"Letnan Benjamin Roosevelt, saya mengirimkan surat kerja sama penyelidikan untuk kasus yang menyeret putera Senator Crawford kepada Anda karena sebetulnya kemarin saya berbicara dengan Kapten Ryan Falderson mengenai identitas saksi kriminalitas itu karena kupikir beliau akan mau turun tangan langsung mengurus perkara itu. Namun, di menit akhir dia membatalkan niatnya. Bagiku ini sungguh mencurigakan bila di siang hari satu-satunya orang yang mengetahui identitas saksi hanya dia dan malamnya saksi terbunuh," ujar Emily mengemukakan pendapatnya di hadapan kedua petugas Kepolisian Chicago.Ben mengusap dagunya yang ditumbuhi cambang pendek sembari berpikir keras. Sebenarnya ia pun tidak menyukai kaptennya itu karena sering memilih-memilih kasus kriminal untuk ditangani. Namun, menghilangkan nyawa saksi adalah tuduhan berat untuk perwira kepolisian dengan jabatan seorang kapten."Emily, kurasa kita harus menyimpan informasi ini sebelum ada bukti yang lebih konkrit bahwa Kapten Ryan Falder
Sesampainya di ruangan jaksa, Murat mendudukkan Emily di sofa lalu mengambilkan air minum yang ada di meja kerja jaksa wanita itu."Silakan diminum dulu, Nona Emily!" ujar Murat sembari memberikan gelas air mineral itu ke tangan Emily.Emily meminumnya setengah gelas lalu dia berkata, "Murat, pindahkan mejamu ke depan pintu ruanganku. Kunci pintu kantorku setelah kamu pulang kerja. Ada beberapa hal yang membuatku kuatir belakangan ini dengan orang-orang misterius yang menyusup ke tempatku."Sesaat Murat terdiam mencerna perintah dari atasannya itu. Kemudian ia paham dan menjawab, "Baik, segera saya laksanakan, Nona Emily. Profesi Anda sangat rawan ancaman dan serangan. Saya bertanya-tanya dimana kedua ajudan Anda saat ini, kenapa mereka tidak tampak di persidangan tadi?""Ohh, kau benar Murat. Dimana Ron dan Thomas? Emily pun merogoh kantong di baju seragam hitam jaksanya untuk mencari ponsel, dia berniat menghubungi kedua ajudannya.Nada sambung itu terdengar di nomor ponsel Ronald B
"Letnan, saya menyerahkan bagian memberitahukan kabar duka kepada istri serta keluarga Banning dan Simpson pada Anda. Saya akan memberikan penghormatan terakhir serta ucapan belasungkawa di pemakaman mendiang Ron dan Thomas besok saat pihak forensik telah menyelesaikan tugas mereka," ujar Emily dengan tegar. Bagaimana pun kehilangan rekan setia yang biasa menemaninya menjalani aktivitas sehari-hari menyisakan rasa sedih yang mendalam bagi Emily."Tentu, Emily. Aku pasti akan segera menghubungimu mengenai perkembangan kasus-kasus pembunuhan ini. Kuharap kau bisa menjaga dirimu baik-baik. Besok pasti akan ada ajudan pengganti yang dikirim dari pihak kejaksaan, jangan kuatir!" Letnan Benjamin Roosevelt mengulurkan tangan kanannya yang disambut dengan jabat tangan oleh Emily.Selepas kepergian Letnan Benjamin Roosevelt dan Sersan Rodney Bradford dari ruang kantornya, Emily membereskan barang-barang pribadinya ke tas tangan."Nona Emily, saya yang akan menggantikan Ron dan Thomas mengawal
"Max, aku sepertinya ingin ke toilet sebentar," pamit Emily seraya bangkit dari bangku penonton stadion United Center."Apa perlu kutemani, Em?" Max sudah bersiap-siap untuk berdiri.Emily pun tersenyum dan berkata, "Jangan anggap aku gadis kecil, Max. Aku bisa ke toilet sendiri, oke! Tunggu aku di sini saja."Sepasang mata dari balik kaca mata hitam yang sedari tadi memerhatikan Emily dari bangku sebelah timur stadion memicing dan pria itu pun tersenyum tipis. Dia ikut meninggalkan bangkunya lalu melangkah cepat menyusul wanita itu.Pria itu menunggu di depan dinding toilet wanita hingga Emily selesai melakukan apa pun yang ingin dia lakukan di dalam bilik toilet. Ketika daun pintu kayu toilet terayun membuka, tangannya langsung mencekal pergelangan tangan Emily dan menyeretnya meninggalkan stadion."Lepaskan tanganku! Siapa kau? Sepertinya kau salah orang!" cerocos Emily sambil mencoba menarik lepas tangannya dari cengkraman tangan yang sangat kuat serta menyakiti dirinya.Langkah t
Badai petir kembali melanda kota Chicago malam itu. Kilat menyambar-nyambar di langit membuat para penduduk kota itu yang masih berada di luar rumah segera pulang atau memilih untuk tetap berada di dalam gedung tempat mereka bekerja.Pihak perusahaan listrik kota Chicago memilih untuk mematikan aliran listrik di beberapa tempat bertegangan tinggi untuk menghindari konsleting yang akan mengakibatkan kebakaran. Hal itu membuat hampir seluruh kota diliputi kegelapan, hanya beberapa tempat yang memang memiliki power suply mandiri yang masih dapat menjaga terang bersinar di tempat mereka.Tepat ketika lampu dipadamkan di penthouse tempat tinggalnya yang berlantai 50 itu, Rayden menggendong tubuh ramping itu sekali lagi menuju ke atas ranjangnya sendiri. Wanita itu belum sadarkan diri dari efek chloroform yang terhirup di parkiran United Center.Tanpa kata dalam remang-remang cahaya di kamarnya yang hanya diterangi oleh kilat-kilat petir yang menyambar di langit, pria itu dengan perlahan me
"Aku memiliki tugas baru untukmu. Ambil informasi data saksi kasus Henry, kurasa kolegamu yang mengurus kasus itu telah mendapatkannya secara lengkap dari Emily Carter. Kirimkan kepadaku agar aku bisa segera membersihkan kotoran yang ingin mencoreng nama baik Henry," ujar suara laki-laki di sambungan ponsel pintar salah satu pejabat tinggi Kepolisian Chicago itu."Baik, Tuan segera kulaksanakan!" jawabnya lalu mematikan sambungan telepon itu. Sebuah helaan napas panjang meluncur dari mulutnya lebih karena nuraninya mulai terusik. Korban-korban tak bersalah harus berguguran seiring berjalannya penyelidikan kasus kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh putera Senator Gordon Crawford. Dia salah satu penyebabnya secara tidak langsung, sedikit saja informasi rahasia bocor menimbulkan efek domino yang besar.Kini ia tak dapat lagi mengelak dari perintah lain yang tentunya akan membahayakan saksi-saksi lain kasus Henry Crawford siapa pun itu.Dengan langkah biasa yang tampak normal tegap
"TING TONG." Bel pintu itu ditekan sekali dan penyewa unit apartment exclusive itu berlari-lari kecil membukakan pintu untuk tamunya.Sesosok pria tampan dengan penampilan setelan jas necis berdiri di depan pintu membawakan wanita itu sebuah karangan bunga mawar merah segar. "Untuk wanita tercantik di hadapanku malam ini," ucap Henry Crawford kepada Erina Marie Larson."Ohh ... mawarnya indah sekali, Henry! Terima kasih. Masuklah," respon wanita itu bernada antusias. Dia menyunggingkan senyum manisnya dan menepi untuk memberi jalan masuk tamunya ke dalam unit apartmentnya.Pria muda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang ditata sesuai selera pemiliknya, elegan dan soft. Wallpaper warna merah muda pastel, lampu dengan pencahayaan kuning redup. Aroma pengharum ruangan yang bercita rasa lavender lembut. Henry menghargainya."Aku sudah menyiapkan hidangan makan malam spesial untuk kita, Henry. Kuharap kau akan suka. Ayo duduklah, Sayang!" ajak Erina mempersilakan Henry un
"WAAAAAAAAAA!" Jeritan histeris Melisa Jonah saat ia menemukan mayat wanita di trotoar lintasan joggingnya. Kepala mayat wanita tak dikenal itu pecah dengan otak terburai di semen keras trotoar membuat perut Melisa bergolak dan mual-mual. Orang-orang yang mendengar teriakannya mulai berdatangan mendekat ke tempat itu. Untungnya ada orang yang berinisiatif melapor ke 911 agar mengirim petugas kepolisian mengurus mayat wanita yang tampak mengenaskan itu.Dalam hitungan menit, bunyi sirine mobil dinas polisi dan ambulans beriringan terdengar meraung-raung dari kejauhan menuju ke TKP. Dengan sigap petugas Kepolisian Chicago memasang pita police line warna kuning untuk mencegah para pejalan kaki yang lewat mencemari TKP sebelum diperiksa tim forensik."Ohh ... shit! Apa dosa wanita ini!?" umpat Sersan Rodney Bradford yang berdiri di samping Letnan Benjamin Roosevelt yang mulai mengambil foto mayat wanita itu."Kuharap kau tidak muntah di TKP, Rodney!" ujar Benjamin mengingatkan rekannya.