Dinda mencoba membuka kedua netranya. Hari masih begitu gelap, dan suasana masih begitu sunyi. Samar, terdengar rintik ujan mulai turun mengenai genteng, menyebarkan bau khas tanah. Tangan Arya masih memeluk erat tubuh Dinda, seakan enggan berada jauh dari wanita muda itu. Bukannya menyingkirkan tangan pria yang menikahinya empat tahun lalu, Dinda justru memeluk erat tubuh Arya.Arya yang semula masih terlelap, terbangun oleh gerakan kecil di sampingnya. Pucuk kepala Dinda menyapu lembut dagunya, membuatnya merasa geli sesaat. Secara reflek, Arya mengecup puncak kepala Dinda. "Kenapa bangun?" Suara serak Arya terdengar di telinga Dinda."Hmmm. Hujan. Dingin."Arya tersenyum. "Hmm. Begini pasti nggak akan dingin lagi." Arya juga mengeratkan pelukannya pada Dinda. Dinda terkekeh. Keduanya tidur saling berpelukan di balik selimut tebal yang sejak awal sudah menemani tidur keduanya. Sayangnya, usaha Dinda untuk dapat kembali memejamkan netranya tidak berhasil. Ia menggeliat, lalu mele
"Om Dani! Bian mau yang itu." Brilian menarik-narik tangan Dani agar mendekat ke etalase yang penuh dengan macam-macam puding di rak paling atas. Warna-warni dan hiasan di atas puding, membuat Brilian tidak mengalihkan pandangannya dari etalase itu.Dani menepati janjinya pada dua keponakannya. Ia membawa Fahriza dan Brilian ke gerai kue Maya, membiarkan Fahriza dan Brilian memasuki gerai itu lebih dulu, sedang Dani berjalan di belakang dua bocah kecil itu, sambil tersenyum.Gerai kue Maya mulai ramai dengan pembeli, sehingga agak menyulitkan kedua bocah itu untuk memilih. Dani terpaksa menggandeng tangan Fahriza, agar bisa menyusul Brilian yang sedang fokus di etalase."Fahriza juga mau?"Bocah perempuan dengan alis seperti busur panah, tebal dan hitam itu mengangguk. Ia mulai memilih sedangkan Brilian memilih stroberi dengan lapisan vanila di atasnya."Hanya itu?" tanya Dani begitu melihat hanya satu puding yang dipilih Brilian."Boleh ambil lagi?" Brilian ragu."Bolehlah. Mumpung
Dani ternyata tidak menepati janjinya pada Brilian. Dia menepikan mobilnya tepat di depan gerai Maya, lalu memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dani keluar dari mobil lalu melangkah tegas masuk ke gerai Maya.Suasana gerai yang tidak terlalu ramai membuat Dani bebas bergerak. Ia bebas mengamati seluruh bagian gerai, dan isi apa saja yang ada di rak-rak kue. Ia menemukan kue-kue yang dibeli Dinda kemarin.Ia teringat pada percakapannya semalam dengan Dinda. Lapis legit dan lapis surabaya. Dua kue yang menjadi kesukaan Dinda, yang ingin Dinda pesan di sini, dan dirinya tadi malam telah menawarkan bantuan untuk memesankan kue-kue itu."Semoga menjadi awal yang baik untuk ke depannya," ucapnya dalam hati meneguhkan niatnya mendekati meja kasir yang sedang kosong."Selamat Pagi." Dani menyapa Maya dengan suara datar. Betapa Dani sedang berusaha keras menahan lonjakan kegirangan dalam hatinya.Maya bergegas bangkit dari duduknya. Hal biasa yang ia lakukan jika pelanggan datang ke meja kasir saa
Dani mengunyah sus yang berhasil ia ambil dari tas belanja Dinda. Ia mengunyah sambil berpikir apa yang akan ia katakan setelah tiba di gerai kue Maya, besok. Ya. Dani berencana untuk tetap mendatangi gerai Maya, meski sempat bersitegang dengan sang adik. Bagaimanapun, Dani adalah anak tertua, yang memiliki rasa mengayomi kepada adiknya. Jiwa itu tidak dapat hilang dari dirinya, meski merasa kesal terhadap Dinda. "Permisi. Mau pesan kue lapis, bisa? Dua loyang. Diambil nanti bisa?" Dani bermonolog sendiri. Ia membayangkan jika saat ini sudah berdiri di hadapan Maya.Merasa aneh, Dani mengganti kalimatnya, dan itu terus berulang hingga ia merasa capek sendiri. Pada akhirnya, Dani menyerah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan dan katakan besok. Yang jelas, ia tetap akan pergi ke gerai Maya esok hari.-0-Brilian dan Fahriza sudah siap dengan seragam dan tas sekolah masing-masing. Dinda sibuk menata bekal untuk dua bocah kecil itu, sedangkan Arya memanaskan mesin mobil. Kehebohan di
Dinda terkekeh sendiri. "Nanti aja deh ceritanya. Biar Om Dani sendiri yang cerita. Sekarang, Tante mau makan ini. Fahriza mau?" Dinda menyodorkan tas belanjanya ke hadapan Fahriza.Bocah perempuan itu mengangguk. Ia asyik memilih mana yang lebih menarik untuk disantap. "Bungkusnya kayak yang dibawa Om Dani," gumam Fahriza mengamati cupcake yang ia pilih."Belinya di tempat yang sama, ya jelas sama, dong. Coba Fahriza makan. Rasanya enak nggak?""Oke."Dinda memilih mengambil kue lapis lalu memberikannya pada Arya. "Tadi mau ambil lapis surabaya, tapi malah yang diambil ini.""Ya besok beli lagi atau pesan. Minta dibuatkan yang ukuran satu loyang penuh," usul Arya. Ia menjadi salah satu penggemar kue lapis surabaya dan lapis legit, sejak mengenal Dinda. Ia suka rasa ringan dan creamy dari mentega pada kue lapis surabaya dan rasa legit pada kue lapis legit. Bisa membuatnya merem melek tidak karuan. Apalagi ditemani kopi pahit. Bisa-bisa Arya tidak konsentrasi bekerja.Keduanya asyik me
"Tante yang mana ini?" Dinda menatap Dani penuh curiga. Ia mencium satu rahasia yang Dani sembunyikan darinya. "Kenapa nggak diajak kemari aja? Biar mama nggak cerewet terus tiap menit tiap detik saban hari?"Dani membisikkan sesuatu pada Brilian, lalu bocah kecil itu terkekeh. "Mama jadi beli lontong, nggak? Bian mau sama Om Dani aja. Makan ini." Brilian mengangkat tas kertas itu ke atas."Kamu suka? Memang sudah pernah beli itu? Mama baru tahu ini, deh." Dinda mengambil tas kertas itu dari tangan Brilian. Ia membaca lalu bergumam sendiri. "Perasaan pernah liat tulisan ini. Tapi dimana, ya?"Dani melangkah masuk membiarkan adiknya sibuk mengingat lambang yang tertera di tas kertas itu. Ia sendiri langsung melangkah ke dapur, membuat minuman segar yang sejak tadi menggodanya.Melihat Dani yang cuek, membuat Dinda merasa sangat aneh. "Kak! Something happened, ya?" tanya Dinda penuh selidik.Dani menolak untuk memberitahu. "Nggak ada. Kenapa sih repot amat?""Ya, nggak gitu lah. Dulu j