Aku tidak tahu akan jadi apa hidupku di masa depan. Manusia cuma bisa berharap dan berusaha. Tuhan yang menentukan. Tapi, aku tahu satu hal. Selama sahabatku ada di sisiku, semua masalahku akan sanggup kuhadapi...
~(Milanda Revalido Sulistya)~Aku hanya diam saja. Mila menghambur ke pelukanku sesaat setelah ia masuk ke kafe. Aku yang tak mengerti apapun hanya menyambut pelukannya. Biarkan ia memelukku dulu. Kalau tangisnya sudah reda, Mila pasti akan cerita. Aku tahu watak Mila.
"Dia udah ngerebut semuanya, Rain. Semuanya! Sekarang semuanya sirna sudah. Musnah harapan. Musnah dunia!" isaknya dalam pelukanku.
Aku mengernyit. Dia? Semuanya? Siapa? Dan bersamaan dengan itu, aku melihat banyak tatapan sinis dari orang-orang di kafe. Aku pun merasa tidak enak.
"Mila, udahan dulu. Ayo kita duduk. Gak enak diliat orang banyak." bisikku tepat di telinganya.
Sesaat tangisnya berhenti. Ia segera melepas pelukanku dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu menyadarinya, ia langsung tersenyum jahil dan duduk.
Aku menghela napas. Memang beginilah Mila, sedetik yang lalu dia nangis bombay dan berlagak seperti orang depresi dan gila. Namun sedetik berikutnya, ia bisa langsung tersenyum dan tertawa senang. Aku terkadang merasa sebal. Namun aku tak pernah bisa marah dengan sikapnya itu. Dia adalah sahabatku yang paling dekat, setelah Zevran tentunya.
"Udah?" tanyaku ketika melihat dia sudah terlihat tenang.
Mila mengangguk. Aku pun segera duduk di hadapannya.
"Sekarang elu cerita ke gue. Kenapa lo nangis? Kenapa lo dandan bisa berantakan begini? Elo gak biasanya begini. Terus dia yang mengambil semuanya itu siapa?" Cecarku pada Mila.
Mila meringis.
Astaga? Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia sedang bersandiwara padaku? Awas saja kalau sampai itu terjadi.
"Sebenarnya gak terlalu serius sih, Rain. Hanya saja..." ucapnya terpotong.
"Hanya apa, Mil? Lo jangan membuat gue kesal dong!" ucapku. Aku benar-benar kesal sekarang.
"Daud mutusin gue." Ucapnya cepat, namun penuh penekanan dan nada yang serendah mungkin.
Seketika aku mendelik. Terdengar nada nelangsa dari ucapannya.
Daud, pacar Mila sejak 2 tahun terakhir. Daud, lelaki yang membuat Mila berhenti mengejar cowok lain dan tobat menjadi playgirl. Daud yang dewasa dan berjiwa besar. Dia selalu ada untuk Mila. Saat Mila sedih maupun senang, selama dua tahun ini.
Dan sekarang, Daud memutuskan untuk berhenti berada di sisi Mila. Ada apa ini? Melihat wajah nelangsa Mila, aku pun tak jadi kesal padanya.
"Gue tahu lo mau tanya apa. Makanya gue kasih tahu." Ucapnya sambil menarik napas perlahan.
"Dia cuma manfaatin gue, Rain. Dia taruhan sama temennya, dan sekarang dia udah menang. Dia ninggalin gue gitu aja. Dia udah ambil semua hati gue. Semuanya. Tapi itu sia-sia." jelasnya beruntun.
Mila kembali menangis. Namun kali ini ia menangis dengan anggun, tidak seperti ketika datang tadi. Aku tak sampai hati mendengar pengakuan Mila. Sampai segitunya Daud pada sahabatnya ini? Apakah Daud memang tak punya hati? Apakah kebersamaan selama dua tahun itu tak cukup baginya untuk mencintai Mila?
Aku tak tahu. Yang kutahu, sekarang sahabatku ini menangis dan dia butuh ketenangan. Aku berusaha menenangkannya yang kembali menangis.
"Udah dong, Mil. Jangan nangis terus! Cowok kayak gitu gak pantas elu tangisin. Elu kudu kuat, harus sabar. Elu bisa menghadapi ini semua, Mil." Hiburku.
Namun Mila sepertinya butuh lebih dari sekadar hiburan. Dia masih terus menangis walau sudah kubujuk dengan kata-kata, bahkan sampai kue yang kupesan kuberikan padanya. Namun bukannya diam, dia malah semakin menjadi.
Baiklah Tuhan, aku akan menjalankan satu cara terakhirku untuk Mila.
***
"Gimana?" tanyaku pada Mila.
"Sekarang gue baru ngerti, Rain. Ternyata apa yang lo lakuin itu bermanfaat banget. Buktinya, gue ngerasa lebih tenang sekarang." jawab Mila dengan senang.
Ia masih terus menikmati setiap tetes air hujan yang turun. Ya, aku akhirnya memaksa Mila melakukan seperti apa yang kulakukan saat aku sedang sedih. Bercerita pada hujan. Dan kebetulan di sini, hujan hampir setiap hari turun, terlebih ini memasuki bulan Desember. Bulan yang penuh hujan. Dan kebetulan, saat aku menyeret Mila ke jalan ini, hujan mulai turun. Dan aku pada akhirnya juga menikmatinya.
"Makanya jangan asal menilai dulu kalau belum pernah lo lakuin, Mil." Kataku sambil mencipratkan air pada Mila.
Mila pun geram dan membalasku. Sampai akhirnya kami saling berkejar-kejaran. Hari semakin malam dan jalanan semakin sepi. Tapi aku dan Mila masih tetap meneruskan tindakan kami.
Mila yang mulai kelelahan berhenti mengejarku. Ia duduk di bawah sebuah pohon. Dan aku pun mengikutinya, mengambil tempat tepat di sampingnya. Kami basah kuyup, kedinginan, tapi hati kami merasa puas.
"Rain." panggil Mila.
"Hm."
"Kadang, lo ngerasa gak kalau hidup itu gak adil?" tanya Mila.
"Kalau lo tanya itu, gue gak bisa bilang bahwa hidup ini gak adil. Gue udah ngalamin berbagai macam kehidupan. Dan gue merasa bahwa hidup masing-masing sudah ada porsinya masing-masing, Mil." Jawabku.
"Kenapa kok begitu?" Tanya Mila lagi.
Mataku kemudian memandang ke atas. Kunikmati lagi setiap tetesan hujan . Mendadak hatiku kembali merasakan kepedihan yang mendalam itu lagi.
"Karena hidup itu anugerah. Bukan sebuah musibah." Jawabku dengan suara tercekat.
"Lo minimal pasti udah tahu, Mil. Gue yatim piatu. Kemudian hidup di panti asuhan, dan seterusnya. Tapi nyatanya, di balik semua itu, Tuhan menyimpan hikmahnya. Dia kasih hikmah itu bersamaan dengan kerasnya hidup gue. Dan elu tahu? Selama gue di panti, gue melihat banyak sekali anak-anak lain yang mengalami kejadian jauh lebih buruk dari yang gue alami. Dari situ, gue merasa bersyukur banget, sekalipun gue tahu, gue bahkan juga gak pernah bisa ngelupain kejadian 14 tahun yang lalu itu." Paparku. Suaraku bergetar, tanda aku menahan tangis.
"Lo itu ternyata gak berubah, ya Rain." Timpal Mila lirih.
Mataku langsung melotot mendengar perkataan Mila.
"Gak berubah gimana?" Tanyaku.
"Kita ini udah bersahabat lima tahun. Dan selama ini gue gak pernah melihat lo ngeluh ke orang lain. Bahkan sama gue aja juga nggak. Tapi lo selalu cerita ke gue, kalau semua masalah lo udah lo ceritain ke hujan. Setiap cerita hidup lo, entah seneng, entah susah, lo pasti cerita ke hujan. Dan sampai sekarang, gue cuma ngerti itu aja. Masalah lo apa, gue gak pernah tahu. Bahkan juga tentang adil atau gaknya hidup. Lo selalu bilang, hidup itu adil. Meskipun gue tahu, hidup lo itu pasti sama aja kayak orang lain, punya masalah. Dan elo udah mengambil banyak banget pelajaran hidup dari banyak orang selama ini. Gue salut elo kuat dan gak pernah ngeluh dengan semua permasalahan di hidup elo." Kata Mila panjang lebar. Perlahan dihapusnya kedua air matanya, meski tak terlalu berguna karena hujan juga masih turun, bahkan cenderung semakin lebat.
Aku tersenyum.
"Gue ini manusia, Mil. Gue juga punya masalah. Dan semua masalah itu, tidak membuat hidup menjadi tak adil. Itu hanya ujian. Bukan musibah. Dan bahkan setiap kali hujan turun, gue selalu ngerasa kalau masalah gue itu larut dan hilang bersama hujan." Jawabku.
"Kenapa mesti hujan?" Tanya Mila.
"Hujan itu beda, Mil. Dia hidup, tapi selalu setia mendengarkan cerita gue. Dia sumber kehidupan, tapi tak pernah kesal atau sebal dengan cerita yang gue ungkapkan. Dia anugrah Tuhan yang turun ke bumi, tapi tak pernah menampakkan egonya dan menolak mendengarkan cerita manusia kayak gue ini. Dan itu yang membuat gue selalu bercerita dengan hujan. Bagi gue hujan adalah pendengar cerita yang paling baik." jelasku.
Mila tersenyum kecut. "Gue sama sekali gak pernah tahu masalah elo, Rain. Tapi elo selalu tahu masalah gue kayak gimana. Gue selalu cerita. Tapi elo enggak. Padahal menurut gue, kalau elo sampai menjadikan hujan sebagai tempat bercerita, maka gue yakin elo pasti menghadapi masalah yang serius, Rain. Bahkan mungkin masalah yang sangat besar." Mila mengucapkannya dengan getir. Dipandangnya Rain dengan lekat dan penuh haru.
"Gue gak mau membebani pikiran orang lain dengan masalah gue, Mil. Karena menurut gue, hidup itu tak boleh menyusahkan orang lain. Lagipula masalah gue itu bukan masalah yang bisa didengarkan orang lain. Dan mungkin, pemikiran lo itu ada benarnya juga, Mil." ucapku.
Hening. Kami sama-sama terdiam. Mencari kebenaran dalam diri masing-masing. Sebab terkadang kebenaran itu tertutup oleh rasa ego yang muncul, penyakit hati manusia yang tak pernah hilang sampai akhir zaman. Dan aku terkadang masih merasakan kuatnya ego sebagai seorang manusia. Ego yang mampu membawa manusia ke jalan yang buruk. Seperti 14 tahun yang lalu.
"Mil."
"Hm." Jawab Mila.
"Jangan pernah ragu untuk cerita ke gue, ya? Elo boleh cerita apa pun ke gue, meski...." Kataku terputus.
"Meski apa, Rain?" tanya Mila.
"Meskipun gue bukan sahabat yang baik, jangan pernah ragu ke gue. Gue yakin, gue masih bisa elo sebut sahabat walaupun gue gak pernah cerita apapun sama elo. Maafin gue, ya? " Ucapku sambil tersenyum.
Mila membalas senyumanku dan langsung memelukku. "Jangan minta maaf, Rain. Semua orang punya cara tersendiri dalam membagi cerita tentang masalahnya. Gue gak marah kalau elo gak cerita. Itu hak elo, lagipula gue juga tahu penyebabnya apa. Gak masalah sama sekali."
"Jadi, kita sahabat?" Tanyaku lebih jelas.
"We are best friend forever, Rain." Tukas Mila.
Dan kami pun tertawa bersama.
"Rain."
Deg! Jantungku mencelos.
Aku mendengar suara lain memanggilku.
Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku? Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~ Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu."Zevran." Ucapku lirih.Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.
Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba. Dan aku percaya. Aku mengalaminya. Tapi hatiku juga sakit. Sakit melihatnya bersama orang lain sesaat setelah pertemuan kedua. Apakah kalian percaya bahwa hubungan antara seorang pria dan wanita itu murni sahabat? Ingatlah perkataanku, bahwa hujan dan pelangi itu sepasang kekasih. Yang hadir dan saling melengkapi, walau hanya sesaat. Begitu pula dengan seorang pria dan wanita... ~(Sean Reynald Tanubradja)~ "Lo kok murung sih, Rain?" Tanya Arina yang sukses membuatku tergagap. Melihat reaksiku, Arina langsung tertawa terbahak-bahak. "Cie, yang lagi jatuh cinta." "Hah?" Teriakku terkejut. Sontak saja Arina langsung menutup mulutku dengan tangannya. "Jangan keras-keras. Ini kantor, Rain." Aku mengangguk dan Arina melepaskan
Alam seakan mendekatkan kami berdua. Jujur saja, aku tak memiliki rasa itu. Tapi apakah benar begitu? Semua yang dilakukannya tampak nyata. Tapi merapuhkan jiwaku, secara perlahan... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Di sinilah aku. Berdesak-desakan dengan pengunjung lain di sebuah mall besar di kotaku ini bersama dua orang sahabat terbaikku. Dan tebak, apa yang terjadi sebelum ini? Benar sekali. Mila dengan polosnya mengatakan tujuannya tanpa sempat kucegah. Dan itu terjadi di foodcourt tadi. Zevran langsung tertawa lepas dan aku hanya menunduk malu. Awas saja kau, Mila, batinku. "Bisakah kita berhenti sebentar? Aku capek. Dan jujur saja, aku ingin pulang." ucapku saat kami bertiga sudah sampai di lantai atas mall itu. Dan tentu saja setelah lepas dari desa
Aku tak bermaksud melukaimu, sama sekali. Aku hanya ingin menyadarkanmu, ingin memberitahumu, bahwa meskipun aku orang baru di hidupmu, tetapi aku juga berhak mencintaimu. Meski aku tahu hatimu bukan untukku, tapi setidaknya berilah aku waktu, buka saja sedikit jalan, aku ingin merengkuh indahnya cinta itu. Bersamamu... ~(Sean Reynald Tanubraja)~ "Apa yang kau lakukan?" teriakku saat aku berhasil lepas dari cengkraman pria itu. Kami sekarang berada di parkiran mobil. Aku melihat pergelangan tanganku yang baru saja dicengkram olehnya. Pergelangan tanganku nampak memerah karena kuatnya cengkraman pria itu. Rasanya lumayan panas. Namun, bukan itu fokus utamaku, tapi pria yang sekarang berada di hadapanku ini. Tatapannya serasa menusukku. Namun, aku tidak peduli.
Kita tidak pernah tahu hati kita akan berlabuh kepada siapa. Yang pasti aku mengetahui satu hal, aku ingin sembuh dari trauma dan luka masa lalu dengan mempercayai cinta. Dan dengan cinta, aku ingin melabuhkan hatiku pada orang yang tepat. Aku hanya berusaha membuka hatiku pada orang lain, selebihnya akan kupasrahkan. Biarkan hati yang memilih jalan pulangnya... ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Seminggu setelah kejadian di pesta itu. Seminggu pula setelah aku memasakkan makanan untuk Zevran. Selama seminggu itulah Sean tidak lagi menampakkan dirinya di hadapanku. Dan selama seminggu itulah aku tidak bisa bertemu dengan Zevran. Kalau harus jujur, itu semua terasa berat di hatiku. Pertama, Sean. Dia entah kenapa tidak terlihat di kantor selama seminggu ini. Sebenarnya ak
Aku tak bermaksud membuatmu terluka, tapi jika memang ini jalannya takdir yang harus kujalani, aku rela. Bukankah takdir tak pernah licik? Dan senja bahkan masih indah dipandang walau sinarnya temaram.... ~Zevran Abraham Radjoan~ "Kau gila, Sean!" teriakku kepada Sean. Namun pria itu tak menggubrisku. Ia terus saja tertawa dan berlari menjauhiku. Percayalah, ia seorang pemilik perusahaan dan kelakuannya seperti layaknya anak kecil. Benar-benar menyebalkan. "Ayolah, Rain! Apakah kau tak tahu bahwa coklat itu sangat enak?" teriaknya sambil tertawa. Aku mendengus kesal. Bagaimana mungkin aku tahu enak jika semua coklat itu menempel di wajahku dan bukan di lidahku? Aah, aku juga yang salah. Kenapa aku percaya saja ucapan Sean yang jahil itu. "Pergi saja kau, Sean! Aku kesal padamu!"
Aku menemukan kembali hari-hariku yang patah tersapu angin. Tetapi, aku juga ragu. Apakah memang benar kalau hari ini aku beruntung bertemu denganmu? Sedangkan hari-hari lalu kulalui dengannya tanpa pernah sedetik pun tidak memikirkanmu. ~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Hari Minggu datang lagi. Libur bekerja ini akan aku manfaatkan untuk melakukan beberapa hal yang kusenangi. Membersihkan rumah, menonton film, hingga belanja ke pasar. Setidaknya begitulah yang kupikirkan saat pertama kali membuka mata hari ini. Namun, baru saja aku mulai menyingkapkan selimutku, handphone-ku di meja sebelah tempat tidurku mendadak bergetar. Aku mengabaikannya beberapa saat. Namun, benda itu tak kunjung berhenti bergetar. Aku memutar bola mataku jengah. Dengan gerakan gontai, aku dengan malas mengambil benda berwarna hitam itu sambil mengerjap-ngerjapkan matak
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu. Hening. Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini. Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk. "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas. Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d