Bagaimana rasanya hidup bersama suami yang tuli, yang kamu nikahi bukan karena cinta... melainkan demi membebaskan pria lain; cinta pertamamu, yang telah membunuh ayahnya? Dialah suamiku. Seorang pria sederhana, yatim piatu, dengan keistimewaan sebagai tunarungu. Selama dua tahun pernikahan, ia mencintaiku tanpa syarat, melindungiku dari hinaan orang-orang, dan mencurahkan kasih sayang yang bahkan tak pernah kuminta. Tapi aku membalasnya dengan kebohongan dan pengkhianatan. Hingga suatu hari, ia mengetahui semuanya... Air mata tak lagi berarti ketika tatapan penuh cinta berubah menjadi tatapan benci. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan cincin dan surat cerai yang dulu kutandatangani tanpa rasa bersalah. Aku pikir pernikahan kami hanya sementara, tapi kepergiannya membuatku sadar... aku kehilangan segalanya. Saat aku berusaha mengejarnya, takdir justru menjatuhkanku ke dasar. Kecelakaan merenggut ingatanku, dan keluargaku memanfaatkan itu untuk menghapus keberadaannya dari hidupku. Namun hati tak bisa dibohongi selamanya. Saat memoriku perlahan kembali, aku memilih menentang dunia... demi memperjuangkan satu-satunya pria yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Kini aku berdiri, bukan sebagai pewaris rumah sakit ternama. Tapi sebagai wanita yang siap membuktikan bahwa cinta sejati tak pernah terlambat untuk diperjuangkan.
View MoreTiga tahun telah berlalu... Laviska Ruby Meshach kini genap berusia enam tahun—masih menjadi satu-satunya buah hati dalam keluarga kecil yang penuh cinta itu. Hari ini menjadi hari bersejarah baginya, hari pertama masuk sekolah dasar. Sejak semalam, Laviska tak henti-hentinya mempersiapkan perlengkapannya sendiri: seragam yang digantung rapi di dekat tempat tidur, sepatu yang disemir bersama Daddy, hingga kotak makan lucu berisi camilan kesukaannya yang disiapkan oleh Mommy. Wajahnya semringah penuh antusias, begitu tak sabar ingin memperkenalkan diri di depan kelas, bertemu guru-guru, dan menjalin pertemanan dengan anak-anak lain. Namun di sisi lain, Jennie; sang Eomma, mengalami malam yang sangat berbeda. Bukannya tidur lelap karena hari besar putrinya akan segera tiba, Jennie justru menghabiskan malam dalam pelukan suaminya dengan tangis pelan yang tak berhenti. Tangis seorang ibu. Tangis akan waktu yang berjalan terlalu cepat. Tangis karena putri kecilnya kini sudah cu
Waktu makan malam tiba. Lampu ruang rawat sedikit diredupkan, hanya cahaya dari layar televisi yang menampilkan film animasi keluarga dan lampu kota dari jendela besar yang menyinari ruangan itu dengan lembut. Jennie duduk di samping suami dan putrinya, sambil membawa mangkuk bubur hangat.Di pangkuan Liam, Laviska meringkuk manja, bersandar pada dada bidang ayahnya, menolak bergerak bahkan sedetik pun. Sejak tadi sore, Laviska tidak ingin berpisah dari Liam. Ia bahkan menangis ketika Liam hendak ke kamar mandi.“Laviska, sayang… sekarang waktunya makan malam,” kata Jennie dengan suara lembut sambil membelai rambut anak gadisnya yang lembut dan sedikit kusut.Laviska menggeleng cepat, wajahnya meringis. “Enggak mau… enggak lapar, Eomma…”Jennie tersenyum sabar. “Kalau kamu enggak makan, nanti tubuhmu makin lemas, Nak. Luka di keningnya juga nanti lama sembuhnya…”Liam mencium ubun-ubun Laviska dan berkata dengan suara hangat, “Sayang, kalau kamu makan yang banyak, nanti bisa cepat lep
Pagi hari, tepat pukul 07.00, ketiganya; Jennie, Liam, dan Laviska; baru saja selesai menikmati sarapan sederhana bersama di ruang makan mereka yang hangat dan penuh cahaya matahari pagi. Piring-piring sudah hampir kosong, dan gelas jus jeruk milik Laviska tinggal setengah. Jennie mengelap bibir Laviska dengan lembut menggunakan tisu, lalu menatap putrinya yang duduk di pangkuannya. “Sayang, hari ini mau ikut Eomma ke rumah sakit atau ikut Appa ke kafe?” tanya Jennie sambil membelai rambut hitam lurus Laviska. Gadis kecil itu menoleh ke arah ayahnya, lalu kembali menatap ibunya dengan mata bulat penuh semangat. “Mau ikut Appa ajaa~!” jawabnya dengan cadel khas anak kecil. “Appa janji kemarin mau main sama Laviska di kafe, kan?” Jennie tertawa kecil. “Iya, Appa ingat.” Ia menoleh ke arah Liam yang hanya tersenyum sambil menyesap kopi hangatnya. “Kalau begitu, janji ya,” Jennie kembali menatap La
Tiga tahun telah berlalu dengan cepat. Hari itu, mentari pagi menelusup hangat ke dalam kamar utama mansion mewah keluarga kecil Kim. Di atas ranjang empuk berbalut seprai putih bersih, Jennie telah terjaga lebih dulu bersama Laviska; putri mungilnya yang hari ini genap berusia tiga tahun. "Selamat ulang tahun, sayang Eomma," bisik Jennie lembut, mengecup pelipis Laviska yang duduk di antara dirinya dan Liam yang masih terlelap. Laviska mengedip pelan. Mata bulatnya yang besar menatap wajah sang Appa yang tertidur pulas dengan posisi menyamping membelakangi mereka. Helaan napas Liam terdengar teratur. Ia baru pulang larut malam setelah menyelesaikan urusan di café yang akan mereka buka ulang dengan konsep baru: ramah anak. Café mereka. "Eomma..." bisik Laviska pelan. "Hmm?" Jennie mengusap anak rambut putrinya yang acak-acakan. "Appa... ngolok," ucap Laviska sambil menunjuk Liam
9 bulan 9 hari. Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk lewat jendela besar ruang perawatan bersalin VIP di rumah sakit ternama kota. Ruangan itu terasa hangat, namun tetap penuh ketegangan. Di dalamnya, Jennie terbaring di ranjang pasien dengan wajah yang mulai pucat dan lelah, sementara Liam duduk di sebelahnya, tak melepaskan genggaman tangannya dari tangan sang istri. Tuan dan Nyonya Kim telah menginap sejak malam sebelumnya, menemani dan membantu putri mereka. Tapi pagi itu mereka sedang pergi ke kantin untuk membelikan sarapan ringan untuk mereka dan Liam, yang sedari subuh belum beranjak dari sisi Jennie. Liam perlahan mengangkat botol air minum yang dia pegang sedari tadi. “Minum dulu, Sayang,” ucapnya lembut, membantu Jennie yang sedikit bersandar untuk minum. Jennie meneguk perlahan, napasnya sedikit terengah. “Terima kasih… Appa Debay…” bisiknya pelan, senyum lemah tersungging di bibirnya yang mulai kering.
Mobil hitam itu melaju pelan melewati jalanan kota pagi itu. Di dalamnya, Jennie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan cardigan lembut berwarna pastel dan masker yang sedikit diturunkan saat menyuapi suaminya dengan potongan kecil sandwich hangat yang mereka bungkus dari rumah. Di kursi pengemudi, Liam fokus menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menerima suapan dengan pasrah dan manja. "Aaah...," gumam Jennie sambil mengangkat potongan sandwich ke mulut Liam. Liam membuka mulutnya sambil melirik istrinya dengan senyum kecil. Setelah mengunyah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Kamu tahu," katanya dengan suara sedikit serak karena menahan mual, "aku masih nggak percaya... aku yang ngidam, bukan kamu." Jennie tersenyum lembut, lalu menyeka remah roti dari sudut bibir suaminya dengan jari. "Aku yang hamil, tapi kamu yang mual dan muntah. Aku yang bawa debay di perut, tapi kamu yang ngidam mi instan jam tiga pagi dan nangis karena kehabisan susu stroberi," godan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments