspal. Evora terjatuh ke pinggir trotoar, lututnya luka. Pintu mobil itu lalu terbuka. Seorang pria keluar dengan berjalan sempoyongan. Darah menetes dari pelipisnya. "Ma-maaf..." Evora tergagap. Pria itu tidak menjawab. Tatapannya dingin. Napasnya berat. “Aku tidak sengaja, ternyata aku berjalan di tengah jalan raya,” ujar Evora gemetar. Pria itu tidak menjawab melainkan mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Evora bangkit dan mendekat. “Aku bantu cari obat, ya?” Ia masuk ke dalam mobil lewat pintu pengemudi yang masih terbuka lalu mencari kotak P3K. Ketika ia menemukannya dan hendak keluar, pria itu justru duduk kembali di kursi kemudi. Tatapannya kosong, seperti orang yang kehilangan arah. Evora terpaku. Kini hanya mereka berdua di dalam mobil. “Bi-biar aku obati,” ujar Evora dengan gugup. “Tidak perlu!” desis pria itu. “Tapi kau terluka.” Ucapan Evora membuat pria itu menoleh. Terlihat rahangnya yang mengeras dan mata yang memerah. ‘Apa pria ini mabuk?’ Tanpa berkata apa-apa, pria itu menghidupkan mesin dan mulai mengemudi cepat. "Tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?!" suara Evora naik satu oktaf. “Jangan banyak tanya, atau aku lempar kamu keluar!” ucap pria itu penuh intimidasi. Evora tidak mengenal pria itu, maka ia berusaha untuk berhati-hati.Setelah ke toko perhiasan, Evora pergi ke toko jam. Ia selalu ingat bahwa ayahnya sangat suka mengoleksi jam apapun jenisnya, terutama jam yang memiliki nilai tinggi atau antik. Maka dari itu, Evora ingin membelikan sebuah jam mahal dari brand kelas dunia untuk ayahnya.“Untuk jam berlapis emas murni dan dihiasi beberapa permata asli, telah dibuat sejak satu dekade lalu. Harganya lima ratus juta rupiah.”Evora kembali mengeluarkan kartu debitnya. Sebuah jam tangan mewah nan antik sudah ada di tangannya. Setelah selesai membeli hadiah, ia dan Grace pergi ke apartemen Grace.“Gila, kamu menghabiskan banyak uang hari ini!” seru Grace ketika mereka sudah sampai di apartemen.“Lumayan, tapi aku cukup senang,” sahut Evora.“Kalau begitu, malam ini kita karaoke sampai pagi!” Grace tertawa bersama Evora. Mereka lalu memasuki unit apartemen Grace. Di ruang tamu, Fasco sedang membaca buku di sofa. Pria itu mengalihkan pandangannya sekilas lalu lanjut membaca buku.“Letakkan bukumu, Fasco. Apa
Di kamar, Evora sibuk dengan gunting kain dan jarum benang. Ia memutuskan untuk memodifikasi gaunnya dan menjahit dengan tangannya sendiri. Gaun dari Lizi ia potong bagian atasnya lalu ia sambung dengan bawahan dari kain sisa.“Sepertinya ini sudah cukup,” gumamnya ketika gaun yang ia jahit sudah jadi. Ia lalu menyimpan gaun tersebut di lemari untuk dipakai besok.“Setelah ini, aku masih harus mencari hadiah,” gumamnya lagi, “Apa aku mengajak Grace saja, ya?”Di saat ia sedang melamun, percakapan di ruang tamu tadi kembali terngiang di kepalanya. “Perusahaan keluarga kita sempat menghentikan beberapa proyek karena Tuan Marson tidak jadi berinvestasi di perusahaan. Itu membuat perusahaan kita rugi. Saat ini, kita sedang berusaha mencari investor baru. Aku harap … kamu bisa lebih berempati kedepannya. Ayah dan Ibu pasti lebih tahu yang terbaik untukmu.”Mungkin Lizi benar—ia belum cukup berempati. Tapi apakah empati itu berarti harus tunduk pada semua keinginan mereka?Ia tidak ingin me
Kediaman keluarga Mordie.Setelah selesai melakukan observasi di pantai, Evora pulang ke rumah diantar oleh Andreas. Evora terpaksa menyetujuinya karena Andreas tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk menolak.“Terima kasih sudah mengantarkan saya ke rumah, Pak Andreas. Maaf, saya jadi merepotkan Anda,” ujar Evora.“Tidak masalah. Kamu pasti cukup lelah hari ini,” sahut Andreas.Evora mendadak ingat suatu hal. “Maaf, Pak … Saya lupa bilang bahwa saya sudah diterima di Universitas Astoria dan akan dijadwalkan masuk kuliah minggu depan. Apa saya bisa menyesuaikan jam kerja dengan jam kuliah saya?”Andreas yang mendengarnya tersenyum hangat. “Wah, selamat ya! Kamu pasti bekerja keras untuk itu. Tentu saja kita bisa bicarakan penyesuaian jadwal kerjamu secepatnya di kantor.”Setelah itu, Evora turun dari mobil dan masuk ke rumahnya. Suasana rumah tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berjalan kesana kemari tanpa istirahat.Evora sedikit bertanya-tanya dalam hati.Ketika memas
Pantai Arverra.Kaki Evora menapak di pasir pantai. Sinar matahari sedikit menyilaukan matanya. Helaian rambutnya bergoyang terkena hembusan angin.Di genggaman tangannya ada notebook yang selalu ia gunakan untuk mencatat.“Ayo, Evora!” seru Andreas seraya menepuk pundak Evora. Di belakangnya, seluruh tim perusahaan dan klien dari Roys Corporation mengikuti.Evora pun berjalan di sisi Andreas. Mereka melangkah memasuki area pantai. Semakin mereka masuk, udara semakin terasa sejuk.Baru beberapa meter berjalan, Evora sudah melihat berbagai alat berat seperti crane dan dump truck. Semakin dekat, terdapat bangunan seperti kafe dan restoran yang hampir selesai. Beberapa pelabuhan juga sudah dibuka untuk jalur laut.“Berdasarkan kontrak kerja sama Avo Wisata Group dengan Roys Corporation, kita akan membangun pelabuhan sendiri dengan kapal wisata untuk para pengunjung yang ingin merasakan berlibur di pantai ini dan menikmati angin lautnya yang sejuk. Untuk pelabuhan kita sendiri baru jadi s
Hari sudah hampir gelap ketika Evora pulang ke rumahnya. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Evora masuk ke dalam rumah dan sempat memberi seulas senyum pada Lala. “Mau saya buatkan teh hijau, Nona?” tawar Lala yang hanya diangguki Evora. Lala bertanya-tanya dalam hati melihat respon Evora yang agak berbeda. Evora lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa Lizi, “Vernon, berhenti! Itu geli.” Semakin tinggi tangga yang dilangkahi Evora, semakin jelas suara tawa itu terdengar. Langkahnya lalu berhenti di anak tangga teratas. Tepat di atas tangga, Lizi berdiri berhadapan dengan Vernon tanpa jarak. Lizi mengalungkan tangannya ke leher Vernon sementara pria itu memegang bagian belakang leher Lizi. Tawa dan candaan menyelimuti mereka. Hidung mereka menempel satu sama lain dan tertawa tanpa beban. Evora mematung sejenak, matanya tak berkedip menatap mereka berdua. Perhatian mereka pun teralih ke arah Evora. Lizi sontak menutup mulut. “Ups … maaf, Evo
“Maaf ... aku hanya ingin meletakkan ini sebentar.” Evora berucap tanpa melihat wajah Vernon dan Lizi. Setelah menaruh nampan di atas nakas, Evora hendak pergi. Namun, suara Lizi menghentikannya. “Evora, bisa ambilkan minyak lavender? Badanku pegal-pegal, dan aku meminta Vernon untuk memijatku sebentar.” Sebuah nyeri yang tak asing kembali menghantam dada Evora. Pemandangan Vernon dan Lizi di kamar ini mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Wajah Evora berubah kaku, tapi ia berusaha tersenyum. “Boleh … sebentar, aku ambilkan.” Ia lalu keluar dari kamar Lizi. Setelah kepergiannya, sempat terdengar suara tawa dan candaan. Ia berusaha mengabaikannya. Setelah mengambil minyak lavender di laci ruang keluarga, ia kembali ke kamar Lizi. “Ini minyaknya, Kak.” “Terima kasih, Evora,” ucap Lizi dengan senyum manis. Namun, Evora merasa tatapan Lizi berbeda dengan senyumannya. Ia seolah sengaja dan ingin menunjukkannya pada Evora. Gadis itu belum beranjak pergi. Ia ragu sejenak sebe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen