"Aku menginginkanmu, Mas…." Di depan sebuah kamar, Laura memeluk erat punggung pria yang ada di depannya. Pandangannya kabur, sementara otaknya tidak bisa diajak bekerja sama. Alkohol yang ia tenggak beberapa saat lalu seolah telah melumpuhkan akal sehatnya. Saat ini, ia hanya menginginkan kehangatan dan sentuhan. "Laura, apa yang kau lakukan?!" Suara bariton pria dalam dekapannya itu terdengar menahan geraman. Tangannya yang besar dan kokoh berusaha melepas tangan Laura yang melingkari tubuh atletisnya. "Aku sudah lelah menunggu, Mas!" seru Laura dengan suara serak, tak mau melepas dekapannya meski pria itu terus menolak. Pria itu menyergah napas kasar, lalu menyentak tangan Laura hingga terlepas. "Hentikan, Laura!"
View MoreNatalia’s POV
The dream felt so real. I could feel his hands on me. His lips traced the tender spots on my neck. His touch sent shivers down my spine. I closed my eyes. I hoped it would never end. But then, his voice cut through the air.
"Never."
I gasped. My eyes flew open. The room was empty.
It had been two years since I married Adrian Miller. He was the future alpha of the Crystal Blood Pack. Two years of trying to win his affection. Two years of failing. I tried to prove I was worth his love. I tried to show I was worth being his true mate. But he never marked me. In the world of werewolves, that was everything. The mark meant connection. It meant devotion. It meant belonging. But I never received it, even though I was his wife. He wasn’t home most of the time. I longed for his touch.
I sighed heavily. I sat up and yawned. My eyes landed on the clock. My stomach dropped.
"Shit! I’m going to be late."
I rushed through the morning routine. I was desperate to make it to my checkup with Dr. Harold Reid at the pack hospital. As I hurried down the stairs and out the door, my mind wandered. Maybe, just maybe, this time I’d be pregnant. A child could change things. It could bring Adrian home more often. It could make him see me. It could make him really see me.
I arrived at the hospital. My nerves tightened with every passing second. Dr. Harold's face was kind. The process was clinical. He drew blood and took his time. He promised to return soon. As I waited, my mind returned to Adrian. To our marriage. If I wasn’t pregnant, I would finally end it. I needed peace. I needed my sanity.
When Dr. Harold returned, his smile made my heart race.
"Congratulations!" he said, his eyes shining.
My heart leapt. "Really?" I couldn’t help but smile. I placed a hand on my stomach. "There’s a baby?"
“Babies,” he corrected gently.
I blinked, stunned. "Twins?"
His smile widened. “Triplets.”
I froze. I blinked again to make sure I had heard him correctly. “Triplets?”
"Yes, you’re having triplets," he confirmed. His tone was warm but serious.
A rush of joy filled me. Then, I became aware of the delicate nature of my pregnancy. The doctor’s next words sobered me.
“Your uterine walls are very thin,” he warned. “Be careful.”
I nodded quickly. I tried to push down the growing fear for the three little lives growing inside me. "I’ll take care of myself. Thank you, Dr. Harold," I said. I left the hospital, my joy clouded by concern.
When I came home, my joy turned to ash.
Adrian was sitting on the couch. His arm was draped around Lynda, my husband's childhood friend, was sitting there looking all innocent and wronged.
He was comforting her gently. The sight of him, so tender, so attentive to her, while I had been nothing but an afterthought, was like a knife to my heart.
He looked at me. His eyes were cold, full of venom. "How dare you come back? How dare you bullied Lynda?" he spat.
I froze. Confusion and hurt flooded me. "What... what are you talking about?"
His face twisted with disgust. "Oh, please. You make me sick. You put something in Lynda's medicine? She suddenly had a stomachache today!"
What? I am the healer of the pack. I often write prescriptions to help pack members maintain their health. I replied, "She isn't sick at all. The prescription I gave her was just for calming her nerves. It has no side effects whatsoever!"
"Then why is she like this? You really disappoint me. You must apologize to Lynda today!"
Honestly, I was so tired of this. Ever since Lynda came back from the neighboring pack a few months ago, she’s been making it her mission to cause trouble for me.
I couldn’t take it anymore. I turned and hurried to our bedroom. I locked the door behind me.
I had hoped, foolishly, that our marriage could be salvaged. I thought that if I could just get pregnant, things would change. But I had been wrong.
Tears rolled down my cheeks. Just then, I heard the door to the bedroom fly open. Adrian stood there. His expression was fierce.
"Adrian, I won't apologize to Lynda—"
Before I could finish my sentence, he slammed the door shut behind him. His eyes were dark with fury.
"I know what you’re up to," he spat. His gaze was colder than I had ever seen it. "You’ve been plotting all along. Trying to trap me. Trying to make me feel obligated. But I won’t be your fool anymore. I’m done."
I felt my heart drop into my stomach. "Adrian..."
He stepped closer. His face was just inches from mine. "You’ve humiliated me enough. I should’ve done this a long time ago. This marriage is over."
His words cut through me like a blade. He wasn’t just rejecting me. He was rejecting everything. All the hopes. All the dreams. All the promises I had held onto so desperately.
"Adrian," I whispered. My voice was breaking. "Please don’t do this."
He looked at me with cold, emotionless eyes. "It’s already done. You and I... we’re finished. I want a divorce!"
The weight of his words hit me.
Adrian was walking away. I managed to choke out, "But... I’m pregnant..."
He froze. He turned back toward me slowly. His expression flickered for just a moment—surprise, maybe even confusion—but then his gaze hardened once more.
"I don’t want the child you're carrying. Get rid of it!" he said. His voice was flat. "You are not good enough to be my children's mother!"
I collapsed onto the bed. I clutched my stomach. My body trembled. My heart was broken in ways I never thought possible.
I’m carrying three little lives, Adrian. And you’ll never know them.
“Okay. Then let’s divorce,” I said calmly.
Sepanjang malam David menjaga Laura, dia terus memeluk wanita itu seakan ingin seperti ini sepanjang hari. Ada rasa sesal di hatinya kenapa dulu… Ah, semua sudah terjadi yang terpenting saat ini dia selalu ada untuk Laura, meskipun dia tahu sedikit banyak Laura membencinya. Mentari datang menyapa, sinar matahari yang menembus celah gorden membuat tidur wanita itu terusik. "Sudah pagi." Dalam keadaan terpejam Laura menggumam. Mata Laura sontak melotot dan bergegas bangun, tubuhnya terasa sangat lelah mungkin karena semalam David menggempurnya habis-habisan. Melihat seorang disampingnya kekesalan Laura muncul kembali, meskipun semalam dia juga menikmati tapi kalau David tidak memaksanya percintaan panas mereka tidak akan terjadi. “Bajingan.” Kaki Laura menendang tubuh yang membelakanginya. Dia meluapkan amarahnya untuk semalam dan untuk pagi ini, hari sudah siang sementara dia masih berada di kamar David, entah bagaimana dia menjawab pertanyaan Rendra nanti. “Kamu apa-apaan
Rendra yang curiga memutar netranya, sedangkan dari bawah meja David memberikan ponselnya kepada Laura. “Ah iya tadi Paman ke sini dia mencarimu dan ponselnya ketinggalan.” Jelas Laura sembari menunjukkan ponsel David. "Ah begitu." Untunglah pria itu percaya, dia mengambil ponsel David dan hendak mengembalikannya. Setelah Rendra keluar Laura juga meminta David keluar. "Pergilah Paman, Mas Rendra mencarimu untuk mengembalikan ponsel jangan sampai dia kemari lagi." Laura sungguh kesal dengan David yang terus membahayakan dirinya. “Baiklah aku tunggu di kamar, kalau kamu tidak datang maka aku yang pergi ke kamarmu!” Lagi-lagi pria itu mengancamnya, entah apa yang David mau sebenarnya. Dalam keadaan yang seperti ini Laura sudah tidak fokus mendesain, pikirannya kacau karena ucapan David. Dia serba bingung, “Arrggg David kenapa kamu selalu mengusikku!” Di luar, Rendra berpapasan dengan David. Dia nampak mengerutkan alis, sedari tadi muter-muter mencari pamannya tak tau
Setelah Rendra pergi, Laura buru-buru melepas pelukannya namun David menahannya. “Paman!” Protes Laura. Pria itu tertawa, melihat keponakannya judes begini dia semakin tertantang. “Jangan lupa upah menyembunyikanmu tadi.” Bisiknya. Bibir pria itu menggigit kecil daun telinga Laura dan Laura merinding dibuatnya. Laura tak menggubris ucapan David, dia menyambar tasnya kemudian pulang. Malam itu Rendra pulang dengan membawa bunga mawar untuk Laura, dia juga membawa setumpuk berkas yang akan ditunjukkan pada sang istri. “Laura Sayang.” Rendra mendekat bibirnya hendak mengecup pipi Laura tapi Laura segera menghindar. “Maaf Mas aku pilek.” Alasan Laura saja. Rendra tersenyum kemudian mengelus rambut sang istri. “Sudah minum obat? Jangan sakit-sakitan ya.” Sok perhatian padahal dia tidak ingin Laura menyusahkannya saja. Wanita itu mengangguk, siapa sangka tutur lembut penuh cinta itu hanyalah kamuflase. “Ini bunga untuk kamu.” Bunga mawar cantik berada di hadapannya. Setelah itu
Apa sebenarnya yang ingin David tunjukkan padanya? Kenapa harus ke kantor? Tepat pukul sebelas siang, Laura datang ke kantor, tanpa lapor ke resepsionis wanita itu langsung saja naik ke atas. Setibanya di lantai paling atas gedung perkantoran Laura menjadi bingung pasalnya di depannya kini ada dua ruang CEO, entah dimana ruangan milik David. “Ruangan Paman yang sebelah mana?” Kepalanya menoleh kiri dan kanan menerka-nerka. Hingga salah satu ruangan itu terbuka, seseorang baru saja keluar dari dalam. Sekilas dia melihat David, lalu wanita itu melangkah masuk ke dalam ruangan. “Paman.” Suara lembutnya mencuat yang diiringi langkah menuju meja kerja sang Paman. “Aku kira kamu tidak datang.” David bangkit dari kursi kebesarannya, mengajak Laura untuk duduk di sofa. Netra wanita itu memutar, ruangan David sangat estetik. Siapa yang mendesainnya? “Apa yang ingin kamu tunjukkan paman?” Tanya Laura. Tatapannya mengarah ke David yang kini duduk di sampingnya. “Santai Sayang, s
Pagi itu, setelah membuka mata, Laura tak mendapati Rendra di sampingnya.“Ternyata apa yang dikatakan Paman semalam benar, Mas Rendra tidak pulang,” gumam Laura murung. Baru saja dia hendak bangkit, terdengar suara pintu terbuka. Rendra berjalan masuk kemudian duduk di sofa. “Sayang, kamu baru bangun?” tanya pria itu. Netra Rendra memutar melihat tempat tidur yang sedikit acak-acakan. “Kamu semalam habis ngapain saja, kenapa tempat tidur berantakan begitu?” Sontak Laura memelototkan mata. Dia tidak menyadari hal itu. Netranya turun memutar melihat tempat tidurnya. Wanita itu menggigit bibir, berusaha memutar otak untuk mencari alasan agar tidak membuat Rendra curiga. “Itu Mas… semalam aku kesal sehingga sedikit tantrum,” cicitnya sambil menatap Rendra takut-takut. Pria itu menghela nafas, kemudian duduk di samping sang istri. “Sayang, aku kerja demi kamu, demi keluarga kita. Tolong mengertilah,” kata Rendra lembut. “Jangan marah ya…” Tangan Rendra mengelus pipi sang istri.
Di samping David, Laura nampak gugup. Degup jantungnya berpacu dengan cepat, sejurus dengan tatapan sang suami. Tahu istri keponakannya ketakutan, David mencoba berbicara. “Kamu sungguh suami kejam. Apa tidak ada pelayan di sini sehingga menyuruh istri mencuci piring?” katanya dengan nada sinis. Rendra tampak terkejut dan memucat. Memang selama ini dia menyuruh Laura mengerjakan pekerjaan rumah. Dan ia punya alasan sendiri untuk itu.“Aku hanya ingin istriku yang mengurus semua paman. Apakah salah?” Tatapan Rendra kini mengarah pada sang paman. “Tidak salah. Tapi keluarga kita memiliki uang berlimpah, membayar ratusan pelayan pun sanggup, kenapa harus menyiksa istri?” Tangan David bersedekap di depan dada. Matanya memicing curiga. Mengapa keponakannya memperlakukan Laura seperti pembantu?Rumah dua lantai bahkan hanya mempekerjakan satu pelayan. Apa tujuan keponakannya itu sebenarnya?“Aku tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga kalian. Hanya saja aku sanggup menggaji pelayan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments