Share

Part 1 - Pertemuan dan Awal Segalanya

Harapan untuk sebuah kebahagiaan selalu ada.

Tapi selalu ada harga yang harus dibayar.

Apakah aku sanggup? Padahal luka ini belum kering.

Luka ini selalu basah kembali, bersama hujan yang tiap kali turun....

~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~

Rain POV

2015

"Tidak!!!!"

Ada seseorang yang tidak pernah bisa lepas dari mimpi buruk, bahkan setelah kejadian buruk menimpanya bertahun-tahun lamanya. Salah satunya aku. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Dan hari ini, aku kembali mengalaminya.

Mataku mulai membiasakan sinar matahari yang perlahan masuk dari jendela kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Dan tak lama, kesadaranku kembali. Aku masih mengingatnya. Mimpi buruk itu tak pernah membiarkanku tenang walau sehari. Aku seperti buronan, yang diteror, kemudian dipaksa mengaku. Kira-kira begitulah yang terjadi selama 14 tahun ini.

Namun aku tak menggubrisnya kali ini. Aku sudah terlalu biasa. Aku segera menyingkirkan selimutku dan beranjak menuju kamar mandi. Jam yang sudah menunjukkan pukul 6 pagi membuatku harus segera mempersiapkan diri. Aku bisa terlambat bekerja kalau aku meneruskan kembali memikirkan mimpi buruk itu.

Tak butuh waktu lama. Aku sudah siap dengan kemeja putih yang dibalut jas wanita berwarna biru dongker, lengkap dengan rok berwarna sama dengan jasnya yang panjangnya semata kaki. Kemudian tak lupa aku memakai pelembap, foundation, bedak, blush on, make up lainnya secara tipis dan menggoreskan sedikit lipgloss berwarna merah muda ke bibir. Rambutku yang hitam dengan panjang sebahu kubiarkan terurai. Dan sebelum berangkat, tak lupa kusemprotkan parfum dengan wangi melati, wangi kesukaanku. Mungkin sedikit aneh bagi wanita muda sepertiku memakai parfum melati, yang banyak dikatakan orang sebagai minyak nyong-nyong. Namun bagiku, itu tidak masalah. Aku suka wanginya, dan tidak terlalu merusak hidung. Mungkin memang selera orang berbeda-beda sehingga aku juga tidak terlalu memikirkannya.

Setelah menyandang tas kerja, aku pun keluar dan mengunci pintu rumah kontrakanku. Dengan percaya diri, aku melangkahkan kaki ke arah jalan raya. Sesekali aku menyapa orang lewat yang kebetulan kukenal sambil sesekali melirik ke arah jalan.

"Taksi!"

Sebuah taksi yang meluncur itu berhenti. Dan aku segera menaikinya tanpa pikir panjang lagi. Taksi itu segera saja meluncur kembali tanpa perintah untuk kedua kali.

Supir taksi itu sudah hapal dengan kebiasaanku karena aku hampir setiap hari menaiki taksi ini kalau berangkat bekerja. Semacam berlangganan, walau aku secara pribadi tak pernah mengatakan bahwa aku ingin berlangganan taksinya setiap pagi di hari kerja. Hanya saja seperti si sopir paham akan potensi penghasilannya kalau setiap pagi melewati jalan ini dan bertemu denganku.

Aku mengambil ponselku dari dalam tas. Sebuah pesan langsung masuk ketika aku menghidupkan ponselku. Aku hampir saja lupa kalau aku sudah mematikan benda berwarna hitam itu selama seharian. Aku hanya malas kalau benda itu tak kumatikan. Selain karena notifikasi dari sosial media yang menggunung, juga telpon dari Mila, sahabatku yang selalu saja menggodaku.

Ralat. Bukan menggoda, tetapi menerorku. Dia bahkan hampir setiap hari menerorku dengan menelponku. Entah apa yang dipikirkannya setiap kali menelponku. Yang jelas, topik pembicaraannya tak pernah habis. Mulai dari makanan, pacar, bahkan sampai urusan dia harus pakai baju apa ke kantor. Dan terkadang itulah yang membuatku sedikit terhibur.

From : 082234567xxx

Rain, bisa kita ketemu hari ini? Jam 7 malam, di kafe biasanya. Sepulang kerja. Ok? Gue tunggu.

Bola mataku langsung membesar membaca pesan itu. Ini nomor siapa? Dan bagaimana dia tahu nomorku. Kemudian kafe biasanya? Aku hanya pernah sekali ke kafe bersama teman SMA ku, dan menurutku bukan dia.

Mendadak satu nama muncul di otakku.

Mila.

Aku yakin sekali. Hanya dia yang selalu menyebut kafe di seberang kantorku sebagai "kafe biasanya". Mungkin dia ganti nomor.

Tanpa kusadari aku tersenyum sekilas.

Mila ada-ada saja, batinku.

***

Aku masih berkutat dengan komputer lawas di meja kerjaku kala jam makan siang dimulai. Aku masih harus menyelesaikan laporan keuangan bulan ini karena besok harus disetorkan kepada atasan. Sebagai pekerja yang baik, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang telah diberikan. Apalagi aku digaji lumayan tinggi untuk pekerjaan ini.

"Rain, lo gak makan siang dulu?" tanya Arina, teman sekantorku. Dia satu divisi denganku. Pekerjaannya pun sama, hanya saja beda tempat. Aku bekerja di lantai 2. Sedangkan dia di lantai 4.

"Duluan aja deh, Rin. Gue masih banyak pekerjaan nih. Takut gak selesai." Jawabku sambil terus menatap layar monitor.

"Oke, deh. Terserah lo. Tapi jangan sampai sakit, ya?" Katanya sambil berlalu.

Aku tak menjawab. Hanya bergumam tak jelas. Laporan setumpuk ini membuat kepalaku pusing.

Sejenak aku menghentikan aktivitasku. Entah kenapa otakku tiba-tiba stagnan dan meminta istirahat. Beberapa detik kemudian pusing yang kurasakan semakin menjadi. Aku pun ingat bahwa aku belum makan apapun dari kemarin. Aku hanya meringis mengingat hal itu. Tanganku kemudian memegangi perutku.

"Kalau perut lo sakit, mending makan aja dulu. Jangan ditahan. Gue tahu kalau lo belum makan."

Deg!!

Suara itu? Suara siapa? Aku seperti pernah mendengarnya.

Tak lama kemudian, sebuah kotak makan berwarna biru berada di meja kerjaku. Aku refleks menoleh.

Seorang pria berusia sebaya denganku tengah tersenyum sambil menatap kotak biru itu dengan matanya yang juga kebiruan. Seakan ia mengisyaratkan bahwa makanan itu untukku.

"Elo siapa?" Tanyaku saat baru tersadar dari kekagumanku.

Pria itu menurutku mempesona dan berkharisma. Wajahnya seperti orang bule. Matanya biru dan hidungnya mancung. Bibirnya merah muda, tanda dia bukan perokok. Dan rambutnya dipotong rapi. Badannya tegap. Menarik.

"Udah, jangan banyak tanya. Makan aja bekal gue. Ntar kalo lo sakit, jadi panjang urusannya." Kata pria itu sambil berlalu.

Aku memutar bola mataku melihat tingkahnya. Memberiku makanan dengan wadah miliknya lalu meninggalkannya begitu saja. Sangat bossy sekali, pikirku.

Dan satu hal lagi. Aku tak pernah melihat pria itu sebelumnya di kantor ini, tapi kenapa hari ini dia bisa ada di sini? Bahkan aku tidak mengenalnya tapi aku merasa tak asing mendengar suaranya. Apakah aku berhalusinasi? Ah, tidak mungkin.

Aku melirik kotak makan itu. Agak perih juga rasanya perutku. Aku ragu, haruskah aku makan makanan orang lain? Dengan ragu-ragu aku membuka kotak makan itu. Isinya sederhana. Telor ceplok setengah matang, 3 potong sosis panggang, dan roti tawar 3 lembar.

Aku ragu.

Ah tapi bodo amat. Toh ini juga dikasih kan? Gue gak minta juga. Pikirku.

Segera saja kuraih sendok dan garpu lalu kulahap telur dan sosis itu. Biarlah. Dia juga kan yang memberikannya padaku. Dan aku hanya menuruti keinginannya, yaitu mengisi perutku yang sejak kemarin belum terisi.

Mengingat perutku belum terisi, aku jadi memikirkan penyebabnya.

"Apa kau tidak percaya padaku?" Seruan itu mengagetkanku.

Aku menoleh. Kudapati pria yang sangat kukenal dan kusayangi tengah memandangku lekat.

"Aku hanya ingin sendiri, menikmati kemesraanku dengan alam, curhat dengan tetesan-tetesan air ini. Apakah itu tidak boleh?" Tanyaku.

Pria itu menatapku tajam. Rahangnya mengeras. Tatapan teduhnya berganti setajam pisau. Tubuhnya juga sama-sama basah sepertiku. Kami berdua sama-sama berada di bawah hujan. Namun sepertinya ia mengabaikan hawa dingin dan menusuk tulang tersebut.

"Kenapa kau selalu menyiksa dirimu sendiri, Rain? Apa kau tidak kasihan pada ibumu? Apa kau tidak sayang dirimu?" Tanya pria itu.

Aku hanya meringis. Setetes air mataku lolos, namun tak kentara karena hujan.

"Aku hanya mengenang ibuku, Zev. Apa itu tidak boleh? Apakah aku tidak boleh berharap? Apakah aku juga tak boleh menangis bersama langit? Kau tahu, Zev, hanya dengan hujan aku bisa menangis dan menceritakan apapun. Hanya dengan hujan, aku menemukan diriku kembali. Diriku yang hilang, 14 tahun yang lalu."

Zevran Abraham Radjoan, lelaki di hadapanku, sahabat lelakiku satu-satunya sejak 10 tahun yang lalu. Zevran memiliki mata hazel yang menarik. Dan itu selalu berhasil menghipnotisku.

Dan kenapa kami bisa saling mengenal? Kami sama-sama mengenal karena aku dan Zevran diasuh di sebuah panti asuhan bersama. Dan setelah kami dewasa, kami tinggal berdekatan. Rumah kontrakanku berada tepat di depan rumahnya. Rumah milik Zevran sendiri dari hasil kerja kerasnya. Dia orang yang baik dan ramah. Dia juga yang selalu menemaniku, di sini. Setiap kali hujan turun. Dan aku tak pernah tahu mengapa ia bisa mengetahui dimana aku berada. Bisa saja dia memata-mataiku. Namun yang jelas, dia sangat mengetahui sifat dan kebiasaanku.

Melihatku mulai menangis, Zevran segera melangkah mendekat kemudian menarikku dan memelukku. Aku terisak di dadanya. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya. Dan aku merasakan detak jantungku memburu. Selalu seperti ini. Aku tak tahu penyebabnya.

"Menangislah yang keras, Rain. Menangislah yang keras. Aku akan selalu berada di sini. Aku akan selalu menemanimu. Tak peduli siang ataupun malam. Jangan kau tutupi luka itu." Kata Zevran.

Tuhan, bagaimana mungkin ada sahabat sebaik dia? Dan kenapa aku selalu lemah begini? Apakah aku jatuh cinta padanya?

Aku tersenyum miris mengingatnya. Sejak hujan malam itu, aku belum mengisi perutku hingga sekarang. Aku terlalu rapuh. Entah kenapa aku sendiri yang berpikiran begitu. Dan setiap kali memikirkannya, mood-ku langsung memburuk.

Aku segera menutup kotak makan itu dan kembali berkutat dengan pekerjaanku. Aku tak mau lagi memikirkan hal yang sedih sekarang ini.

Bagiku, kebaikan Zevran sangat tulus. Dan aku terlalu bodoh membiarkannya mengetahui lukaku yang belum sepenuhnya sembuh.

***

Jam tepat pukul 6 kala laporan itu selesai. Dan aku bisa mengambil napas lega. Setidaknya aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.

Jam pulang sudah berlalu satu jam yang lalu. Dan suasana kantor sudah sepi. Hanya terdengar beberapa suara keyboard komputer diketik, pertanda ada beberapa orang lagi yang lembur.

Aku teringat sms Mila. Maka dengan segera aku mengambil tasku dan berjalan keluar kantor. Saat akan memasuki lift, aku kembali bertemu dengan pria tadi siang.

Pria itu? Apakah dia bekerja di sini?, batinku.

Aku menepis rasa penasaran itu dan segera memasuki lift. Berdiri tepat di sebelah pria itu membuatku dapat mencium aroma parfumnya. Kalem dan maskulin.

Tak lama, pintu lift terbuka. Dia segera keluar mendahuluiku. Aku hanya memutar bola mataku dan mengikutinya keluar.

Ada apa sih dengan pria ini? Kenapa tadi siang baik dan sekarang dingin begini? Apa dia memang aneh seperti ini?

Pria itu berjalan ke parkiran mobil. Aku hanya memandangnya sekilas sebelum akhirnya berjalan menuju kafe seberang jalan. Masih jam 6 lebih sedikit, aku bisa makan dahulu sambil menunggu Mila datang.

Aku membuka pintu kafe itu dan segera memilih tempat duduk paling ujung, dekat jendela.

"Maaf, boleh saya tahu pesanan Anda, Nona?" Seorang wanita muda berbaju pelayan datang kepadaku.

"Red velvet cake and choco lava cake satu, sama orange juicenya satu." kataku.

Pelayan itu mengangguk setelah mencatat pesananku. Dan dia segera undur diri setelahnya.

Aku mengedarkan pandanganku keluar kaca sembari menunggu pesananku datang.

Seorang wanita yang sepertinya kukenal sedang berjalan kemari.

Tunggu!

Apa betul itu Mila? Rambutnya terlihat berantakan. Wajahnya terlihat lesu dengan mata bengkaknya. Terlihat seperti orang depresi dan habis menangis. Dan Mila sedang berjalan menuju ke kafe ini.

Tuhan, apa yang terjadi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status