2001
"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu gemetar. Air mata membanjiri pipinya yang memerah.
Laki-laki di hadapannya hanya tertawa sinis.
"Jangan!!! Jangan kau apa-apakan anakku!" teriaknya. Lelaki itu menjambak rambut seorang gadis kecil dan melemparnya.
Gadis itu menangis.
"Diam kau brengsek!!" umpat lelaki itu.
Suara tangis itu tercekat. Tatapannya berubah nanar. Keringat dingin membasahi dahinya. Tak terasa sebuah getaran di hatinya memaksa untuk bertindak.
Tangannya memegang sesuatu dan...
BRUKKK!!!
Orang itu terkapar bersimbah darah. Seorang gadis kecil berteriak kencang dan menangis. Sedangkan wanita di hadapannya hanya bisa menggenggam batu itu. Batu yang penuh lumuran darah.
"Mama!!" isak gadis kecil itu. Tangannya gemetar dan tubuhnya menggigil kedinginan.
Wanita itu segera beranjak. Dilemparkan batu itu ke sembarang tempat dan ia segera memeluk gadis kecil itu. Tangisan mereka tumpah.
"Tenang, sayang! Mama di sini. Mama gak akan ninggalin anak mama ini. Jadi berhenti menangis ya? Anak mama gak boleh cengeng."
Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia berusaha menghapus air matanya.
Namun Tuhan nampaknya tak membiarkan air mata gadis itu kering. Tak lama setelah kejadian itu, sebuah mobil putih biru dengan sirine datang. Segerombolan lelaki berbaju polisi datang dan menangkap wanita itu. Tak dipedulikan tangisan gadis kecil itu saat melihat ibunya meronta ditangkap oleh segerombolan polisi gadungan itu.
"Mama, jangan tinggalin aku!!" teriaknya.
Seorang lelaki membentak gadis itu. Membuat gadis kecil itu kembali meringkuk diam sambil memeluk lututnya. Dan suara wanita itu tak dapat didengarnya lagi.
Sementara mobil itu kembali melaju kencang, meninggalkan gadis kecil itu sendirian di jalanan gelap nan sepi. Gadis kecil itu melihat lampu mobil yang bergerak semakin menjauh. Mobil itu membawa ibunya. Ibu yang sangat dicintainya.
Rintik-rintik hujan mulai turun dengan embusan angin yang kencang. Petir bersahut-sahutan. Namun gadis kecil itu tak beranjak. Ia merasa justru sedikit tenang dengan hal itu. Ia kemudian berdiri, menengadahkan wajahnya ke langit.
Air hujan membasahi wajahnya dan seluruh tubuhnya. Dia masih menangis. Namun terdengar suara samar di sela tangisannya itu.
"Mama, jangan pergi! Aku takut."
Dan suara itu, hanya hujan dan Tuhan yang mendengarnya.
Harapan untuk sebuah kebahagiaan selalu ada. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar. Apakah aku sanggup? Padahal luka ini belum kering. Luka ini selalu basah kembali, bersama hujan yang tiap kali turun....~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Rain POV 2015 "Tidak!!!!" Ada seseorang yang tidak pernah bisa lepas dari mimpi buruk, bahkan setelah kejadian buruk menimpanya bertahun-tahun lamanya. Salah satunya aku. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Dan hari ini, aku kembali mengalaminya. Mataku mulai membiasakan sinar matahari yang perlahan masuk dari jendela kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Dan tak lama,
Aku tidak tahu akan jadi apa hidupku di masa depan. Manusia cuma bisa berharap dan berusaha. Tuhan yang menentukan. Tapi, aku tahu satu hal. Selama sahabatku ada di sisiku, semua masalahku akan sanggup kuhadapi... ~(Milanda Revalido Sulistya)~"Tolongin gue, Rain!"Aku hanya diam saja. Mila menghambur ke pelukanku sesaat setelah ia masuk ke kafe. Aku yang tak mengerti apapun hanya menyambut pelukannya. Biarkan ia memelukku dulu. Kalau tangisnya sudah reda, Mila pasti akan cerita. Aku tahu watak Mila."Dia udah ngerebut semuanya, Rain. Semuanya! Sekarang semuanya sirna sudah. Musnah harapan. Musnah dunia!" isaknya dalam pelukanku.Aku mengernyit. Dia? Semuanya? Si
Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku? Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~ Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu."Zevran." Ucapku lirih.Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.
Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita... ~(Sean Reynald Tanubradja)~ "Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap. Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta." "Hah?" Teriakku terkejut. Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain." Aku mengangguk dan Arina melepaskan
Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa
Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.
Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"