Bagaimana rasanya hidup bersama suami yang tuli, yang kamu nikahi bukan karena cinta... melainkan demi membebaskan pria lain; cinta pertamamu, yang telah membunuh ayahnya? Dialah suamiku. Seorang pria sederhana, yatim piatu, dengan keistimewaan sebagai tunarungu. Selama dua tahun pernikahan, ia mencintaiku tanpa syarat, melindungiku dari hinaan orang-orang, dan mencurahkan kasih sayang yang bahkan tak pernah kuminta. Tapi aku membalasnya dengan kebohongan dan pengkhianatan. Hingga suatu hari, ia mengetahui semuanya... Air mata tak lagi berarti ketika tatapan penuh cinta berubah menjadi tatapan benci. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan cincin dan surat cerai yang dulu kutandatangani tanpa rasa bersalah. Aku pikir pernikahan kami hanya sementara, tapi kepergiannya membuatku sadar... aku kehilangan segalanya. Saat aku berusaha mengejarnya, takdir justru menjatuhkanku ke dasar. Kecelakaan merenggut ingatanku, dan keluargaku memanfaatkan itu untuk menghapus keberadaannya dari hidupku. Namun hati tak bisa dibohongi selamanya. Saat memoriku perlahan kembali, aku memilih menentang dunia... demi memperjuangkan satu-satunya pria yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Kini aku berdiri, bukan sebagai pewaris rumah sakit ternama. Tapi sebagai wanita yang siap membuktikan bahwa cinta sejati tak pernah terlambat untuk diperjuangkan.
View MoreSuara langkah kaki Jennie terburu-buru menuruni tangga. Tangannya menggenggam kunci mobil dan tas tangan besar berwarna cokelat tua. “Aku pergi dulu, Sayang! Ada pasien emergency yang harus kutangani,” serunya sambil menuruni tangga, tak menoleh sedikit pun ke arah pria yang duduk di ruang kerja dengan buku tebal di pangkuannya.
Liam hanya mengangguk kecil dari balik kacamata bacanya. Ia tidak membalas dengan ucapan atau tanda, hanya melambaikan tangan sebagai isyarat, seperti biasa. Pintu depan tertutup. Hening menggantung sesaat di dalam rumah besar itu. Liam menutup buku di pangkuannya dan berdiri perlahan, berencana membereskan cangkir kopi milik Jennie yang belum sempat disentuh di atas meja kerja di ruang baca. Tapi saat melewati ruang kerja pribadi istrinya, ia melihat cahaya dari layar laptop menyala, terbuka. Sepertinya laptop itu lupa ditutup saat Jennie tergesa pergi. “Jangan sentuh barang pribadi orang lain, Liam...” suara hati kecilnya mengingatkan. Namun langkahnya seakan punya kehendaknya sendiri. Cahaya dari layar laptop itu seperti memanggil. Ia melangkah masuk. Tangannya ragu menyentuh touchpad laptop itu. Tapi saat layar terbuka penuh, pandangannya membeku. Sebuah email terbuka—judulnya membuat jantungnya mencelos: Transfer rutin untuk Raka - Maret 2025 Matanya menyusuri isi surel. Ada lampiran bukti transfer sebesar Rp70.000.000 ke rekening luar negeri atas nama Raka Ardiansyah. Setiap bulan. Selama dua tahun. Liam terduduk perlahan. Jari-jarinya gemetar saat membuka folder di samping email itu: “Project Raka – Private” Dia klik satu dokumen. > “Raka akan tetap berada di Brisbane sampai masa pengalihan kasus selesai. Semua surat keterangan dari pengadilan sudah saya atur. Sisa pembayaran ke pengacara akan saya kirimkan minggu depan.” Dada Liam terasa sesak. Nafasnya tercekat. “Tidak... Tidak mungkin...” batinnya mulai berteriak. Ia mencari folder lain. "Case Ayah – Bukti CCTV" Klik. Tersimpan dengan baik, rekaman saat mobil menabrak seseorang di malam itu. Ayahnya. Dan Raka... yang mengendarai mobil. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan tangis yang menumpuk selama ini. Luka lama terbuka, dan kini ditaburi garam oleh orang yang paling ia percayai. Tangannya meraih surat lain. > “Liam tidak tahu apa-apa. Aku hanya butuh waktu sampai dia menandatangani surat permohonan penangguhan penahanan. Setelah itu, dia bebas. Kau tenang saja di sana, Raka. Aku akan urus semua ini.” Liam menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya berguncang hebat. Air mata jatuh tak terbendung. “Jadi... ini alasannya...” “Dua puluh kali... dua puluh kali kau memohon aku menerima pernikahan ini... hanya demi membebaskan pembunuh ayahku?” Dadanya seperti diremas. Suara batinnya meraung. Ia merasa dipermainkan. Dijadikan alat. Semua kebaikannya selama dua tahun ini hanya untuk seseorang yang bahkan tidak pantas mendapatkannya. Tangannya gemetar saat menutup laptop itu. Ia berdiri perlahan, menahan tubuhnya yang limbung. Matanya merah, tapi tidak lagi basah. Ada bara api yang tumbuh di balik tatapannya. Luka yang tak terlihat, namun menghancurkan segalanya. Ia berjalan ke kamar. Langkahnya berat. Setiap bayangan kenangan selama dua tahun terakhir menghantam pikirannya. Saat ia menyiapkan air hangat untuk berendam sang istri… Saat ia memasakkan sarapan favoritnya… Saat ia mengecup keningnya setiap pagi dan malam… Saat ia diam saat orang-orang mengejek keadaannya, karena ia tuli… tapi ia tetap berdiri, demi cinta yang ia pikir tulus. Liam membuka laci meja kecil di samping ranjang. Mengambil kertas yang ia temukan sebulan lalu; surat cerai bertanda tangan Jennie. Saat itu ia tidak paham. Kini semua jelas. Ia menarik napas dalam-dalam, menandatangani bagian untuk pihak suami. Perlahan, ia lepas cincin dari jari manisnya. Diletakkan rapi di atas surat cerai. Liam mengirim pesan pada istrinya. *** Ting! Pesan masuk dari Liam: "Ada yang ingin aku katakan padamu. Kembalilah sekarang." Jennie baru saja memasuki jalan besar setelah keluar dari komplek rumah. Mobilnya melaju stabil, tetapi pesan itu menghentikan aliran pikirannya seketika. Alisnya berkerut. "Tidak seperti biasanya... Liam tidak pernah kirim pesan kayak gini. Tumben pakai kalimat langsung." gumamnya, jemarinya menekan tombol lampu sen untuk berputar balik. Ada tekanan emosional dalam pesan suaminya. Dia bisa merasakannya. Ada yang salah. Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah. Rumah sakit bisa menunggu; meski ada pasien yang membutuhkan dirinya. Tapi suaminya... suaminya yang biasanya diam dan sabar, mengirim pesan langsung? Itu bukan hal kecil. *** Di kamar utama lantai dua, Liam duduk di tepi kasur dengan wajah datar dan mata memerah. Di tangannya, ada cincin yang telah ia lepaskan tadi. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang sangat menyakitkan. Dia memandangi pintu, menunggu. Klik! Suara pintu terbuka membuat tubuhnya menegang. Jennie masuk dengan langkah cepat. “Sayang... kenapa?” tanyanya sambil menatap wajah suaminya; wajah yang begitu asing saat ini. Tatapan Liam kosong, namun penuh luka. Ia berdiri, menatap lurus ke arah wanita yang telah mengisi hari-harinya. Wanita yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. “Kenapa?” suara Jennie lirih, nyaris tak terdengar. Ada ketakutan yang mulai merayap di dadanya. Liam menatap matanya dalam-dalam. Satu kata keluar dari mulutnya dengan jelas. “Cerai.” Deg! Kata itu seperti ledakan. Dunia Jennie berhenti seketika. Jantungnya seperti diremas keras. “A... apa?” suaranya tercekat. “Apa maksudmu... cerai? Liam... kamu bercanda, ya?” Dia mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya patah. Ia melangkah maju, hendak menggenggam lengan suaminya. Tapi Liam mundur dua langkah. Tatapan lembut yang biasa menatapnya kini telah berubah. Penuh luka. Penuh benci. “Liam...” Tangannya terulur, gemetar. “Tolong jangan lihat aku seperti itu. Tolong jelaskan... setidaknya beri aku alasan!” Air mata Jennie langsung mengalir deras. “Liam... aku mohon,” ucapnya panik. Tapi Liam hanya memejamkan mata, menahan perih yang sudah terlalu dalam. Ia mengambil dompet, ponsel, dan mengenakan jaket tipis. “Liam, tolong jangan pergi. Tolong... kamu tidak bisa meninggalkanku seperti ini...” Jennie menarik ujung bajunya. “Kita bisa bicara baik-baik. Kumohon... jangan pergi seperti ini!” Liam menepis tangannya pelan. Tak kasar, tapi tegas. Ia menatap wajah wanita itu terakhir kali; wajah yang pernah ia sebut rumah. Lalu, dia pergi. Menuruni tangga dengan langkah cepat. Pintu depan terbanting pelan. Jennie berdiri terpaku di ambang pintu kamar, lalu jatuh berlutut. “Tidak... Liam...” suaranya pecah. Tubuhnya gemetar. Air matanya tumpah seolah tak bisa berhenti. Ia memukul dadanya sendiri sambil menjerit pelan. "Kenapa... kenapa aku begini bodoh... Liam... aku minta maaf... aku minta maaf..." Matanya tiba-tiba tertuju pada meja kecil di samping ranjang. Di sana, sebuah cincin kawin... dan lembar surat. Surat cerai. Tangannya gemetar saat mengambilnya. Sudah ditandatangani oleh Liam. “Tidak... tidak... jangan seperti ini...!” ia berteriak. Suaranya serak dan putus asa. Jennie bangkit. Ia menyeka air matanya sambil mengambil tas kecil. “Aku harus menemukannya... aku harus bicara langsung... aku harus menjelaskan semuanya!” Ia berlari menuruni tangga, masuk ke dalam mobilnya. Mesin dinyalakan dengan tangan gemetar. Matanya masih basah, napasnya tersengal. “Tolong... jangan pergi dariku, Liam. Aku tahu aku salah. Tapi jangan tinggalkan aku...!” Di tengah perjalanan... Mobil Jennie melaju cepat. Tangannya menggenggam setir dengan erat. “Liam... tolong... angkat teleponmu... lihat pesanku... tunggu aku sebentar saja...” Namun dalam kekalutan dan air mata yang memburamkan pandangan, ia tak menyadari mobil dari arah berlawanan melaju terlalu cepat di tikungan... BRAAAK!!! Benturan keras terdengar. Mobil Jennie terguling ke sisi jalan. Kaca pecah. Asap mulai keluar dari kap mesin. Darah menetes dari pelipisnya. Pandangannya kabur. Tapi bibirnya masih berusaha mengucapkan satu nama... “Liam...” ***(Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut).Ruang UGD, Rumah Sakit Kim – Pukul 23:45. "Luka di bagian pelipis kanan cukup dalam, segera siapkan peralatan jahit luka!" seru Dokter Cha begitu melihat kondisi Liam yang tak sadarkan diri dan wajahnya penuh darah. Dua perawat di sampingnya sigap menuruti perintah. "Sudah dicek tekanan darahnya?" tanya Dokter Cha cepat, sambil dengan cekatan membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Liam. "Sudah, Dokter. Masih dalam batas aman, tapi denyut nadinya sedikit lemah," jawab salah satu perawat sambil menyerahkan kasa steril. Dokter
(Disclaimer: Liam adalah seorang tunarungu. Meskipun ia tidak dapat mendengar, ia mampu memahami apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan membaca gerakan bibir mereka secara cermat. Karena itu, gangguan pendengarannya tidak terlalu menghambat komunikasi sehari-hari, selama lawan bicara berada di hadapannya. Namun, jika seseorang memanggilnya atau berbicara dari belakang, ia tidak akan menyadarinya karena tidak dapat mendengar suara tersebut)."Pagi yang bagus untuk memulai hari," gumam Liam sambil meregangkan tubuhnya di atas kasur kecil di kamar mungil yang terletak di lantai atas cafenya.Glek! Glek! Glek!"Hah..." desahnya lega setelah meneguk setengah isi air dalam gelas di atas meja lampu tidurnya.Liam beranjak dari tempat tidur, merapikannya dengan rapi seperti kebiasaannya, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Setelah bersih dan berpakaian rapi, ia turun ke luar cafe untuk mencari sarapan.Pilihannya jatuh pada kedai kecil yang tak jauh dari cafenya; pe
[Tiga Hari Setelah Kecelakaan – Ruang ICU]Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian tragis itu. Tiga hari penuh kecemasan, doa, dan… kebencian yang perlahan tumbuh di hati orang tua Jennie terhadap menantu mereka.Selama tiga hari penuh, Jennie tidak sadarkan diri, dan selama itu pula Nyonya Kim, Tuan Kim, serta Raka bergiliran menjaga putri semata wayang mereka.Liam? Tidak ada kabarnya."Dia bahkan tidak datang menjenguk Jennie… sama sekali," gumam Nyonya Kim dengan nada kesal, sambil mengusap dahi putrinya yang masih terbaring lemah."Sudah kubilang sejak awal, pria itu tidak punya tanggung jawab! Dan sekarang lihatlah sendiri, Sayang. Jennie terbaring begini pun dia tak peduli," sahut Tuan Kim, berdiri di samping ranjang.Tadi pagi, Tuan Kim sempat menyuruh supirnya untuk mengecek kediaman Jennie dan Liam. Ketika maid membuka pintu, ia menjawab,"Tuan Liam sudah tiga hari tidak pulang. Sejak pagi itu… tidak ada kabarnya."Mendengar itu, amarah Tuan Kim semakin membuncah."Brengsek!"
Pintu utama rumah sakit terbuka cepat. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam dan sorot mata tajam berjalan tergesa disamping seorang wanita elegan dengan wajah panik; Tuan dan Nyonya Kim.Petugas medis dan perawat yang berada di lobi langsung berdiri, membungkukkan badan memberi hormat."Selamat siang, Tuan Kim, Nyonya Kim."Tuan Kim tidak membalas, wajahnya serius dan tegang. Nyonya Kim langsung bertanya dengan suara bergetar,"Di mana anak saya? Di mana Jennie saya?!"Seorang perawat perempuan segera mendekat sambil membungkuk sopan."Mrs. Jennie sedang berada di ruang ICU, Nyonya. Beliau masih dalam penanganan pasca operasi penjahitan luka.""ICU? Ya Tuhan…" Nyonya Kim menggenggam dada kirinya yang terasa sesak."Cepat antar kami ke sana," perintah Tuan Kim.Mereka berdua langsung dibawa menuju ruang ICU di lantai dua dengan lift khusus staf medis. Begitu pintu lift terbuka, langkah kaki mereka bergema cepat di koridor sunyi. Ruang ICU terletak di ujung lorong dengan din
Sirine ambulans memecah malam. Lampu merah-biru memantul di dinding rumah sakit mewah itu. Para petugas medis yang semula bersiap menerima pasien lain, tiba-tiba berhamburan ke luar begitu suara radio memberi kode merah.“AMBULANS MASUK! KODE MERAH! CEPAT SIAPKAN TIM!”Salah satu koordinator jaga berteriak sambil berlari ke arah pintu otomatis.Ban ambulans berhenti dengan rem mendecit. Pintu belakang terbuka kasar. Dua paramedis segera menurunkan brankar, dan tubuh tergeletak di atasnya membuat semua orang menahan napas.“Astaga... itu... itu Direktur Jennie!”Salah satu perawat hampir menjatuhkan clipboard di tangannya. Tangannya gemetar.“Jangan bengong! SEMUA SIAP!” bentak Dokter Yoon, segera berlari sambil menarik sarung tangan medis.“Pasien perempuan, dua puluh tujuh tahun! Luka robek dalam di pelipis kanan, benturan kepala parah, kehilangan kesadaran sesaat di TKP!”“Tekanan darah 80/50! Saturasi turun! Ada respons mata, tapi lemah!”Paramedis di sisi kiri masih menggenggam ta
Suara langkah kaki Jennie terburu-buru menuruni tangga. Tangannya menggenggam kunci mobil dan tas tangan besar berwarna cokelat tua. “Aku pergi dulu, Sayang! Ada pasien emergency yang harus kutangani,” serunya sambil menuruni tangga, tak menoleh sedikit pun ke arah pria yang duduk di ruang kerja dengan buku tebal di pangkuannya.Liam hanya mengangguk kecil dari balik kacamata bacanya. Ia tidak membalas dengan ucapan atau tanda, hanya melambaikan tangan sebagai isyarat, seperti biasa.Pintu depan tertutup. Hening menggantung sesaat di dalam rumah besar itu.Liam menutup buku di pangkuannya dan berdiri perlahan, berencana membereskan cangkir kopi milik Jennie yang belum sempat disentuh di atas meja kerja di ruang baca. Tapi saat melewati ruang kerja pribadi istrinya, ia melihat cahaya dari layar laptop menyala, terbuka. Sepertinya laptop itu lupa ditutup saat Jennie tergesa pergi.“Jangan sentuh barang pribadi orang lain, Liam...” suara hati kecilnya mengingatkan.Namun langkahnya seaka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments