"Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" D
"Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan
"Mama masuk rumah sakit?" Mita nyaris membiarkan Fahriza jatuh dari pelukannya.Fahri langsung menghampiri Mita yang mendadak jadi linglung. "Buruan ganti baju. Kita ke rumah sakit sekarang. Papa Chandra sendirian." Fahriza berusaha memahami apa yang terjadi. Mamanya yang tba-tiba menjadi linglung dan papanya yang bergerak ke sana kemari menyiapkan pakaian untuk sang mama. "Papa ...' Fahriza akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Hmm. Papa belum bisa ajak Iza. Biar papa dan mama lihat keadaaan nenek dulu. Besok mungkin Iza baru bisa ikut ke rumah sakit."Nenek sakit?"Fahri mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Doain nenek cepat sehat kembali, biar kita bisa berlibur bersama-sama.""Iya, Pa. Iza akan doain nenek bial cepet sembuh.""Anak pintar." Fahri mengajak putrinya untuk ke lantai bawah, menitipkannya pada Dinda dan Arya."Saya titip bocah ini dulu. Om Chandra di rumah sakit.""Eh?! Om Chandra? Sakit apa? Kok mendadak sekali? Bukannya kemarin baik-baik aj
Wanita yang keluar dari mobil Dani terlihat sangat cantik. Mita dibuat kagum hingga ia melupakan es teler pesanannya yang sudah selesai disiapkan. Gestur tubuh wanita itu sangat dikenalnya. Tapi, tunggu dulu. Mengapa pakaian wanita itu agak aneh? Kedua alis Mita terangkat.Ia melangkah meninggalkan tenda milik Ahmad. Menyeberang sambil terus mengamati gerak-gerik wanita cantk yang kini jaraknya tinggal beberapa langkah darinya. Dani yang mengenali sosok Mita yang mendekat, menatap tajam ke arah Mita. "Ngapain ke sini? Bukannya jalan-jalan ke mall?" tegur Dani setengah emosi."Eh? Elu. Ngapain ke sini? Gua kira siapa? Beli apaan? Kenapa nggak telpon gua aja?" Mita menghiraukan teguran Dani yang tampaknya tidak ikhlas mengorbankan waktunya hanya untuk jajan di warung tenda seperti ini.Dinda mendelik kesal. "Lu bilang kenapa nggak telpon elu? Gimana gua mau telpon, kalau hape lu aja lu tinggal! Tuh, Fahriza nangis di rumah. Dia minta emaknya. Untung bujukan Dani mempan, bikin dia ngga
"Lu liat suami gua nggak, Din?""Nggak. Emang suami lu hilang? Dari tadi gua di kamar sama bapaknya Brilian." Dinda berjalan mendekat ke arah Mita yang sudah rapi. "Lu mau kemana? Rapi amat?" Dinda menatap Mita dari atas ke bawah. "Kek anak ABG aja, lu?"Mita hanya menyengir kuda. "Gua kan mau jalan-jalan.""Sama siapa?""Ya sama suami gua lah. Sama siapa lagi?""Naik apaan? Becak?"Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu panjang. Sepertinya klakson itu ditekan oleh orang yang menahan kekesalan luar biasa. Dinda menahan tawa."Tuh suami lu udah mulai ngamuk. Lu kelamaan yang dandan.""Ya ampun! Kenapa gua bisa lupa?!" Mita bergegas meninggalkan kamar Arya, dan menuruni anak tangga dengan tergesa, sampai-sampai membuat Anggun berteriak kaget."Mengapa harus pake lari-lari segala? Nanti kalau kamu jatuh gimana?" Suara Anggun yang tidak biasa membuat Mita terkejut. Sisi sensitifnya sebagai ibu hamil muncul. Wajahnya pucat, dan air mata mulai menggenangi kedua netranya. "M-M
Kehamilan Mita yang kedua ini cukup membuat Fahri pusing tujuh keliling. Tidak seperti saat hamil Fahriza. Mita menjadi begitu rewel, suka uring-uringan sendiri, menjadi sangat perfeksionis dan sangat sensitif. Apapun yang dilakukan Fahri selalu salah. Kerja salah, diam pun salah. Pulang awal salah, tak pulang lebih salah lagi. Fahri dibuat frustasi karenanya."Ma!" panggil Fahri suatu hari ketika Anggun sedang sibuk mengiris bolu yang baru saja keluar dari oven."Ada apa? Kamu mau kopi? Mama belum bikin.""Bukan.""Lalu apa? Teh? Cappucino? Wedang jahe? Wedan uwuh?" Anggun menatap Fahri bingung. "Fahri mau pergi keluar provinsi untuk satu bulan." Wajah Fahri begitu suntuk. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Mita yang semakin menjadi."Ada urusan bisnis? Kenapa mendadak sekali?" Anggun melirik curiga."Kepala Fahri pusing kalau lama-lama ada di rumah ini." Pria itu mengambil satu potong bolu yang sudah dipotong Anggun, dan langsung mengunyahnya sampai tidak bersisa.Anggun tertaw