LOGINAgar bisa disentuh suaminya, Laura merendahkan harga dirinya sendiri, dia merengek bahkan mengemis pada pria yang dalam pelukannya. Akhirnya usaha Laura membuahkan hasil, malam itu dia berhasil membuat Rendra yang bersikukuh tidak mau menyentuhnya berubah pikiran bahkan pria itu sepanjang malam menggaulinya tanpa henti. Tapi siapa sangka pria yang dia anggap sebagai suaminya ternyata orang lain! Dia adalah David paman dari suaminya sendiri Rendra. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah hubungan singkat terlarang semalam berlanjut? Ataukah mereka sama-sama melupakan malam panas itu?
View More"Aku menginginkanmu, Mas…."
Di depan sebuah kamar, Laura memeluk erat punggung pria yang ada di depannya. Pandangannya kabur, sementara otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Alkohol yang ia tenggak beberapa saat lalu seolah telah melumpuhkan akal sehatnya. Saat ini, ia hanya menginginkan kehangatan dan sentuhan. "Laura, apa yang kau lakukan?!" Suara bariton pria dalam dekapannya itu terdengar menahan geraman. Tangannya yang besar dan kokoh berusaha melepas tangan Laura yang melingkari tubuh atletisnya. "Aku sudah lelah menunggu, Mas!" seru Laura dengan suara serak, tak mau melepas dekapannya meski pria itu terus menolak. Pria itu menyergah napas kasar, lalu menyentak tangan Laura hingga terlepas. "Hentikan, Laura!" Bukannya menyerah, Laura justru mendorong tubuh kekar pria itu masuk ke dalam kamar. Meski dalam pengaruh minuman keras, dia cukup mampu mengunci tubuh pria itu. Apalagi, ia tampak tidak mengantisipasi tindakan Laura sama sekali. "Beri aku kehangatan, Mas," racau wanita itu lagi. Suaranya terdengar memohon sekaligus putus asa. Di balik sikap beraninya itu, sepasang mata Laura justru menyiratkan kesedihan. Ia belum pernah mendapatkan nafkah batin dari suaminya yang selalu sibuk, hingga tidak ada waktu sedikit pun untuknya. Dan malam ini, Laura sudah lelah menunggu. Ia ingin disentuh oleh suaminya. Laura bertekad melakukan apapun agar suaminya itu mau bercinta dengannya. “Laura, kamu mabuk. Sadarlah…,” ujar David, pria itu, dengan suara tertahan. “Aku bukan....” Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Laura sudah lebih dulu membungkam David dengan bibirnya. Serangan bertubi-tubi membuat pertahanan David akhirnya roboh. Hasrat yang meronta untuk dipenuhi tak mungkin lagi bisa ditahan. Pria itu membawa tubuh mungil Laura ke atas tempat tidur. "Jangan salahkan aku, Laura … kamu yang memaksaku!" ujar David menatap Laura dalam. Laura mengangguk samar, lalu mengalungkan tangan di leher David. Kini, pria itu yang memegang kendali. Di bawah kungkungannya, Laura tampak memejamkan mata, membiarkan David menyentuh titik-titik sensitif di tubuhnya. Tubuh Laura tersentak saat gelenyar panas menyengatnya, membuat punggungnya melengkung. Kedua tangannya mencengkeram sprei dengan kuat kala merasakan sesuatu yang asing seolah hendak mengoyak inti tubuhnya. Laura merintih. Bukan karena nikmat, melainkan karena rasa sakit yang membuat tubuhnya menegang. David menghentikan gerakannya saat itu juga. "Kamu … masih perawan?" Sepasang matanya membulat sempurna, terkejut sekaligus bertanya-tanya. Laura mengangguk samar. Sementara David terlalu bingung, tidak tahu harus melakukan apa. "Mas, ayo lanjutkan…." Rengekan Laura kembali terdengar. Ia menarik leher David agar mendekat, sekaligus untuk mencari kekuatan di sana. Sudah alang tanggung, David melanjutkan lagi aktivitasnya. Ia melakukannya dengan hati-hati dan penuh kelembutan, hingga Laura bisa membiasakan dirinya. Laura tidak lagi merintih. Kamar itu kini penuh dengan erangan dan desahan nikmat yang saling bersahutan. Laura sama sekali lupa dengan rasa sakit yang tadi ia rasakan. Kini ia merasa penuh. Tidak hanya tubuhnya, tapi juga hatinya. Akhirnya… ia bisa merasakan rasanya bercinta. Tak hanya satu pelepasan, malam itu mereka terus berbagi peluh hingga Laura kehabisan tenaga dan jatuh tertidur dalam dekapan David. Keesokan harinya, Laura membuka mata terlebih dahulu. Dia memegangi kepalanya yang terasa pening. Kilatan aktivitas semalam mencuat, membuat wanita cantik itu mengembangkan senyuman. Laura segera memeluk pria yang tengah membelakanginya, bahkan menyatukan kulit telanjang mereka di bawah selimut. Namun, ada yang berbeda dari suaminya itu. Tangan Laura meraba-raba, menyusuri kulit hangat pria itu, hingga berhenti di perutnya yang sixpack. Sebentar … tubuh suaminya tidak sekekar dan seatletis ini. Laura bangun, menopang tubuhnya dengan sebelah tangan. Benar saja! Terlihat dengan jelas jika warna kulit suaminya sangat berbeda. Jantung Laura seketika berdetak satu tempo lebih cepat saat menyadari siapa pria yang terlelap di sebelahnya itu. "Pak David?!" Ternyata yang tidur bersamanya semalam bukan Rendra suaminya, melainkan … David … paman suaminya sendiri! Kepala Laura seolah baru saja dihantam godam. "Tidak, tidak mungkin…." Laura menggeleng, tidak mau menerima kenyataan ini. Karena salah mengambil minuman di acara reuni semalam, Laura pulang dalam keadaan mabuk. Dan ketika melihat David, dia mengira itu adalah Rendra. "Apa yang sudah kulakukan?" Air mata jatuh membasahi pipi Laura. Bibirnya turut bergetar saking takutnya. Dengan hati tak karuan, Laura memakai pakaiannya kembali. Setelah itu dia keluar dengan rasa bersalah yang besar. ** Di kamar mandi, Laura mengguyur tubuhnya di bawah pancuran shower. Dia sungguh marah pada dirinya sendiri yang begitu bodoh dan ceroboh. Bagaimana bisa ia salah mengenali orang lain sebagai suaminya?! Wanita itu terisak dengan keras, merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Mahkota yang seharusnya untuk Rendra, kini telah dia berikan kepada David. Lantas bagaimana nanti jika Rendra sudah siap menyentuhnya, dan mendapati dirinya sudah tidak lagi suci? "Maafkan aku Mas Rendra … maaf aku tidak bisa menjaga diri." Selepas mandi, Laura duduk di depan meja rias. Bekas kecupan David di lehernya sangat banyak sehingga membuatnya jijik. Tangannya berusaha menghapus jejak bibir pria itu. Namun, sekeras apapun dia mengusap lehernya, jejak itu tetap ada. "Bagaimana jika Mas Rendra tahu?" Rasa frustrasi datang menyerang dan Laura menangis kembali. Saat itu, ia mendengar suara langkah mendekati kamar. "Laura Sayang?" Panggilan mesra itu membuat hatinya pilu. Buru-buru Laura menghapus air matanya lalu mengoles jejak merah keunguan di lehernya dengan alas bedak. "Mas." Laura berdiri dengan menunjukkan senyuman manisnya saat seorang pria tampan dengan memakai jas lengkap berjalan masuk ke dalam kamar. Dia mengambil tas jinjing yang dibawa Rendra lalu mencium tangan pria itu. "Bagaimana perjalanan bisnisnya?" Laura menatap wajah lelah suaminya. "Lancar, sayang. Minggu depan aku harus keluar negeri untuk mengurus proyeknya," ujar Rendra sambil tersenyum tipis. Semenjak menggantikan posisi David sebagai CEO di perusahaan, Rendra memang terus bekerja keras. Bukan hanya demi perusahaan, tapi juga untuk memberi Laura hidup yang layak. Laura jadi semakin merasa bersalah. "Mas, kamu sudah sarapan?" Wanita itu kembali bertanya. "Belum. Setelah aku membersihkan diri, kita turun sarapan ya." Rendra mengecup sekilas pucuk kepala istrinya, lalu masuk ke kamar mandi. Laura terduduk lemas di kursi. Hatinya perih karena sudah mengkhianati suaminya. "Maafkan aku, Mas…."Raymond mengulang pertanyaannya berharap Rara mengungkapkan perasaannya. “Come on Ra, jawablah. Aku bukan cenayang yang tahu isi hatimu.” Punya Raymond. Raymond sedikit frustasi meskipun Dara tidak menolaknya tapi dia juga tidak tahu apa yang Rara rasakan.“Akan aku kasih tahu setelah kamu kembali lagi kesini.” Rara mencubit pipi Raymond. “Ah nggak asik sekali kamu tinggal bilang aja kenapa sih harus nunggu aku kembali kalau gini kan di sana aku tidak tenang.” Raymond menghela nafas dalam-dalam namun Rara malah tertawa. “Nggak Tuan Bule, nantilah saja kalau kamu kembali akan aku kasih tahu bagaimana perasaanku padamu.” Sahut Rara. Mau nggak mau Raymond harus menunggu hari dimana dia kembali. Esok harinya Raymond malah sudah bersiap hal ini membuat Rara kesal katanya minggu depan baru ke luar negeri tapi malah bersiap hari ini. “Maaf aku harus kembali besok masalah di perusahaan tidak bisa ditunda lagi,” sambil memeluk Rara. “Lusa rencananya kita kembali ke ibukota katanya kam
Buru-buru Raymond membuang pikirannya, mana mungkin hal itu terjadi, kalaupun memang Dara yang mengirim email itu pasti dia akan bilang. Keesokan harinya saat rara sedang berada di samping villa, Raymond datang mendekat. “Ra.” Suara khas Raymond mengejutkan Rara. “Eh Tuan Bule, ada apa?” Sambil menengok ke arah sumber suara. “Apa jadwal kamu hari ini Ra?” tanya Raymond. “Tidak ada. Bagaimana kalau kita jalan-jalan.” Rara yang sudah jatuh hati kepada Raymond ingin terus bersama pria itu. “Baiklah.” Lalu Raymond menggandeng tangan Rara. Ketika masuk terlihat Citra dan Laura sedang mengobrol di ruang tengah. “Ma pinjam mobil.” Citra menatap mereka berdua, yang lagi kasmaran bawaannya berdua terus. Bersamaan Dara turun, melihat Rara dan Ray mau keluar gadis itu melepas jaket miliknya. “Ra kamu itu suka sekali memakai pakaian minim nggak dingin apa.” Dara memakaikan jaketnya pada Rara. “Benar tuh Dara, kamu tuh sudah besar selalu saja berpakaian minim seperti bayi.” Sahut Citr
Dara hanya tersenyum jelas beda, orang yang selama ini menemaninya adalah dirinya bukan Rara. “Setiap orang bisa berubah kapan saja.” Dara tersenyum menatap Raymond. “Kamu benar tapi…” Raymond menggantung ucapannya. “Sudahlah lupakan saja mungkin aku yang berpikir berlebihan.” Katanya kemudian. Dara mengangguk lalu menatap buku kisah cinta yang dia pinjam. “Jadi ceritakan padaku kisah cinta apa yang paling kamu sukai?” Raymond begitu antusias, entah mengapa ketika mengobrol dengan Dara dia merasa sangat bahagia. “Sebenarnya aku sangat menyukai kisah cinta Laila Majnun tapi karena endingnya yang sedih aku mencoba untuk tidak menyukainya lagi dan berpaling ke kisah cinta karya Jane Austen.” Jawab Dara. Manik cantik gadis itu membuat Raymond tersenyum, meski tak secantik Rara tapi Dara amatlah manis. Dipandang tak membuat pria itu bosan. “Pride and Prejudice kan.” Terka Raymond. “Betul sekali aku sangat menyukai Elizabeth dan juga Mr Darsi, mereka akhirnya bersatu dan hidup bahag
Darah bermonolog dengan dirinya sendiri lalu dia membuang pandangannya ke depan sambil tersenyum. Sudahlah ini adalah konsekuensi yang harus diterima karena dulu menulis nama Rara di setiap emailnya. Setelah berkendara cukup lama mereka akhirnya tiba di villa papa Angga, Rara berlari masuk ke dalam yang kemudian disusul oleh Raymond, sementara Dara hanya berdiri menatap mereka sambil menunggu mama dan Papanya. “Ayo masuk sayang.” David merangkul sang anak kemudian mengajaknya masuk ke dalam Villa. Karena memiliki banyak kamar, jadi setiap orang bisa memilih kamar mereka sendiri. Dara memilih kamar yang menghadap ke bukit, sementara Rara memilih kamar yang menghadap kolam renang. Setelah memilih kamar masing-masing, mereka berdua mengobrol di balkon. “Terima kasih ya Rara kamu sudah membantuku.” Dara berterima kasih. “Sama-sama, untung dia sangat tampan coba kalau nggak entah bagaimana nasibku.” Sahut Rara tertawa. Dari arah belakang, Raymond turut bergabung. “Hai ladies bole












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore