Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis.
Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius. “Jika kita tetap di sini, mereka akan menemukan kita. Setidaknya di dalam hutan, kita punya kesempatan untuk bersembunyi.” Marcus, yang terluka parah setelah pertarungan di gua, mengangguk pelan. Dia sudah terlalu lemah untuk membantah, dan ia tahu bahwa mereka harus bertaruh pada apa pun yang tersisa. Mereka semua tahu risiko memasuki Hutan Gelap Larang, tetapi nasib yang menunggu di luar lebih mengerikan. Mereka melangkah masuk ke dalam kegelapan hutan. Suasana dingin dan sunyi membuat mereka merasa seolah-olah sedang berjalan ke dunia lain. Seraphina terus menggenggam tangan Alaric, yang tampak semakin kehilangan kesadarannya. Meskipun lelah dan penuh luka, Alaric tetap berusaha berjalan, meski kini tubuhnya hampir sepenuhnya bergantung pada Seraphina. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terdengar bisikan-bisikan aneh dari dalam hutan, seolah-olah makhluk-makhluk di sana sedang mengamati setiap gerakan mereka. Marcus dan Lady Elys saling bertukar pandang, menyadari bahaya yang mengintai di sekeliling mereka. Di antara bayang-bayang pepohonan, Seraphina melihat kilatan mata merah yang mengintip. Tidak ada waktu untuk berpikir, mereka harus bergerak lebih cepat. Namun, baru beberapa langkah kemudian, tanah di bawah kaki mereka berguncang, dan akar-akar pohon muncul, membelit kaki Seraphina. Ia terjatuh, terperangkap dalam jebakan sihir hutan. Marcus berusaha membantunya, tetapi akar-akar itu semakin erat menjerat mereka. Lady Elys mencoba mengeluarkan mantra untuk memutuskan akar tersebut, tetapi sihirnya tidak berfungsi seperti biasanya di tempat ini. Seraphina mencoba melepaskan diri, tetapi semakin keras ia berjuang, semakin kuat cengkeraman akar itu. Alaric, yang hampir tidak sadarkan diri, tiba-tiba terbangun oleh kekacauan itu. Melihat Seraphina dalam bahaya, ia mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk mengangkat tongkat sihirnya dan mengucapkan mantra pelindung. Cahaya biru berpendar keluar dari tongkat Alaric, menggetarkan akar-akar tersebut hingga akhirnya terlepas dari kaki Seraphina. Namun, kekuatan sihir itu menguras tenaga Alaric yang tersisa. Alaric terjatuh dengan keras ke tanah, kehilangan kesadarannya sepenuhnya. Seraphina berlari mendekat, memeluk tubuh Alaric yang sudah tak bergerak. “Alaric! Bertahanlah!” teriak Seraphina, suaranya bergetar dengan kepanikan. Tapi Alaric tidak merespons. Napasnya tipis, hampir tak terdengar. Seraphina merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa Alaric telah mengorbankan sisa tenaganya untuk menyelamatkannya, dan sekarang ia berada di ambang kematian. Di tengah rasa putus asanya, Seraphina teringat akan satu cerita lama yang pernah didengarnya tentang Hutan Gelap Larang. Konon, di tengah hutan ini ada sebuah mata air ajaib yang mampu menyembuhkan luka dan penyakit. Namun, mata air itu dijaga oleh roh-roh kuno yang menuntut pengorbanan untuk setiap nyawa yang diselamatkan. “Aku akan menemukan mata air itu,” bisik Seraphina sambil menatap wajah pucat Alaric. “Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini.” Lady Elys mencoba menghentikan Seraphina. “Mata air itu hanya mitos. Dan jika pun benar ada, roh-roh di sana tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.” “Tapi ini satu-satunya harapan kita!” balas Seraphina dengan tegas. “Jika ada sedikit saja peluang untuk menyelamatkan Alaric, aku akan mengambilnya.” Seraphina tidak menunggu persetujuan lebih lanjut. Ia berlari lebih dalam ke dalam hutan, mengikuti intuisi dan petunjuk samar yang pernah ia dengar dari dongeng masa kecilnya. Sementara itu, Lady Elys dan Marcus tetap bersama Alaric, berusaha menjaga agar ia tetap hidup sampai Seraphina kembali. Perjalanan Seraphina menuju mata air tidak mudah. Hutan seolah-olah hidup, dengan akar-akar dan cabang pohon yang terus mencoba menghalangi jalannya. Angin berbisik seakan memohon padanya untuk mundur, untuk berhenti, tetapi tekadnya sudah bulat. Setiap langkah yang diambilnya adalah langkah menuju pengorbanan besar; jika ia gagal, bukan hanya Alaric yang akan hilang, tetapi juga harapan desa dan semua yang mereka perjuangkan. Setelah berjam-jam berjalan tanpa arah yang jelas, Seraphina akhirnya menemukan apa yang ia cari. Di tengah hutan, di antara pohon-pohon besar yang mengelilinginya seperti penjaga, ada sebuah mata air yang memancarkan cahaya lembut berwarna biru. Airnya jernih dan tenang, berbeda dengan seluruh suasana hutan yang gelap dan mengancam. Namun, di hadapan mata air itu berdiri sosok roh yang besar dan anggun, dengan wajah penuh teka-teki. Roh itu menatap Seraphina dengan mata yang dalam, seakan bisa melihat ke dalam jiwanya. “Kau datang untuk menyelamatkan seseorang,” kata roh itu, suaranya terdengar seperti ribuan daun yang berdesir. “Ya,” jawab Seraphina dengan penuh keyakinan. “Aku memohon padamu, selamatkan Alaric. Aku akan melakukan apa saja.” Roh itu tersenyum tipis. “Mata air ini bisa menyembuhkan, tetapi tidak ada yang datang tanpa harga. Kau harus menyerahkan sesuatu yang berharga sebagai pengorbanan.” Seraphina terdiam, mencoba memahami apa yang harus ia berikan. “Apa yang kau inginkan?” Roh itu mendekat, dan dengan tenang menjawab, “Hatimu. Jika kau ingin menyelamatkannya, kau harus menyerahkan hatimu. Kau tidak akan pernah merasakan cinta lagi, tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Itu adalah harga yang harus kau bayar.” Seraphina merasa tubuhnya gemetar. Pengorbanan itu begitu besar, terlalu menyakitkan. Tetapi di benaknya, wajah Alaric yang sekarat kembali terbayang. Ia tahu bahwa tanpa Alaric, perjuangan mereka akan berakhir sia-sia. Desa akan hancur, dan semua orang yang mereka sayangi akan hilang. “Aku bersedia,” jawab Seraphina akhirnya, meski air mata mulai mengalir di pipinya. “Selama dia bisa hidup, aku bersedia menanggung semua penderitaan itu.” Roh itu mengangguk, kemudian membisikkan mantra kuno yang membuat mata air berkilau lebih terang. Air mata Seraphina bercampur dengan air mata air tersebut, dan seketika sebuah botol kecil muncul, berisi air ajaib yang bisa menyelamatkan Alaric. Tanpa berpikir dua kali, Seraphina mengambil botol itu dan berlari kembali ke tempat teman-temannya. Ia tidak merasakan apa pun lagi selain tekad yang menguasai dirinya. Ketika tiba di tempat Alaric, ia segera memberinya minum air mata air tersebut. Perlahan, luka-luka Alaric mulai sembuh, dan napasnya kembali teratur. Namun, Seraphina merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Ada kekosongan yang menyakitkan, seakan seluruh jiwanya diambil oleh roh itu. Ia tahu ia telah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan—hatinya. Alaric membuka mata, melihat Seraphina dengan pandangan penuh syukur dan cinta, tetapi Seraphina hanya bisa tersenyum pahit. Ia telah menyelamatkan nyawa Alaric, tetapi harga yang harus dibayarnya akan selalu menjadi rahasia kelam yang ia simpan sendiri. Konflik antara harapan, pengorbanan, dan cinta semakin memperumit perjuangan mereka. Meskipun mereka berhasil bertahan satu hari lagi, harga yang telah dibayar untuk kelangsungan hidup itu terlalu tinggi. Dan di dalam hati Seraph Saat Alaric perlahan sadar, rasa sakit yang menyiksa kini digantikan oleh perasaan hangat yang mengalir dari mata air ajaib itu. Wajah Seraphina yang cemas adalah hal pertama yang dilihatnya. Dia mencoba tersenyum, namun Seraphina hanya mengangguk dengan wajah datar, seolah-olah beban besar telah menyelimuti hatinya. Marcus dan Lady Elys menghela napas lega, namun ketegangan belum benar-benar hilang dari ekspresi mereka. Mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang lebih cepat, berusaha keluar dari hutan gelap yang memerangkap mereka dengan berbagai rintangan. Alaric yang masih lemah, dengan bantuan Seraphina, terus berjuang mengikuti kelompok. Meskipun tubuhnya pulih, perasaan gelisah terus menghantuinya. Ada sesuatu yang berbeda dari Seraphina. Matanya, yang dulu selalu penuh semangat, kini tampak kosong, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang. Namun, sebelum Alaric sempat bertanya lebih jauh, Marcus tiba-tiba berhenti di depan mereka. Ia menatap Seraphina dengan tajam, sorot matanya berubah menjadi penuh kecurigaan. “Ada sesuatu yang tidak beres,” katanya sambil mengamati sekeliling mereka. “Kita sudah terlalu lama di hutan ini, dan aku merasa kita sedang diikuti.” Seraphina menoleh dengan waspada, namun tidak ada yang terlihat. Hutan itu sunyi, terlalu sunyi. Bahkan hembusan angin pun tidak terdengar. Marcus segera mengeluarkan pedangnya, siap menghadapi apa pun yang akan muncul. Sementara Lady Elys mencoba merapal mantra perlindungan, Alaric hanya bisa memandang dengan waspada, merasakan bahaya yang mendekat. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sekelompok prajurit kerajaan dengan seragam merah marun yang sudah begitu mereka kenal. Di antara mereka, seorang pria bertopeng dengan jubah hitam tampak melangkah maju, senyumnya dingin dan penuh perhitungan. Seraphina mengenali sosok itu seketika—Lord Eirik, salah satu penasihat terdekat Raja Alden dan musuh yang paling mereka takuti. “Selamat datang di perangkapku,” ucap Lord Eirik dengan nada mengejek, melangkah mendekat dengan langkah santai. “Aku harus mengakui, kalian sangat gigih. Tapi sekarang, semua ini akan berakhir.” Alaric merasakan darahnya berdesir. Eirik, dengan segala kelicikannya, selalu berada satu langkah di depan mereka. Seraphina menatap Eirik dengan penuh kebencian, namun kali ini, ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapannya. Ia merasa seperti dikhianati oleh dunia yang tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk menang. “Apa maumu, Eirik?” tanya Seraphina dengan suara bergetar. “Belum cukupkah semua darah yang telah kau tumpahkan?” Eirik tertawa kecil, matanya menyipit penuh kesenangan. “Aku hanya menjalankan perintah, Putri. Tapi, ada satu hal yang lebih menarik bagiku—siapa yang akan menyerah lebih dulu? Kalian, atau desa yang kalian coba lindungi dengan sia-sia?” Alaric bergerak maju, meskipun tubuhnya masih lemah. “Kami tidak akan menyerah. Kau tidak akan menang dengan cara ini.” Namun, sebelum Alaric bisa mendekat, salah satu prajurit Eirik menyerangnya dengan pedang. Alaric menghindar, tapi gerakannya masih terlalu lambat karena luka-lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Serangan itu mengenai lengan Alaric, menimbulkan luka baru. Alaric terjatuh, darah mengalir dari lengannya, dan Seraphina segera berlari mendekat untuk menolong. Lady Elys mencoba menggunakan sihirnya, tetapi prajurit-prajurit Eirik sudah siap dengan perisai anti-sihir mereka, membuat kekuatannya tidak berguna. Marcus mengangkat pedangnya, mencoba melindungi mereka, tetapi jumlah musuh yang terlalu banyak membuat situasi menjadi mustahil. Eirik terus maju, mendekati Seraphina dan Alaric yang terpojok. Wajahnya penuh dengan kemenangan yang licik. “Kau tahu, Seraphina, aku bisa saja membunuhmu sekarang. Tapi, aku punya rencana yang lebih baik.” Seraphina menatapnya dengan tajam. “Apa maksudmu?” Eirik mengeluarkan gulungan perkamen dan melemparkannya ke tanah di depan mereka. Itu adalah surat perintah penangkapan untuk Seraphina dan Alaric, yang ditandatangani oleh Raja Alden sendiri. Namun, yang mengejutkan adalah nama yang tercantum di bagian saksi. Marcus. Seraphina tertegun, menatap Marcus yang tampak terguncang. “Apa arti semua ini?” tuntutnya, suaranya bergetar antara kemarahan dan kekecewaan. Marcus mundur, terperangkap dalam dilema yang tampak jelas di wajahnya. “Seraphina, aku… aku tidak punya pilihan. Mereka mengancam keluargaku. Aku tidak pernah ingin ini terjadi.” “Aku memercayaimu, Marcus!” seru Seraphina dengan air mata yang mulai menggenang. “Kau adalah temanku, bagaimana bisa kau mengkhianati kami seperti ini?” Sementara itu, Eirik hanya tersenyum puas, menikmati keretakan yang terjadi di antara mereka. “Loyalitas adalah mata uang yang murah di zaman seperti ini, Putri. Tidak ada yang benar-benar setia, hanya mereka yang belum menemukan harga yang tepat.” Alaric mencoba berdiri meskipun tubuhnya terasa lemah. “Kita masih bisa bertarung. Kita tidak bisa membiarkan ini berakhir di sini.” Namun, situasi menjadi semakin buruk saat Eirik memberi perintah kepada pasukannya. “Tangkap mereka! Putri dan pesulap ini sudah cukup membuat masalah. Bawa mereka ke istana, dan kita akan lihat bagaimana mereka bertahan menghadapi pengadilan.” Pertempuran pun meletus. Lady Elys dengan segenap kekuatannya berusaha melindungi Seraphina dan Alaric. Serangan sihir dan pedang bertukar di antara kedua belah pihak, namun jumlah musuh terlalu banyak. Marcus, terjebak dalam rasa bersalah, akhirnya memutuskan untuk melawan prajurit Eirik, meskipun dia tahu bahwa apa yang dia lakukan mungkin tidak akan pernah menebus pengkhianatannya. Seraphina dan Alaric berjuang sekuat tenaga, tetapi pasukan Eirik jauh lebih terlatih dan persenjataan mereka jauh lebih lengkap. Dalam satu momen yang krusial, Alaric terluka lagi oleh serangan pedang yang hampir mengenai jantungnya. Seraphina menjerit, berusaha melindunginya, namun ia juga terpojok. Di tengah kekacauan itu, Lady Elys melepaskan mantra terakhirnya, menciptakan ledakan cahaya yang cukup kuat untuk menghalangi pandangan musuh sejenak. Kesempatan itu digunakan oleh Seraphina untuk menarik Alaric keluar dari kerumunan, meski mereka harus meninggalkan Marcus dan Lady Elys yang masih bertarung habis-habisan. Seraphina dan Alaric akhirnya berhasil melarikan diri ke bagian hutan yang lebih dalam, jauh dari pandangan pasukan Eirik. Mereka terjatuh ke tanah, napas terengah-engah dan luka menganga di tubuh mereka. Seraphina memeluk Alaric yang terluka, air mata menetes tanpa henti. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Alaric dengan suara serak. “Eirik tidak akan berhenti. Dan sekarang, Marcus...” Seraphina mengangguk, mencoba menahan emosinya. “Kita sudah kehilangan terlalu banyak. Kita harus menemukan cara lain. Kita harus mencari bantuan lebih dari sekadar sihir atau pedang.” Di tengah kegelapan hutan itu, Seraphina menyadari bahwa mereka berada di titik terendah mereka. Sekarang, tidak hanya Raja Alden dan Eirik yang menjadi musuh, tetapi juga pengkhianatan yang datang dari dalam, dari orang yang seharusnya menjadi teman. Mereka harus mengumpulkan kekuatan baru, merangkai rencana yang lebih berbahaya, dan menghadapi kenyataan bahwa tidak semua orang bisa dipercaya. Dan ketika pagi mulai menyingsing sekali lagi, Seraphina tahu bahwa perang ini baru saja dimulai. Perjuangan mereka bukan hanya melawan musuh di luar, tetapi juga pengkhianatan dan ketakutan yang terus menghantui setiap langkah mereka. Mereka harus mencari sekutu baru, menemukan cara untuk membalas semua yang telah direnggut dari mereka, dan yang paling penting, menemukan kembali harapan yang hampir padam. Dengan Alaric di sisinya, Seraphina bersumpah bahwa mereka akan bangkit lagi. Apa pun yang diperlukan, mereka akan melawan. Ini belum berakhir, dan kali ini, mereka tidak akan berjuang hanya untuk bertahan hidup—mereka akan berjuang untuk menang, dengan atau tanpa kepercayaan yang telah terkoyak.Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat