JEVINTampak seperti adegan-adegan dalam opera sabun, nyatanya adegan tersebut terjadi padaku, di dunia nyata.Kalau saja Mami nggak menyikut lenganku maka aku akan tetap beku di tempat tanpa melakukan apa-apa.Aku dan Niken sama-sama mengulurkan tangan untuk berjabatan. Kulit Niken terasa begitu halus di telapak tanganku. Kami berkenalan, tapi Tante Lenalah yang mewakili memberitahu nama masing-masing.“Jev, ini anak Tante, namanya Niken. Ken, ini Jevin, anaknya Tante Rosella yang Mama ceritain ke kamu, yang arkeolog itu. Kamu suka sejarah kan? Pas banget nanya-nanya sama pakarnya langsung.”Entah apa saja yang disampaikan Mami pada Tante Lena mengenaiku. Lalu Tante Lena melanjutkan pada anaknya.“Iya, Ma.” Niken menerbitkan senyum dari bibirnya. Aku akui senyumnya begitu menawan. “Kalau begitu kalian ngobrol-ngobrol aja dulu. Jev, Tante tinggal sebentar ya? Ayo, Bu.” Tante Lena menggandeng tangan Mami masuk ke dalam rumah.Mami melempar senyum penuh arti padaku. Dan sekarang aku
ZELINE“Kamu tahu kenapa Javas nitipin kamu di sini? Itu karena dia nggak mau kamu sendiri di sana. Tinggal sendiri di sana nggak aman buat kamu, Zel.” Jevin kembali bicara sebelum aku berkata apa-apa.Aku menurunkan pandangan pada tanganku yang dicekal Jevin. Dia ikut memandang ke arah yang sama lalu melepaskannya.“Kalau di sini jauh dari kantor, aku sering telat, aku juga capek nyetir,” jawabku mengatakan alasan.“Aku bisa antar kamu biar nggak telat, biar kamu nggak capek nyetir.”Jevin membungkam mulutku dengan kata-katanya sampai aku kehilangan alasan. Andai saja dia tahu kehadirannyalah yang membuatku ingin pergi dari sini.“Makasih, Jev, tapi aku bisa nyetir sendiri. Aku cuma mau jaraknya nggak terlalu jauh. Lagian ada bajuku yang ketinggalan di rumah Mas Javas. Aku mau pakai baju itu besok dan harus mengambil baju itu sekarang.” Akhirnya aku kembali menemukan alasan yang tepat. Jevin nggak akan bisa lagi menahanku.“Aku bisa mengantar kamu ke rumah Javas untuk mengambil baju
ZELINESisa-sisa hujan di luar sana meresidu udara dingin. Tapi di dalam sini tubuhku jauh lebih beku.Bibir Jevin menempel di bibirku. Dia memagutku dengan erat yang membuatku sulit untuk lepas. Sekujur tubuhku melemah. Lutut dan seluruh persendianku goyah. Sedahsyat itu efeknya padaku.Aku hampir saja terlena. Tapi akal sehatku memberi peringatan bahwa hal ini tidak pantas untuk dilakukan. Sontak, kudorong dadanya. Dia terkejut, pagutan kami juga terpisah.***JEVINFor god’s sake, aku nggak sengaja melakukannya. Aku bukan bermaksud kurang ajar dengan mencium Zeline. Tadi semua mengalir begitu saja tanpa direncana. Akulah yang salah karena gagal menahan diri.“Maaf, aku nggak sengaja, Zel. Maaf,” ucapku sekali lagi.Zeline mengusap bibirnya dengan pergelangan tangan, menghapus bekas ciumanku.“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Dia menerobos dan hendak pergi dariku.“Tapi kita belum selesai bicara, Zel.” Aku mencekal lengannya agar jangan pergi dulu.“Dari tadi aku udah kasih kamu ke
JEVINAku membaca lagi dengan seksama pesan diteruskan yang dikirim Mami melalui chat. Dalam pesan tersebut berisi alamat resto tempat pertemuan dengan Niken. Mami dan Tante Lenalah yang mengatur pertemuan tersebut, kami berdua hanya menerima.Aku meletakkan ponsel setelah merekam di benak alamatnya. Bersamaan dengan itu pintu kamar diketuk dari luar. Mami masuk ke dalam.“Udah dibaca chat Mami, Jev?”“Udah, Mi.”Mami menarik langkah mendekat lalu duduk di dekatku. “Nanti malam lho janjinya, kamu jangan sampai lupa.”“Well noted, Mi.”Senyum Mami terkembang lebar. “Mami senang kamu mau mencoba dengan Niken, Jev.”“Tapi aku nggak janji apa-apa ya, Mi. Don’t expect too much.” Aku khawatir Mami berekspektasi ini itu segala macam, lalu kecewa jika ternyata aku nggak bisa memenuhi harapannnya.“Kamu jangan pesimis dulu dong. Hidup itu harus optimis dan penuh semangat, Jev.”“Iya, Mi, aku paham, tapi belum tentu juga aku dan Niken bakalan cocok.”“Siapa bilang? Mami lihat kalian berdua sera
LTJ 300JEVINZeline memalingkan muka saat aku mempertemukan mata kami. Sementara Ariq yang duduk di sebelahnya masih menanti jawaban dariku.Aku baru akan menjawab, tapi Ariq lebih dulu bicara.“Maaf, mungkin pertanyaan saya terlalu personal,” ujarnya dengan senyum melengkung di bibir.“Take it easy, ini namanya Niken, dan bukan pacar saya,” terangku pada Ariq. “Ke, ini Ariq, dan di sebelahnya Zeline.” Aku mengenalkan keduanya pada Niken.Ariq mengulurkan tangannya lebih dulu yang disambut oleh Niken. Mereka saling menyebutkan nama masing-masing. Selanjutnya giliran Niken dan Zeline. Zeline tersenyum lebar dan mengenalkan diri dengan ramah pada Niken. “Zeline, Mbak. Tante Rosella udah cerita semua tentang Mbak Niken.”Niken membalas senyum Zeline lalu memandang padaku dengan sorot mata meminta penjelasan, ‘Dia ini siapa-nya kamu? Kenapa tahu tentang aku?’“Bener banget yang dibilang Tante Rosella, Mbak Niken bening dan cantik banget. Eh, aku harus panggil Mbak atau dokter Niken?” u
ZELINE“Jev, jangan …” Kudorong pelan wajah Jevin agar menjauh dariku. Namun, bukannya berhenti kecupan Jevin malah bertambah liar dan menjalar ke mana-mana. He's such a good kisser Aku tak berdaya. Pertahananku goyah. Jevin berhasil menemukan titik-titik sensitifku yang membuatku lemah.Jevin tak henti mencium setiap jengkal kulitku. Selagi bibirnya bergerak, tangannya berkelana di mana-mana. Dan aku tak mampu menghentikannya. Dia bagai memiliki medan magnet berkekuatan magis yang membuatku terperangkap.Dia kemudian melepaskan leherku dari perangkap bibirnya lalu memutar tubuhku agar mengarah padanya. Sesaat setelahnya Jevin mengambil lipstick berwarna coral dari tanganku.“Kamu mau apa, Jev?” tanyaku heran. Entah apa yang akan dilakukannya dengan kosmetikku itu.“Sssssttt!” Jevin menyuruhku diam.Pikiranku masih menerka-nerka apa yang akan dilakukannya ketika Jevin mengoles lipstick itu di bibirku. Aku diam sementara bola mataku begitu fokus memperhatikannya. Dengan jarak sedekat i
ZELINEPercakapanku dan Niken terhenti ketika Jevin muncul dari toilet lalu masuk ke mobil. Setelahnya kami langsung meninggalkan SPBU.Dalam sisa perjalanan ke rumah Niken pasangan calon pengantin itu kembali menyambung percakapan yang kali ini lebih dalam dan serius serta lebih menjurus membahas masa depan. “Jev, aku dengar katanya kamu udah resign dari pekerjaan yang lama. Itu benar?”“Iya.” Jevin menyahut singkat tanpa memandang pada Niken. Kedua matanya menyorot lurus pada jalan raya.“Jadi apa rencana kamu selanjutnya?”“Mungkin mencari pekerjaan yang baru.”“Di Indonesia tapi kan?”Aku sangat mengerti maksud pertanyaan Niken. Pastinya dia ingin memastikan jika setelah menikah nanti mereka tidak akan berpisah. Memangnya siapa yang mau berjauhan dengan pasangannya? Kalau aku berada di posisi Niken aku juga akan memastikan jika Jevin tidak akan jauh dariku.“Belum tahu di mana. Bisa jadi di Indonesia atau di luar.”“Kalau bisa di lndonesia aja ya, Jev. Kamu kan bisa kerja di ins
JEVINAku pikir ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengungkapkannya pada Zeline. Momen seperti ini mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Sebelum terlambat, sebelum aku benar-benar memulainya dengan Niken.Zeline yang duduk di sebelahku diam tanpa kata. Tubuhnya tidak bergerak. Dia membeku dalam bungkam. Entah sedang memikirkan jawaban dari pertanyaanku atau … entahlah.Detik demi detik berlalu dan Zeline masih betah dalam gemingnya. Aku menanti dengan tegang apa yang akan disampaikannya. Semoga rasa itu ada untukku. Semoga saat ini Zeline mash sendiri sehingga peluang itu terbuka untukku.“Zel …" Aku memanggilnya, meminta agar dia segera menjawab pertanyaanku. Zeline nggak akan pernah tahu betapa tersiksanya aku menanti.Dia masih tetap dalam posisinya. Duduk dengan tatapan lurus ke depan seakan tidak mendengar kata-kataku.Apa dia butuh waktu untuk mempertimbangkannya? Apa dia butuh pikiran jernih sebelum memutuskan untuk mengatakan iya atau tidak?“Kalau kamu butuh waktu ka