Kekecewaaan Dinda karena tak kunjung lulus dari sidang skripsi, membuatnya bersumpah akan menerima pinangan pria yang mengajaknya menikah dalam waktu dekat. Tanpa diduga, petir menggelegar seakan mengamini sumpah Dinda. Akankah Dinda dapat melewati sidang skripsi untuk yang ketiga kali dengan hasil yang memuaskan? Atau perjuangannya berakhir di meja KUA? Simak perjalanan skripsi dan cinta Dinda berikut ini.
Lihat lebih banyak“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”
Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota Jakarta. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota Jakarta.
“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.
“Apaaa?!”
“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”
“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”
Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.
****
Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pertama satu bulan yang lalu, Dinda kembali dinyatakan tidak lulus oleh tim penguji, yang salah satu anggotanya tidak lain dan tidak bukan, pembimbingnya sendiri.
Sebuah kerikil yang berukuran sedang ditendang kuat oleh Dinda. Ia melampiaskan kekesalannya. Dinda tidak habis pikir. Kesalahan apa yang ia lakukan selama sidang tadi. Padahal ia bisa menjawab semua pertanyaan yang diuji tim penguji dengan benar, tapi mengapa dirinya masih gagal lagi?
“Sabar, Din. Gua tetap bakal nemenin lu belajar di perpus.” Yuda menepuk bahu Dinda, seraya menunjukkan rasa simpatinya yang sangat dalam. Yuda adalah teman seangkatan Dinda dan maju sidang bersamanya hari ini. Bedanya, Yuda berhasil melewati semuanya. Ia termasuk yang dinyatakan lulus.
“Tau begini, gua mending nonton drakor aja sebulan ini. Nyesel gua, Mak. Nyesel!” Dinda kembali menendang satu kerikil di depannya. Dia tidak ambil pusing ketika kerikil itu jatuh tepat mengenai kening seseorang, dan menyebabkan luka gores yang cukup memprihatinkan.
Dinda tetap meneruskan langkahnya ke kantin, mengabaikan tatapan tajam seseorang.
“Satu mangkok soto, bakwan goreng, lumpia, sosis, martabak, es jeruk. Ditambah kerupuk sama sambal.” Kasir kantin kampus sibuk menghitung pesanan Dinda, lalu segera mengantarkan nampan yang sudah penuh itu ke meja Dinda.
“Apa sih maksud itu dosen? Suka sama gua? Nggak mau kalau gua lulus cepat dan dapat gelar cumlaude? Takut kehilangan gua? Pengen ngambil gua jadi menantunya, gitu?” Dinda meneruskan omelannya sambil mencelupkan bakwan ke piring sambal yang sudah dicampur petis di dalamnya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
“Pelan-pelan, Din. Entar keselek loh. Lagian mana mau ngambil lu mantu. Orang dia aja masih ngejomblo.” Mita ikut nimbrung, duduk di samping Dinda.
Mita memperhatikan dengan seksama wajah sahabatnya itu. Ada satu titik bening di sudut mata Dinda, dan itu tidak luput dari perhatian Mita. Ia mengambil satu tisu lalu menyodorkannya ke Dinda.
“Hapus tuh. Jangan sampai mereka ngelihat lu begini.”
“Gua….” Dinda menghentikan kunyahannya, ketika beberapa orang datang menghampiri meja Dinda.
“Din …” Salah satu dari mereka bersuara. Suara yang terdengar penuh penyesalan. “Maaf …”
Dinda mendongakkan kepalanya. Ia mengerjapkan kedua matanya . “Kenapa?” Dinda lantas mengangkat dan mengibaskan tangan kanannya ke atas. “Bukan salah kalian. Dia-nya aja yang sentimen ke gua. Pertanyaannya sama kan. Jawaban lu juga sama dengan yang gua ajarkan selama dua bulan ini. Gua juga kasih jawaban yang sama. Tsk. Gak habis pikir gua. Bener-bener gak habis pikir.”
Semua terdiam.
Perlu diketahui. Semua yang maju sidang skripsi hari ini, adalah peserta sidang yang dinyatakan tidak lulus di sidang ujian sebelumnya. Selama dua bulan terakhir, mereka secara sukarela telah menjadi mahasiswa dadakan Dinda. Mereka mendatangi Dinda, meminta belajar bersama.
Dan secara kebetulan, semua materi uji, sama persis dengan dengan apa yang telah diterangkan dan dijelaskan oleh Dinda selama ini.
Tapi anehnya, dari dua belas orang yang, yang maju sidang di hari yang berbeda, semua dinyatakan lulus, kecuali Dinda. Sang guru justru terjegal lagi. Dinda harus mengikuti sidang ujian skripsi untuk ketiga kalinya, bulan depan.
Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam benak semua orang.
“Gua yang bayarin, Din. Lu makan aja sepuasnya selama seminggu ke depan.” Yuda berkata dengan sungguh-sungguh.
“Minggu berikutnya gua, Din.” Seno tak mau kalah dengan Yuda
“Pokoknya, lu bebas makan apa aja di kantin ini, sampai lu dinyatakan lulus dari sidang.” Mita kembali menegaskan keinginan mereka.
Setidaknya, mereka menunjukkan rasa terima kasih dan setia kawan pada Dinda, dosen dadakan mereka yang baik hati dan tidak sombong.
“Yah, pelit. Kenapa Cuma di kantin ini doang? Mbok ya tiap hari, dimana pun tempatnya. Itu baru murid yang berbakti pada cikgu-nya.”
“Itu sih, nunggu kalau gua udah keterima di BUMN kali, Din. Melihat nafsu makan lu yang segede gini, mana kuat dompet gua yang sekarang. Bisa-bisa gagal nikah gua.”
Tiba-tiba suasana kantin sepi. Yuda mengirim kode untuk semua. Ada rombongan yang tidak diundang datang ke kantin. Beberapa dosen masuk, berjalan ke depan mengambil makan siang.
“Lah?! Kenapa pada maksi di sini, sih? Nggak dapat jatah nasi kotak?” Gumaman Mita ternyata terdengar oleh Yuda.
“Hush! Diam. Kasihan Dinda.”
Yuda memperhatikan mimik wajah Dinda yang langsung berubah, begitu melihat dosen pembimbingnya berada dalam rombongan itu. Gadis itu tiba-tiba berdiri, mengejutkan semua yang semeja dengannya.
“Gua balik dulu. Nggak nafsu lagi gua.”
Dinda memutar tubuhnya, melangkah lebar dan cepat meninggalkan kantin. Perasaannya kembali mendung. Sosok dosen pembimbingnya sudah berhasil merusak semua mimpinya hari ini, dan Dinda sudah menyatakan perang pada sosok itu.
Ia sudah tidak sudi lagi menatap wajah pembimbingnya itu. Demi Tuhan. Dinda kembali berdoa dalam hati. Ingin bibirnya mengucap doa sakit hati, tapi hati sucinya melarang.
Dinda segera berlari meninggalkan kampusnya, menuju halte, mencegat bis yang bisa mengantarkannya pulang secepat mungkin. Ia ingin segera melabuhkan kepalanya ke dalam pelukan Sari.
-0-
Tangis yang sejak tadi ditahannya, kini tumpah ruah di pangkuan Sari, 47 tahun, istri Broto Handjoyo. Wanita yang masih terlihat cantik itu mengusap lembut punggung putri semata wayangnya. Ia merasakan semua kekesalan Dinda. Betapa usaha yang dilakukan putrinya sudah begitu keras.
Dinda yang selama ini masih sering bolong-bolong sholatnya, semenjak ia menyusun skripsi, mulai memperbaiki sholatnya. Ia, yang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop demi melihat drama korea kesayangannya , mulai mengganti tontonannya. Ia mulai mendengar banyak kajian keagamaan. Ia pun mulai merajinkan sholat tahajud, demi kelancaran penyusunan skripsi dan sidang skripsinya.
Sari sangat maklum jika putrinya itu merasa sangat kecewa, terlebih lagi Dinda membagi ilmunya kepada teman-teman mahasiswa yang juga sedang memperjuangkan skripsi seperti dirinya.
“Ma,” panggil Dinda di sela tangisnya.
“Ehmm?”
“Kalau besok Dinda nggak lulus lagi. Tolong carikan calon suami buat Dinda ya?”
"Mama masuk rumah sakit?" Mita nyaris membiarkan Fahriza jatuh dari pelukannya.Fahri langsung menghampiri Mita yang mendadak jadi linglung. "Buruan ganti baju. Kita ke rumah sakit sekarang. Papa Chandra sendirian." Fahriza berusaha memahami apa yang terjadi. Mamanya yang tba-tiba menjadi linglung dan papanya yang bergerak ke sana kemari menyiapkan pakaian untuk sang mama. "Papa ...' Fahriza akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Hmm. Papa belum bisa ajak Iza. Biar papa dan mama lihat keadaaan nenek dulu. Besok mungkin Iza baru bisa ikut ke rumah sakit."Nenek sakit?"Fahri mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Doain nenek cepat sehat kembali, biar kita bisa berlibur bersama-sama.""Iya, Pa. Iza akan doain nenek bial cepet sembuh.""Anak pintar." Fahri mengajak putrinya untuk ke lantai bawah, menitipkannya pada Dinda dan Arya."Saya titip bocah ini dulu. Om Chandra di rumah sakit.""Eh?! Om Chandra? Sakit apa? Kok mendadak sekali? Bukannya kemarin baik-baik aj
Wanita yang keluar dari mobil Dani terlihat sangat cantik. Mita dibuat kagum hingga ia melupakan es teler pesanannya yang sudah selesai disiapkan. Gestur tubuh wanita itu sangat dikenalnya. Tapi, tunggu dulu. Mengapa pakaian wanita itu agak aneh? Kedua alis Mita terangkat.Ia melangkah meninggalkan tenda milik Ahmad. Menyeberang sambil terus mengamati gerak-gerik wanita cantk yang kini jaraknya tinggal beberapa langkah darinya. Dani yang mengenali sosok Mita yang mendekat, menatap tajam ke arah Mita. "Ngapain ke sini? Bukannya jalan-jalan ke mall?" tegur Dani setengah emosi."Eh? Elu. Ngapain ke sini? Gua kira siapa? Beli apaan? Kenapa nggak telpon gua aja?" Mita menghiraukan teguran Dani yang tampaknya tidak ikhlas mengorbankan waktunya hanya untuk jajan di warung tenda seperti ini.Dinda mendelik kesal. "Lu bilang kenapa nggak telpon elu? Gimana gua mau telpon, kalau hape lu aja lu tinggal! Tuh, Fahriza nangis di rumah. Dia minta emaknya. Untung bujukan Dani mempan, bikin dia ngg
"Lu liat suami gua nggak, Din?""Nggak. Emang suami lu hilang? Dari tadi gua di kamar sama bapaknya Brilian." Dinda berjalan mendekat ke arah Mita yang sudah rapi. "Lu mau kemana? Rapi amat?" Dinda menatap Mita dari atas ke bawah. "Kek anak ABG aja, lu?"Mita hanya menyengir kuda. "Gua kan mau jalan-jalan.""Sama siapa?""Ya sama suami gua lah. Sama siapa lagi?""Naik apaan? Becak?"Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang begitu panjang. Sepertinya klakson itu ditekan oleh orang yang menahan kekesalan luar biasa. Dinda menahan tawa."Tuh suami lu udah mulai ngamuk. Lu kelamaan yang dandan.""Ya ampun! Kenapa gua bisa lupa?!" Mita bergegas meninggalkan kamar Arya, dan menuruni anak tangga dengan tergesa, sampai-sampai membuat Anggun berteriak kaget."Mengapa harus pake lari-lari segala? Nanti kalau kamu jatuh gimana?" Suara Anggun yang tidak biasa membuat Mita terkejut. Sisi sensitifnya sebagai ibu hamil muncul. Wajahnya pucat, dan air mata mulai menggenangi kedua netranya. "M-M
Kehamilan Mita yang kedua ini cukup membuat Fahri pusing tujuh keliling. Tidak seperti saat hamil Fahriza. Mita menjadi begitu rewel, suka uring-uringan sendiri, menjadi sangat perfeksionis dan sangat sensitif. Apapun yang dilakukan Fahri selalu salah. Kerja salah, diam pun salah. Pulang awal salah, tak pulang lebih salah lagi. Fahri dibuat frustasi karenanya."Ma!" panggil Fahri suatu hari ketika Anggun sedang sibuk mengiris bolu yang baru saja keluar dari oven."Ada apa? Kamu mau kopi? Mama belum bikin.""Bukan.""Lalu apa? Teh? Cappucino? Wedang jahe? Wedan uwuh?" Anggun menatap Fahri bingung. "Fahri mau pergi keluar provinsi untuk satu bulan." Wajah Fahri begitu suntuk. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Mita yang semakin menjadi."Ada urusan bisnis? Kenapa mendadak sekali?" Anggun melirik curiga."Kepala Fahri pusing kalau lama-lama ada di rumah ini." Pria itu mengambil satu potong bolu yang sudah dipotong Anggun, dan langsung mengunyahnya sampai tidak bersisa.Anggun tertaw
"Papa lagi ngapain?" Suara imut Brilian mengejutkan Arya, dan Dinda. "Sudah selesai mainnya?" Arya justru bertanya balik pada Brilian."Belum. Tadi kaget denger Nenek Angkyun teyiak sampek bangunannya yoboh cemua." Bibir mungil Brilian maju mundur memancing tawa Dinda."Memang kenapa Nenek Angkyun teyiak, Pa?""Nggak ada apa-apa. Nenek sedang bahagia karena dapat hadiah istimewa dari Tante Mita dan Om Fahri.'"Hadiah? Nenek kan beyum uyang taun?""Minggu depan. Nenek ulang tahunnya minggu depan. Brilian mau kasih kado apa?" Arya menggendong Brilian, membawanya pergi dari dapur menuju kamar tamu, untuk meneruskan permainannya.Dinda membiarkan Arya menemani Brilian. Dia justru kembali ke ruang makan tempat semua orang masih berkumpul. Wajah semua orang gembira tak terkecuali orang tuanya. Mereka, Broto dan Sari, tidak terganggu dengan berita kehamilan Mita. Setidaknya, Dinda tidak melihat perasaan iri di wajah Sari karena Mita justru lebih dulu memberi cucu kedua untuk Anggun."Ma," p
"Kenapa lu nggak kasih tahu gua kalau Fahriza sebentar lagi punya adek?" Dinda menatap tajam Mita. Dia mengulangi pertanyaan untuk kedua kali karena Mita justru diam membisu. Tubuh Mita membeku. Tidak bergerak sama sekali."Lu ngomong apa?" Mita akhirnya memutar badannya, kembali menghadap Dinda. "Gua aja nggak tahu bakalan kasih adek ke Fahriza atau nggak?""Maksud? Lu nggak yakin kalau lu hamil lagi? Test pack-nya error? Keakuratannya dibawah 99%? Udah tahu gitu kenapa lu beli?" Dinda justru semakin menjadi uring-uringan."Itu-Nggak ada hubungannya dengan test pack.""Ya jelas, ada-lah. Kalau tanda kasat mata aja udah jelas, alat bukti berikutnya adalah test pack. Kalau dia error berarti lu kudu ganti dengan yang kualitasnya lebih bagus atau lu langsung pergi ke obgyn. Masa gitu aja lu kagak tau, Mit?" "Bu-bukan begitu." Mita jadi kikuk. Dia seperti maling yang tertangkap basah. Tidak punya alasan untuk berkelit dari kenyataan di depannya. Dinda terlalu kritis untuk hal ini. Instin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen