"Ya sudah, ayo kita sholat Isya' berjama'ah, Papa tunggu di kamar," ungkap Pak Herlambang suaranya sedikit gemetar. Bangkit dari kursi duduknya dan berjalan ke kamar. Saat hendak ke kamar istrinya bertanya."Mama juga ikut, Pa?" tanya Ibu Herlambang masih duduk di kursinya. "Iya dong, Ma. Kita sholat jama'ah bertiga, kata Ustadz yang Danu temui di masjid waktu itu, sholat berjama'ah itu pahalanya 27 kali lipat. Kalo nggak salah sih, begitu katanya," ungkap Danu sambil berusaha mengingat-ingat kejadian yang lalu. "I-iya, deh," ucap Ibu Herlambang. Bangkit dari duduknya kemudian berjalan masuk kamar mendahului suami dan putra bungsunya. Pak Herlambang dan putranya mengekor dibelakang Ibu Herlambang. Mereka masuk kamar yang luasnya 6x5 meter didalamnya berfasilitas lengkap, seperti hotel berbintang, kamar mandi pun tersedia.Ibu Herlambang mengambil wudhu duluan, saat membasuh muka, ada rasa CES, dihati seorang Melinda-istri Pak Herlambang, rasa tenteram dan damai merasuki hatinya per
Gelisah mendera hati dan jiwa Danu kala sang bidadari tak kunjung membalas chatingan yang ia kirim. Danu menghentikan permainan gitarnya. Ia meraih ponselnya meletakkan gitar bersandar di meja dekat kolam renang. Danu mondar-mandir sambil menatap layar ponsel. "Zahra, kemana sih kamu? Kok nggak bales chat-ku," Danu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Telpon aja kali ya," Danu berbicara sendiri. Di sisi lain Zahra bidadari-Danu sedang asyik larut mengulang hafalan Al-Qur'an di dalam kamarnya tanpa menggubris apapun yang terjadi. Danu menatap layar ponsel lagi, dilayar tertera angka 19.35, "Apa Zahra tidur, ya?" Danu berpikir menerka-nerka apa yang sedang di lakukan bidadarinya itu. Danu kembali duduk di kursi yang tersedia. Sekekali jarinya memetik senar gitar tak beraturan hingga menibulkan bunyi tak beraturan. Teng, jreng. Danu memutuskan untuk langsung menghubungi Zahra, ia mencoba melakukan panggilan video. "Berdering," ucap Danu sumringah. Zahra tak bergeming saat pon
Kini kedua insan itu sama-sama membisu. Danu larut dalam kenangan hijrahnya, sementara Zahra larut dengan ungkapan yang diutarakan Danu tadi. Telepon masih tersambung. "Kenapa Mas Danu nggak bahas alasan perjodohan ini? Apa pak Herlambang menyembunyikan alasan itu dari Mas Danu? Kok yang diceritakan tak sesuai harapanku." "Jadi penyebab nekatnya dia kemarin karena jatuh cinta. Ah, betapa dahsyatnya pengaruh cinta itu melebihi sulap, hingga mampu mengubah jalan hidup seseorang." Pikiran Zahra terbagi antara senang dan penuh tanya. "Zahra, apa kamu masih disitu?" Danu bersuara lagi. Zahra masih bergelut dengan fikiran-nya. Cicak didinding kamar Zahra merayap seakan ikut bertanya, "ada apa denganmu Zahra." "Zahra." Suara Danu kembali muncul. "Iya, M-mas. Kenapa?" Zahra terbata. "Salahkah bila aku mencintaimu, Zahra?" tanya Danu dari balik telepon. Zahra tersenyum mendengar pertanyaan calon suaminya. "Mas nggak salah kok. Cinta itu suatu perasaan yang lumrah dimiliki setiap insan,
"Makanya video call dong, biar nggak kaya denger radio," celetuk Danu tertawa renyah. "Eh, Mas. Ngomong-ngomong makasih ya sudah buat aku ketawa. Jarang benget aku ngobrol lama sama laki-laki," ungkap Zahra tersenyum ia mulai bisa bersahabat dengan Danu. "Emang kamu nggak pernah ngobrol sama laki-laki gitu?" tanya Danu penasaran kini Danu memeluk gitarnya. "Ya pernah sih, Mas. Tapi nggak selama ini. Paling lama 10 menit sudah tut tut tut," ungkap Zahra lagi. "Aku nggak pernah ngobrol sebebas ini, Mas. Aku selalu jaga jarak dan membatasi waktu," ungkap Zahra suara lembutnya muncul lagi. "Wah aku pria beruntung dong. Pernah pacaran?" tanya Danu penasaran. "Belum pernah, Mas. Hari-hari ku dipondok ku sibukan dengan hafalan dan belajar ilmu agama yang lain, sambil membantu Bu Nyai," jelas Zahra. "Kalo Mas gimana?" tanya Zahra. "Sama. Eh pernah sekali, cuma bertahan sebulan aja. Aku nggak tahan pacaran, ini itu nggak boleh. Apa-apa wajib lapor, dah kaya tahanan aja," ungkap Danu tert
Danu men-scrol semua materi yang ditampilkan di layar, ia memilih salah satu resep. Di-klik munculah resep dan tatacara membuat nasi goreng. Dibaca pelan sambil duduk di kursi meja makan.Danu mengacak rambutnya, membaca bahan-bahan yang ada diresep. "Ah, ribet. Ada sosis, bakso, kecap, telur, nasi putih, bumbu-bumbu apa lagi ini? Duh, aku nggak ngerti urusan dapur lagi. Selama ini tinggal makan aja," Danu resah membaca resep nasi goreng di internet. "Ah, coba aja deh. Aku harus bisa!" Danu mensuport diri sendiri. Danu beranjak menuju dapur, ia hendak masak nasi goreng. Sampai didapur Danu bingung. Dimana mencari nasi dan peralatan untuk membuat nasi goreng. Ia berdiri bola matanya menyapu ruangan dapur. Ada berbagi alat memasak, piring, sendok dan gelas. Tapi ia tak tahu dimana nasi disimpan. Selama ini ia tidak pernah ke dapur, semua selalu tersedia di meja makan tinggal leb, aduh enaknya. "Duh, nasi dimana sih?" Danu mencoba membuka beberapa pintu lemari di bagian atas. Tidak
Bi Surti berjalan lalu menaruh sepiring nasi putih di dekat mangkuk berisi bumbu yang akan dihaluskan. "Bi, kok diem aja sih, Bi? Ngomong dong, jawab pertanyaan saya!" rengek Danu kini Danu bertingkah seperti anak usia dini ingin tahu apa yang dilihat. Bi Surti masih saja diam, rasa kantuknya makin menjadi. Sedang si majikan muda masih saja bertanya. "Bibi, kenapa nasinya di taruh disitu? Kenapa nggak ditaruh seperti kalau di meja makan?" Danu terus bertanya. Bi surti menguap beberapa kali, di sudut matanya berair. Kini ia mengambil sebutir telur dari dalam kulkas. "Bi, bibi!" rengek Danu lagi. Bi Surti meletakkan telur di mangkuk bersama bumbu yang akan di haluskan. "Den, ini mau masak nasi goreng, apa wawancara sih, Den? Dari tadi nanya aja, kepala bibi pusing, Den," ungkap Bi Surti air mukanya masam. Danu diam memerhatikan Bi Surti yang sedang kesal sambil duduk di kursi lagi. "Lagian Aden, masa alat begituan nggak tau. Itu megicom Aden, gunanya untuk memasak nasi. Dirumah
Danu menyantap nasi goreng hasil kolaborasi ia dan Bi Surti. Beruntung saja sang ART cerdas menambahkan porsi nasi lagi, hingga membuat rasanya tidak seasin sebelum ditambah nasi.Bi Surti sudah selesai beberes ia kemudian pamit undur diri untuk tidur."Bibi tidur duluan, Den. Ngantuk." "Oh, ya, Bi. Makasih ya, udah ngajarin masak nasi goreng. Besok pagi ajarin lagi, ya!" pinta Danu menyantap nasi gorengnya. Bi Surti hanya mengangguk dan beberapa kali menguap. Ia pun berjalan meninggalkan Danu menikmati nasi gorengnya, rasa kantuk sudah tak tertahankan jam menunjukan sudah pukul 22.55 WIB. Danu segera menghabisikan makan malamnya, minum kemudian kekamar men-charge ponselnya lalu tidur. +++++++++Danu malam ini tidur dengan perut kenyang hingga membuatnya cepat terlelap. Dalam tidur ia bermimpi. Dalam mimpi itu, Danu melihat dirinya sendiri mengenakan baju khas pengantin berwarna putih dan kopiah berwarna senada sedang bercermin, melihat dengan bangga dan pongah atas ketampananny
Setelah menelpon kedua sahabatnya, Danu bergegas keluar kamar menuju dapur, ia hendak mengambil minum. Danu menuruni anak tangga menuju ruang dapur. Sepi, suasana rumah masih sepi. Ini pertama kalinya seorang Danu Herlambang bangun sepagi ini. Dulu, Danu terbiasa bangun jam 09.00 WIB. Setelah berhijrah ia mulai membiasakan bangun pagi untuk shalat Subuh, meskipun telat setidaknya ada perubahan. Setelah shalat subuh biasanya ia tidur lagi. Namun, pagi ini berbeda sekali, Danu bangun lebih dulu dari semua penghuni rumah. Danu meraih gelas kemudian mengisinya dengan air mineral, diteguknya isi gelas itu hingga habis. Ia duduk di kursi meja makan yang ada didapur. Danu melamun."Den, tumben sudah bangun," sapa Pak Kasno menepuk bahu majikan mudanya. "Eh, Pak Kasno. Kaget saya, Pak," balas Danu. Melempar senyum kemudian menunduk. "Tumben Aden jam segini udah bangun, mau ngopi, Den?" tawar pak Kasno pada majikan mudanya. Laki-laki berambut cepak itu menyeduh kopi kemasan. "Nggak ah.